Find Us On Social Media :

Pengesahannya Sampai Kebut-kebutan Bak Film 'Fast and Furious', UU Cipta Kerja Jadi Regulasi Kontroversial Kelima Era Jokowi, 'Tangan Panjang Oligarki'

By Maymunah Nasution, Senin, 5 Oktober 2020 | 20:24 WIB

DPR sudah ketok palu, RUU Cipta Kerja jadi Undang-undang resmi

Intisari-online.com - Senin sore 5/10/2020, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja telah disahkan menjadi Undang-Undang baru.

UU ini menjadi UU kontroversial kelima yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepanjang masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Pembahasan RUU yang meliputi 11 klaster ini dikebut oleh pemerintah dan DPR di tengah berbagai penolakan yang muncul dari sejumlah elemen masyarakat sipil.

Tercatat, pembahasan RUU ini hanya memakan waktu tujuh bulan saja, sejak Presiden Jokowi mengirimkan draf rancangan regulasi serta surat presiden ke DPR pada Februari lalu.

Baca Juga: Oleh DPR RUU Cipta Kerja Resmi Jadi Undang-undang, Ini Detailnya

Bahkan, Badan Legislasi DPR menyetujui agar hasil pembahasan RUU ini dibawa ke rapat paripurna pada Sabtu (3/10/2020) malam lalu.

Salah satu klaster pembahasan yang cukup banyak mendapat penolakan yaitu terkait klaster ketenagakerjaan.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat, setidaknya ada tujuh isu penting yang menjadi dasar penolakan rencana pengesahan tersebut.

Mulai dari rencana penghapusan Upah Minimum Sektoral (UMSK), pengurangan nilai pesangon, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bisa terus diperpanjang, serta outsourcing seumur hidup tanpa batasan jenis pekerjaan.

Baca Juga: Dirapatkan Sabtu Tengah Malam untuk Disahkan Saat Banyak yang Terlelap, Inilah Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan Isi Lengkapnya, 'Kami Semua Akan Mogok Nasional!'

Kemudian, rencana jam kerja yang dinilai terlalu eksploitatif, hak cuti dan hak upah atas cuti, serta tidak adanya jaminan pensiun dan kesehatan bagi karyawan kontrak dan outsourcing.

"Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras.

"Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (4/10/2020).

Belum lagi di sektor lingkungan, khususnya mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang sebelumnya diatur di dalam Pasal 26 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Baca Juga: Kim Jong-un 'Ngamuk' Dapatkan Kritik Pedas di Tembok Pasar Korut, Perintahkan Polisi Lakukan Hal Ini pada Ratusan Warganya

Sebelumnya, pembuatan Amdal harus melibatkan warga terdampak, pemerhati lingkungan, dan siapa pun yang terpengaruh. RUU Ciptaker mengubah aturan itu.

Di Pasal 24 ayat 3, Pemerintah hanya perlu menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat dalam membuat Amdal.

Mengenai izin lingkungan di Pasal 123 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga demikian.

RUU Ciptaker menghapus regulasi itu dan menjadikan satu dengan izin berusaha--padahal itu dua ranah yang berbeda.

Baca Juga: Masih Trauma Karena Ledakan, Warga Beirut Lebanon Malah Harus Hadapi Ancaman Mematikan Ini, 'Bisa Ganggu Manusia dan Lingkungan'

Menurut rencana, aksi mogok nasional akan diselenggarakan pada 6-8 Oktober mendatang.

Selain RUU Cipta Kerja, ada empat RUU lain yang sebelumnya telah disahkan menjadi UU namun cukup menuai kontroversi.

Berikut keempat RUU tersebut:

1. UU KPK

Baca Juga: Misteri Bekas Guntingan Baju yang Hilang, Salah Satu Daftar Kegeraman Novel Baswedan Terkait Sidang Kasus Penyiraman Air Keras Kepada Dirinya

UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi telah direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK pada 17 September 2019 lalu.

Sejak awal, rencana revisi UU tersebut selalu mendapat penolakan dari aktivis antikorupsi karena dikhawatirkan melemahkan kinerja KPK.

Di era Presiden SBY, wacana revisi sempat muncul pada tahun 2010 dan 2012.

Namun akhirnya wacana tersebut mengendap. Demikian halnya pada 2015 hingga 2017, wacana revisi tersebut kembali muncul.

Baca Juga: Kronologi Lengkap Dugaan Tersangka Koruptor Menempel di Sosok Mantan Dirut PT Dirgantara Indonesia, 330 M Uang Negara Raib Digondol

Bahkan, Badan Keahlian DPR telah melakukan sosialisasi ke sejumlah perguruan tinggi terkait wacana tersebut.

Namun akhirnya, wacana itu mental kembali.

Selanjutnya pada Pilpres 2019, Presiden Jokowi sempat menunjukkan sikap penolakan atas rencana revisi tersebut.

Namun, setelah pilpres selesai, sikap presiden berubah.

Baca Juga: Dicari Selama 2,5 Tahun, 2 Terdakwa Penyiram Air Keras Novel Baswedan Dituntut 1 Tahun Penjara, Kuasa Hukum: Memalukan, Ini Sandiwara!'

Hanya butuh sepekan bagi Jokowi memberi lampu hijau untuk merevisi UU tersebut.

Bak operasi senyap, Badan Legislasi DPR menetapkan pembahasan RUU tersebut sebagai usul inisiatif DPR pada 5 September 2020.

Setelah itu, pembahasan dikebut. Baleg bahkan tidak pernah mempublikasikan rapat pembahasan draf RUU.

Meski gelombang penolakan terus bergulir, pada akhirnya hasil revisi UU itu disahkan pada 17 September 2019.

Baca Juga: Sering Dimintai Tolong Warganet, Hotman Paris Ternyata Tak Masuk Daftar 100 Pengacara Terbaik Indonesia, Tak Seperti Mantan Petinggi KPK dan Mantan Komisaris Utama PLN Ini

2. UU Minerba

UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara yang disahkan pada 12 Mei lalu, merupakan hasil revisi atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

Pembahasan 938 poin yang masuk ke dalam Daftar Inventaris Masalah pun terbilang kilat.

Sejak Panja RUU Minerba terbentuk pada 13 Februari, hanya butuh waktu tiga bulan bagi panja untuk menyelesaikan pembahasan.

Baca Juga: Freeport Enggan Jalankan UU Minerba karena Ingin Menghindar dari Kewajiban

Pada saat pengambilan keputusan di rapat paripurna, hanya Fraksi Demokrat yang menolak dan meminta ulang pembahasan RUU itu.

Sedangkan, sembilan fraksi lainnya setuju untuk disahkan.

Pengesahan RUU ini bukan tanpa penolakan. Salah satu pihak yang menolak yaitu kelompok Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Beberapa poin yang ditolak seperti perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan.

Baca Juga: Erick Thohir Tugaskan Antam Kelola Tambang Emas Eks Freeport, Ini Pendapat Ahli Pertambangan: 'Sungguh Sebuah Tantangan'

Kemudian, meski ada penambahan, penghapusan serta perubahan pasal yang berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, namun tidak ada satu pun pasal yang mengakomodasi kepentingan atas dampak industri pertambangan dan kepentingan masyarakat di daerah tambang serta masyarakat adat.

3. UU Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19

Pada akhir Maret lalu, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Penerbitan perppu tersebut dilakukan untuk merespon munculnya kasus Covid-19 di Tanah Air sejak 2 Maret 2020.

Baca Juga: Dituntut Keluarkan Perppu untuk Batalkan UU KPK, Jokowi Diminta Tiru SBY: Ini Perppu yang Dikeluarkan SBY untuk Batalkan UU Pilkada Tak Langsung yang Kadung Dibuat DPR

Bersamaan dengan terbitnya perppu itu, Jokowi turut menerbitkan dua aturan lain yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020.

Persoalan timbul ketika Perppu 1/2020 dinilai memberikan hak imun kepada penyelenggara negara dalam mengambil keputusan.

Hal itu tertuang di dalam Pasal 27 beleid tersebut, dimana pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan kebijakan itu tak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, asalkan dalam melaksanakan tugasnya didasari pada itikad baik.

Aturan di dalam perppu itu kemudian digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi. Namun, akhirnya disahkan di DPR pada 12 Mei 2020.

Baca Juga: Sebelum Bambang Trihatmodjo, Sri Mulyani Ternyata Pernah Bikin Gerah Trah Cendana Lain, Rampas Rp1,2 Triliun Langsung dari Keluarga yang Nyaris 'Kebal Hukum'

4. UU Mahkamah Konstitusi

Revisi UU Mahkamah Konstitusi sempat dikhawatirkan oleh sejumlah pihak lantaran diduga sebagai barter politik.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menuturkan, indikasi barter itu karena revisi ini menguntungkan hakim konstitusi lantaran tak lagi mengatur masa jabatan bagi hakim konstitusi.

Selain itu, RUU MK juga mengubah batas usia minimum hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 60 tahun di mana sejumlah hakim konstitusi telah berusia di atas 60 tahun.

Baca Juga: Tetap Tolak Cabut UU KPK Meski Korban Mahasiswa Mulai Berjatuhan, Presiden Jokowi: Penolak UU KPK Silahkan Ajukan Uji Materi ke MK

Sementara, DPR dan pemerintah dianggap mempunyai kepentingan karena MK tengah menangani judicial review sejumlah undang-undang kontroversial.

"Pemerintah dan DPR sudah pasti menginginkan proses judicial review terkait dengan UU KPK atau nanti soal Cipta Kerja jika disahkan oleh DPR," ujar Kurnia saat konferensi pers pada 28 Agustus lalu.

"Mereka pasti menginginkan hal itu ditolak oleh MK. Di situ kita melihat atau kita khawatir barang ini atau RUU MK ini dijadikan barter politik," lanjut dia.

Ia khawatir, revisi UU itu dapat mempengaruhi objektivitas para hakim dalam menganani proses judicial review.

Baca Juga: Jadi Korban Penusukan, Wiranto Terima Kompensasi Rp37 Juta, Sementara 3 Pelaku Dihukum 12, 9, dan 5 Tahun Penjara

Proses pembahasan revisi RUU ini pun berjalan cukup singkat. Menurut Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir, pembahasannya hanya berjalan selama tiga hari yaitu pada 25-28 Agustus.

Pada akhirnya, revisi ini akhirnya disahkan pada 1 September lalu oleh DPR.

Kepanjangan tangan oligarki

UU Cipta Kerja disebut-sebut sebagai produk hukum yang melayani segelintir pihak berkuasa, dan hanya bisa dibatalkan langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Baca Juga: Bukan Gultor SAT 81, Denjaka Ataupun Bravo 90, Inilah Pasuka Elit Bentukan Presiden Jokowi yang Hanya Bisa Diperintah Presiden, Seperti Inilah Tugasnya

Jika ia tidak membatalkannya, maka ia akan selamanya tercatat dalam sejarah sebagai kepanjangan tangan oligarki.

Dengan berlakunya UU Cipta Kerja, maka posisi oligarki kembali ke posisi sentral, dan menjadi instrumen utama kembalinya otoritarian di Indonesia.

Banyak rakyat yang menolak, dan sayap penolakan sangat luas mulai dari buruh, mahasiswa, petani, dan akademisi.

Pengesahan UU di tengah Covid-19 dan resesi ekonomi dianggap warga jika Pemerintah dan DPR telah menjadi antek penjajahan investor jahat dan koruptor.

Baca Juga: Covid Hari Ini 5 Oktober 2020, Indonesia Peringkat 23 Kasus Covid-19 di Dunia, Jokowi: Jauh Lebih Baik Ketimbang Negara Lain

(Dani Prabowo)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "RUU Cipta Kerja, Regulasi Kontroversial Kelima yang Dikebut di Era Jokowi"

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini