Mengenang G30S: Anak-Anak Tokoh 1965 Bangga Ayah Mereka (5)

Tjahjo Widyasmoro

Penulis

Mengenang G30S: Anak-Anak Tokoh 1965 Bangga Ayah Mereka (5)
Mengenang G30S: Anak-Anak Tokoh 1965 Bangga Ayah Mereka (5)

Tulisan ini diambil dari artikel “Jalan Damai Anak-Anak Korban Konflik 1965” (Intisari, September 2004)

----------------------------

Intisari-Online.com -Meski harus menanggung derita akibat posisi politik ayahnya, tak ada sedikit pun di benak Amelia Yani (putri Letjend. Achmad Yani) , Ilham Aidit (putra DN Aidit), maupun Sugiarto (putra Brigjend. Supardjo) untuk menyesalinya. Mereka justru bangga, orangtuanya telah berbuat sesuatu untuk negeri ini dengan caranya masing-masing. Jikalaupun ada perasaan berat saat menjalani kehidupan selanjutnya, itu belumlah seberapa dibanding risiko yang harus ditanggung ayah mereka.

Amelia selalu mengenang sosok ayahnya sebagai pria tampan dan gagah, terutama saat berseragam militer. Sikapnya tegas namun tetap sayang dan perhatian kepada tujuh anaknya. Kekagumannya bahkan membuat ia dan saudara-saudara perempuanya berkeinginan bersuamikan seorang perwira militer, walau tidak kesampaian. Kesan yang mendalam itu diwujudkan dalam buku Profil Seorang Prajurit TNI yang ditulisnya selama dua tahun, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (1988).

Karena begitu sibuk, Achmad Yani memang jarang memiliki waktu khusus bagi keluarga. Hanya saja Amelia ingat, siang hari menjelang peristiwa penculikan, ayahnya sempat meminta anak-anaknya untuk datang pada peringatan hari ABRI 5 Oktober di Istana Negara. Hari itu anak-anak boleh membolos sekolah. Dalam bahasa Jawa berlogat Purworejo, Yani berkata, “Semua nanti ikut Bapak ke Istana, melihat pawai, ada paduan suara.”

Anak-anak tentu gembira diperintahkan membolos oleh ayahnya sendiri. Kegembiraan itu juga ada di wajah Yani dan tanpa sengaja tangannya menyenggol sebotol parfum di meja. Minyak yang tumpah kemudian diraup dan diusapkan ke anak-anaknya satu per satu. Katanya kemudian, “Kalau ditanya darimana wanginya, katakan wanginya dari Bapak.” Amelia kadang merenung, apakah itu semacam pesan terakhir ayahnya?

Sebagai anak seorang perwira militer, Sugiarto juga merasakan kebanggaan seperti Amelia. Di tengah waktu yang terbatas karena sering bertugas menangani pemberontakan di daerah, ayahnya selalu menyempatkan diri memberi perhatian pada keluarga. Sikapnya tegas dan berwibawa. Setiap ada masalah di antara anak-anaknya, ayahnya akan mengadili setiap anak untuk ditanya alasannya. Bila ternyata bersalah, hukumannya adalah menulis. Menulis tentang apa saja. Bahkan kalau hasilnya bagus, malah diberi hadiah.

Setelah ayahnya menyerahkan diri dan diadili, pertemuan-pertemuan keluarga terakhir dilakukan di penjara. Meski cuma bertemu satu jam, prosesnya tidak gampang. Izinnya bisa berbulan-bulan dan harus bergiliran dengan seluruh anggota keluarga. Di saat-saat terakhir itulah Sugiarto menyaksikan ketegaran ayahnya sebagai seorang militer yang berjiwa pemimpin. Bahkan hingga Mahkamah Militer Luar Biasa menjatuhinya hukuman mati, ayahnya tampak tetap tenang.

Sugiarto ingat, 15 Mei 1970, sehari sebelum pelaksanaan eksekusi, seluruh keluarga berkumpul terahir kali dalam suasana hangat. Waktu yang diberikan lebih lama dari biasa, yaitu dua jam. Saat itu ayahnya memberi nasehat dengan memegang sebutir apel. Ia menyuruh anak-anaknya untuk memecahkannya dengan genggaman tangan. Tentu tidak berhasil. Setelah apel di potong-potong, gampang dipecahkan. “Kalau keluarga sudah terpecah belah, maka kalian akan gampang dihancurkan,” pesan terakhir Supardjo yang diingat betul anak-anaknya.

Semula Supardjo meminta agar eksekusi dilakukan dengan mata terbuka. Tapi setelah dibicarakan dengan keluarga, niat itu urung dilaksanakan. Saat itu Sugiarto sempat mengajukan permintaan terakhir, yaitu agar ayahnya mati secara gagah. Pagi-pagi sekali setelah pelaksanaan eksekusi, Mr. Suwadji, pengacara Supardjo datang untuk memberitahu keluarga. Ia juga khusus menemui Sugiarto. “Ayahmu matinya gagah,” katanya. Sugiarto bangga, meski hingga kini ia mengaku tidak pernah tahu di mana kubur ayahnya. “Tapi di mana pun jasad beliau, doa kita akan sampai juga,” kata pria berperawakan besar ini.

Karena masih kecil, tak banyak yang bisa diingat Ilham tentang sosok DN Aidit. Seingatnya, ayahnya adalah orang yang sibuk bekerja dan tenggelam dalam tumpukan buku di meja kerja. “Kalau ayah pulang kerja, yang dicari adalah anak-anaknya untuk diangkat tinggi-tinggi,” kata Ilham. Seperti Sugiarto, ia juga mengaku tidak mengetahui tempat pusara ayahnya. “Sebagai orang Timur, ada juga keinginan untuk mengurus kubur orangtua,” katanya pelan.