Intisari-online.com -Dunia disibukkan dengan bangkitnya Taliban, sampai-sampai aktivitas mencurigakan Iran ini tak tersorot.
Mengutip Express, Iran telah memilih salah satu pionir dalam program senjata nuklir mereka untuk membantu dijalankannya upaya mereka "mengirimkan pesan yang jelas kepada Barat".
Penunjukan wakil presiden Muhammad Eslami untuk mengepalai Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) muncul beberapa hari sebelum laporan yang memberatkan karena konfirmasi rezim itu kini sudah memiliki uranium diperkaya yang cukup membangun senjata nuklir kurang dari 2 minggu.
Hal ini datang bersamaan dengan penarikan pasukan AS dari Afghanistan yang menyebabkan para sekutu dan musuh AS bertanya-tanya niat Presiden Joe Biden mencapai perdamaian dunia.
Selama tahun 1980-an Brigadir Jenderal Eslami memimpin delegasi Iran bertemu dengan Abdul Qadir Khan, ayah dari bom atom Pakistan yang menjalankan jaringan penyelundupan besar.
Kemudian antara 2004-2008, sebagai direktur Institut Penelitian dan Pelatihan Pertahanan, bagian dari Kementerian Pertahanan, ia meninjau perkembangan kendaraan rudal pertam Iran dan tahap awal pemerkaayaan uranium.
Hal ini menuntunnya masuk ke dalam daftar sanksi Dewan Keamanan PBB tahun 2008.
Berbicara kemarin malam, mantan wakil direktur jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Oli Heinonen, memperingatkan waktunya telah datang untuk pendekatan lebih panas atas ancaman nuklir Iran.
"Iran sedang mengirimkan pesan bahwa mereka tidak peduli dengan yang dipikirkan Barat," ujar Heinonen, yang kini bekerja dengan lembaga penelitian Stimson Centre, dikutip dari Express.
"Lebih lagi, dalam beberapa hari ini laporan IAEA yang baru akan menjadi pembuka mata. Aku memprediksi akan ditunjukkan jika stok uranium diperkaya 60% dan uranium diperkaya 20%, ketika dikombinasikan, cukup untuk memproduksi satu peralatan nuklir dalam beberapa minggu saja, tak ada 2 bulan.
"Ini artinya Iran telah mencapai semacam kekebalan."
Ia menuduh Perancis, Jerman dan Inggris, yang disebut E3 yang masih berhubungan dengan kesepakatan nuklir Iran JCPOA, dan Biden, yang dulunya wakil presiden dari Presiden Barack Obama ketika JCPOA dibentuk, masih 'hidup di masa lalu'.
"Sedihnya Biden dan Eropa masih hidup di masa lalu. JCPOA dibentuk berdasarkan harapan, bukan fakta. Badan itu sudah gagal, Iran sudah meneruskan hidupnya," ujarnya.
"Biden memiliki kebutuhan melestarikan warisan yang ia dulu menjadi bagian dari itu. Namun kini E3 yang mendapatkan tekanan perkembangan baru ini. Lagipula, ini semua terjadi dalam pengawasan mereka."
Dengan AS masih secara teknis keluar dari JCPOA, akan menjadi keputusan E3 untuk melancarkan 'serangan balasan' untuk mengembalikan diangkatnya sanksi di bawah syarat perjanjian itu.
"Namun ini juga menjadi kesempatan untuk menemukan pendekatan yang berbeda. Iran sama sekali tidak memiliki kepentingan dalam senjata nuklir, tapi ingin mengakhiri semua sanksi," tambahnya.
"Salah satu pilihan adalah E3 menawarkan Iran uranium untuk program nuklir yang damai, dalam kondisi mereka tak lagi memperkaya sendiri. Jika mau, ekonomi mereka akan pulih lagi, jika tidak, mereka akan mendapatkan sanksi lebih banyak.
"Hanya dengan penawaran aset berwujud seperti inilah yang bisa diharapkan menghasilkan perubahan yang pasti. Ini akan menemukan kemenangan bersama untuk diplomasi."
Sejak Biden menjabat, rezim Iran juga memperkuat pemerintahan, dengan presiden baru, Ebrahim Raisi, yang dikenal sebagai 'Jagal Teheran' karena terkenal mengeksekusi 30 ribu tahanan politik, termasuk anak-anak dan wanita yang masuk dalam Organisasi Mujahidin Iran.
Raisi secara pribadi dipilih oleh Pemimpin Agung Ayatollah Ali Khamenei untuk pemilihan presiden Juni, dan kemudian menang diikuti dengan boikot massal.
Kabinetnya terdiri atas 4 menteri yang terkena sanksi PBB/AS, termasuk Menteri Dalam Negeri Brigadir Jenderal Ahmad Vahidi, salah satu pendiri kelompok teroris Iran pasukan Quds dan otak dari pengeboman Pusat Komunitas Yahudi di Argentina tahun 1994.
Kemudian Menteri Perkembangan Jalanan dan Kota Rostam Ghasemi yang dulunya menjadi Menteri Minyak di bawah presiden Mahmoud Ahmadinejad dan menggondol ratusan miliar dolar hasil minyak Iran untuk nuklir, rudal balistik dan proyek teroris di Revolutionary Guards.
Berbicara kemarin malam, Shahin Gobadi dari Organisasi Warga Mujahidin Iran, mengatakan: "kabinet Ebrahim Raisi mengatakan jelas jika rezim itu semangat mengejar agenda represif di rumah dan menggunakan program nuklir untuk melanjutkan mengacaukan Timur Tengah."