Lagipula dari posko istana diperoleh kabar bahwa Jenderal Nasution telah lolos. Seketika itu juga Sam mengatakan, bahwa Jenderal Nasution harus ditangkap.
Untung lalu memerintahkan supaya diambil tindakan-tindakan untuk menangkap Jenderal Nasution.
Siang itu beberapa di antara gembong-gembong “G-30-S" telah berhasil menghadap Presiden di sesuatu tempat di luar istana dan telah melaporkan mengenai tindakan terhadap para Jenderal.
Ketika kembali mereka berkata kepada Untung, bahwa Presiden telah mengangkat Men/Pangad sementara, yakni Major Jenderal Pranoto Reksosamodra.
Pada jam 15.00 sekali lagi Sam menjodorkan “Dekrit Dewan Revolusi" kepada Untung dll. Setelah ditelaah, “Dekrit" itu ditandatangani oleh Untung, Supardjo dan Heru selaku pimpinan “Dewan Revolusi". (Yang dua orang lagi, yakni Kolonel Laut Sunardi dan AKBP Anwas Tanumjaya tidak hadir).
Dokumen itu kemudian oleh (eks) Mayor Udara Suyono disuruh dibawa ke RRI untuk disiarkan.
Siang dan sore itu Presiden, yang telah berada di PAU Halim, memanggil beberapa pejabat tinggi negara, yakni Pak Leimena dan Men/Pangal Laksannana Madya E. Martadinata.
Kemudian datang Men/Pangak Irjen Pol. Sucipto Yudodiharjo yang naik pesawat dari Sukabumi. Ketiga pejabat itu menganjurkan kepada Presiden supaya pergi ke Bogor.
Dan pada jam 21.00 Presiden meninggalkan PAU Halim menuju Bogor dengan berkendaraan mobil dan disertai oleh Pak Leimena dan Pak Sucipto Yudodiharjo dengan kawalan satu peleton Cakrabirawa/Polisi dibawah pimpinan Komisaris Polisi Mangi.
Di sekitar tengah malam beliau tiba di Bogor dengan selamat.
ABRI beserta rakyat bangkit
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober itu Major Jenderal Soeharto, Panglima KOSTRAD menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.
Jenderal Yani dan beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat telah diculik atau dibunuh oleh suatu gerombolan bersenjata.
Beliau segera berangkat menuju ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur untuk menganalisa keadaan.
Beliau mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi suatu pengkhianatan oleh sesuatu komplotan kontra-revolusioner.
Karena kenyataan bahwa dengan hilangnya Jenderal Yani selaku Men/Pangad terdapat vakum di lingkungan Angkatan Darat, sesuatu hal yang amat berbahaya, Pak Harto dengan advis dari beberapa perwira tinggi TNI memutuskan untuk memegang pimpinan Angkatan Darat sementara situasi belum jelas.
Setelah mengadakan kontak dengan Panglima Daerah Militer V/Jakarta, Pak Harto berpikir cepat dan bertindak cepat.
Pertama kali diusahakan untuk menetralisir pasukan-pasukan yang masih mengambil stelling di sekitai Medan Merdeka.
Pada jam 16.00, Yon 530 Para (minus satu kompi yang dibawa oleh Dul Arief) sudah menarik diri dari stelling dan dibawah pimpinan Wadan Yon Kapten Sukarbi melaporkan diri kepada Pak Harto.
Sayang sekali Yon 454 Para dapat terus disalahgunakan oleh “G-30-S" hingga mereka mengundurkan diri ke PAU Halim dan dicerai-beraikan disana oleh RPKAD.
Setelah tahap pertama selesai, Pak Harto segera menyusul dengan tahap kedua, yakni menduduki kembali gedung Pusat Telekamunikasi dan RRI.
Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan konsinye: sedapat mungkin menghindarkan pertumpaban darah.
RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit saja telah berhasil menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan pun.
Dengan terlaksananya tahap kedua itu, Pak Harto segera melaksanakan tahap ketiga, yakni pada jam 20.00 berbicara di depan radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah beliau ambil.
Dengan tegas “G-30-S" disebut gerakan kontra-revolusioner. Dengan serta-merta seluruh Rakyat merasa lega karena tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dan tahu bahwa siaran-siaran “G-30-S" adalah siaran-siaran palsu.
Untuk memberikan pukulan maut kepada komplotan “G-30-S" Pak Harto kemudian melancarkan tahapan keampat.
Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para “Kudjang”/Siliwangi.
Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.
Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya pada tanggal 2 Oktober, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan seorang korban.
Dengan demikian selesailah sudah kisah petualangan “G-30-S" di ibukota. Caranya menyelesaikan dilakukan dengan gaya khas Pak Harto: tenang tapi tegas dan pasti, tahap yang satu disusul dengan tahap yang berikutnya di dalam urut-urutan yang serasi.
Itulah rangkaian peristiwa yang terjadi satu tahun yang lalu pada tanggal 1 Oktober. Marilah kita peringati dengan khidmat dan tekad bulat.
(Oleh Drs. Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR