Advertorial

4 Taktik yang Harus Dijalankan Soeharto untuk Mengakhiri Kisah Petualangan 'G30S' di Ibukota

Moh Habib Asyhad

Editor

Intisari-Online.com – Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, di sekitar jam 04.30, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusuma, Panglima Daerah Militer V/Jayakarta dibangunkan oleh telepon dari Inspektur Polisi Hamdan, ajudan Jenderal Nasution, Menko Hankam/Kasab.

Menurut laporannya, suatu gerombolan bersenjata telah menyerbu rumah Pak Nas, menembak-nembak sehingga putrinya luka-luka berat dan kemudian menculik Lettu Pierre Tendean, ajudan yang lain, Pak Nas sendiri hilang.

Kemudian Jenderal Umar mulai menerima laporan-laporan yang lain: Jenderal Yani, Harjono MT dan Pandjaitan ditembak lalu dibawa pergi oleh gerombolan bersendjata; Jenderal S. Parman, Suprapto dan Sutoyo Siswomiharjo telah diculik dari rumah masing-masing.

Komplotan kontra revolusioner “G-30-S" telah mencengkramkan kukunya ke dalam tubuh Bangsa Indonesia. Darah Pahlawan-pahlawan Revolusi telah mengalir untuk menebus kebebasan Rakyat dari teror yang meningkat.

(Baca juga:Aidit ketika Diwawancarai Intisari pada Maret 1964: ‘Puncak Perjuangan Politik Saya adalah Proklamasi Kemerdekaan, Entah Nanti...’)

Hantu-hantu di Lubang Buaya

Dua jam sebelum Jenderal Umar menerima laporan-laporan itu, di Lubang Buaya (eks) Lettu Dul Arief dari Yon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa mulai menyiapkan gerombolan bersenjata.

Gerombolan itu berintikan unsur-unsur dari Yon I Cakrabirawa sendiri dengan unsur-unsur bantuan dari Brigade I Infanteri/Jayakarta, Yon 454 Para/Diponegoro, Yon Para/Brawijaya, PGT/AURI dan “sukarelawan" Pemuda Rakyat.

Pada jam 02.30 (eks) Lettu Dul Arief memberikan briefing terakhir kepada komandan-komandak kelompok dan di sekitar jam 03.00 — 03.30, mereka berangkat menuju ke kota.

Dalam waktu yang hampir bersamaan pula mereka melaksanakan tugas khianatnya.

Di rumah Jenderal Yani, mereka melucuti pengawal yang sama sekali tidak menaruh kecurigaan karena yang mendatangi mereka adalah anggota Resimen Cakrabirawa, lalu terus memasuki rumah.

Kepada anak Pak Yani yang kebetulan sedang terbangun mereka minta untuk memberitahukan ayahnya bahwa beliau dipanggil Presiden.

Pak Yani bangun, menemuui mereka dan setelah mendengar pesan mereka, hendak masuk lagi untuk mandi.

Hal itu tidak mereka setujui dan langsung dilepaskan tembakan sehingga beliau jatuh berlumuran darah.

Dengan serta-merta mereka menyeret Pak Yani dengan kepala di bawah menuju ke jalanan lalu mereka bawa pergi.

Di rumah Jenderal Suprapto, Deputi II Men/Pangad, tidak ada pengawalnya. Di sana pun para penculik memakai dalih bahwa korban mereka dipanggil oleh Presiden.

Pak Prapto pun tidak menaruh kecurigaan, karena yang menjemput beliau adalah anggota Cakrabirawa, pengawal resmi Presiden.

Tetapi begitu beliau membuka pintu, beliau diringkus dan dengan paksa dibawa naik truk menuju ke Lubang Buaya.

Juga Pak Prapto tidak diberi kesempatan berpakaian sehingga beliau menjelang akhir hidup dengan hanya mengenakan baju kaus dan sarung.

Pejabat Angkatan Darat berikutnya yang didatangi gerombolan “G-30-S" adalah Jenderal Haryono MT, Deputi III Men/Pangad.

Juga di rumah beliau tidak ada pengawal, sehingga para durjana itu dengan mudah dapat memasuki rumah setelah mengajukan dalih yang sama: “dipanggil Presiden".

Pak Haryono, meskipun yang datang adalah anggota-anggota Cakrabirawa, ada menaruh kecurigaan.

Memang beliau sudah menerima informasi bahwa ada kemungkinan akan dilakukan pembunuhan politik oleh PKI dan pendukung-pendukungnya terhadap perwira-perwira TNI yang Pancasilais sejati.

Tetapi beliau belum juga mau percaya, karena menurut beliau cara-cara mengeliminir lawan politik dengan pembunuhan, tidak masuk akal di Indonesia.

Tapi kini kecurigaan beliau timbul. Beliau menolak untuk pergi. Maka seketika itu juga anggota-anggota gerombolan itu membuka kedoknya dan menembaki pintu kamar yang terkunci sehingga dapat masuk.

Di sana mereka menembak mati Pak Haryono yang tidak bersenjata. Jenazah beliau diseret keluar sehingga darah berceceran di sepanjang jalan menuju ke kendaraan.

Seorang anak beliau yang hendak mengejar ayahnya, dipopor sehingga terjatuh di tanah. Ketika ia dapat bangkit, gerombolan itu telah berangkat lagi.

Korban yang berikut menurut urut-urutan jabatan di Angkatan Darat, adalah Jenderal S. Parman, Asisten I Men/Pangad.

Juga beliau mula-mula tidak menaruh kecurigaan, karena beliau memang sering dipanggil ke istana pada waktu-waktu yang luar biasa.

Benar, bahwa beliau pun tahu adanya kemungkinan akan diadakannya percobaan pembunuhan oleh PKI dan pendukung-pendukungnya terhadap tokoh-tokoh Pancasilais-Saptamargais sejati, tetapi menurut beliau timing-nya masih belum tiba.

Beliau baru sadar akan kemungkinan itu ketika melihat telepon beliau dicabut dan diangkut. Tetapi ketika itu sudah terlambat; beliau sudah dikepung dan dibawa ke kendaraan.

Keistimewaan penculikan Pak Parman ialah, bahwa beliau adalah satu-satunya korban yang tiba dalam keadaan hidup di Lubang Buaya dengan berpakaian lengkap.

Pejabat yang berikut adalah Jenderal D.I. Pandjaitan, Asisten IV Men/Pangad. Di sana para durjana itu langsung memakai kekerasan, dan membunuh seorang keponakan Pak Pandjaitan dan melukai seorang lagi.

Kemudian mereka menembaki bagian atas rumah yang bertingkat dua itu dan mengancam akan menghabisi seluruh keluarga Pak Pandjaitan jika beliau tidak mau turun dan tetap hendak mengadakan perlawanan.

Melihat cara-cara kekerasan yang dipakai oleh gerombolan, Ibu Pandjaitan meminta kepada Pak Pandjaitan untuk tidak melawan, dengan pengharapan bahwa suami beliau hanya ditahan.

Pak Pandjaitan menuruti permintaan istri beliau, dan turun ke bawah setelah mengenakan pakaian lengkap dengan tanda pangkat dan satyalencana-satyalencana.

Setiba di bawah, beliau langsung dipukul dengan senjata sehingga jatuh ke tanah lalu diberondong oleh dua orang sehingga benak beliau berceceran di sekitarnya.

Kemudian mereka melempar jenazah itu keluar pagar lalu melontarkannya ke atas truk dan kemudian kembali ke Lubang Buaya.

Sungguh suatu aib yang tiada taranya, bagi ABRI: seorang perwira tinggi dalam uniform lengkap dibunuh secara yang sedemikian keji.

Perwira tinggi berikutnya adalah Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Oditur Jenderal Angkatan Darat.

Juga beliau diseret pergi dalam pakaian tidurnya tanpa diberi kesempatan berpamitan dengan Ibu Sutoyo yang ketika itu sedang sakit.

Sebelum pergi anggota gerombolan itu masih sempat menghancurkan barang-barang pecah-belah yang mereka temui di dalam rumah.

Calon korban yang tertinggi pangkatnya, adalah Jendral Dr. A.H. Nasution. Menko Hankam/Kasab.

Berkat lindungan Allah subhanahu wa ta'ala beliau dapat menghindarkan diri. Tetapi para durjana itu masih sempat menembak anak bungsu beliau Adik Irma Suryani sehingga luka-luka berat dan beberapa hari kemudian meninggal.

Seorang di antara ajudan-ajudan beliau yang tanpa kecurigaan apa-apa keluar menemui mereka, mereka culik dan mereka bawa ke Lubang Buaya.

Dalam pada itu, sebelum mereka sampai ke rumah Pak Nas, dan melucuti pengawal beliau yang tidak menaruh kecurigaan, mereka telah mencoba pula melucuti pengawal Pak Leimena yang tinggalnya hanya dipisahkan satu rumah.

Seorang pengawal, Ajudan Inspektur Polisi (Anumerta) Karel Satsuitubun mengadakan perlawanan sampai ia gugur kena tembakan gerombolan. Jenazahnya ditinggalkan di pekarangan rumah Pak Leimena.

Para korban yang dibawa ke Lubang Buaya, yang masih hidup, mengalami penganiayaan dan penghinaan-penghinaan oleh segenap anggota gerombolan yang berkemah di sana termasuk beberapa ribu anggota Pemuda Rakyat, Gerwani dan Sobsi yang selama berbulan-bulan telah dilatih dan dipersiapkan di tempat itu.

Akhirnya mereka disudahi nyawanya dan dilemparkan ke dalam sumur tua lalu ditimbun dengan lumpur, sampah, dan daun-daunan.

Dalang-dalang dan lakon yang dipersiapkan

Lettu Dul Arief tidaklah bergerak sendiri. Ia didalangi oleh sesuatu kekuatan gelap yang telah beberapa lama menantikan saat untuk memainkan lakon yang kita persaksikan pada tanggal 1 Oktober 1965 itu.

Adapun persiapan-persiapan khusus terakhir bagi pelaksanaannya dibicarakan dalam serangkaian rapat gelap yang mempertemukan tokoh-tokoh utama daripada petuangan itu.

Tokoh-tokoh itu terdiri atas dua golongan, yakni golongan “pembina” dan golongan yang dibina.

Para “pembina" terdiri atas petugas-petugas PKI, sedangkan yang dibina (dalam hal ini) adalah perwira-perwira ABRI.

Yang dibina tidak selalu saling mengenal selaku orang-orang yang se-ideologi ; untuk keperluan-keperluan khusus kadang-kadang mereka dipertemukan oleh para pembinanya.

Demikianlah, Untung diberitahu oleh pembinanya yang bernama Sujono, bahwa pada tanggal 3 September akan ada rapat di mana ia akan diperkenalkan dengan (eks) Kolonel Latief, Komandan Brigade I Infantesri/Jayakarta, (eks) Major Udara Sujono, Komandan Resimen Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim.

Rapat pada tanggal 3 September 1965 itu merupakan rapat pertama untuk merupakan persiapan terakhir bagi gerakan 1 Oktober 1965.

Yang hadir dari pihak “pembina" adalah: Sam dan Supono (yang menurut eks- Kolonel Latief adalah “pengawal” D.N. Aidit), sedang dari pihak yang dibina adalah: Latief, Untung, Sujono dan tuan rumah (eks) Kapten Wahyudi.

Dalam rapat itu Sam memberi briefing mengenai adanya “Dewan Jenderal” yang dipimpin oleh Jenderal Nasution dan Jenderal Yani yang merencanakan suatu kup.

Sam meminta supaya para perwira yang hadir merencanakan sesuatu guna menghalangi rencana “Dewan Jenderal” tersebut.

Rapat yang paling penting karena meletakkan dasar-dasar daripada “G-30-S" adalah rapat tanggal 19 September 1965 bertempat di rumah (eks) Kolonel Latief di Cawang.

Pada rapat itulah Sam menunjuk Untung selaku “pemimpin” daripada “G-30-S".

Ketentuan-ketentuan yang khusus mengenai pencetusan “G-30-S" dilakukan pada dua rapat terakhir.

Pada rapat tanggal 29 September di rumah Sam, tokoh PKI itu memutuskan bahwa komplotan mereka diberi nama “Gerakan 30 September" dan bahwa Hari-H jatuh pada malam keesokan harinya, meskipun Jam-J akan jatuh pada dinihari tanggal 1 Oktober.

Dalam pada itu dalam beberapa rapat sebelumnya kepada (eks) Kolonel Latief telah ditugaskan untuk menyusun rencana operasi.

Menurut rencananya, operasi diberi nama Operasi Takari dan dibagi atas 3 komando:

1. Komando Penculikan dan Penyergapan yang dipimpin oleh Dul Arief dari Cakrabirawa; 2. Komando Penguasaan Kota yang dipimpin oleh (eks) Kapten Suradi dari Brigade I Infanteri/Jayakarta dan 3. Komando Basis yang dipimpin oleh (eks) Major Udara Gatot Sukresno.

Ketiga komando itu bertanggung jawab kepada Central Comando atau Cenco.

Pada tanggal 30 September pagi diadakan rapat terakhir di Lubang Buaya. Yang hadir adalah (eks) Brigadir Jenderal Suparjo, Latief, Sujono, (eks) Mayor Bambang Supeno (Dan Yon 530 Para), Gatot Sukresno, (eks) Kapten Kuncoro (Wadan Yon 454 Para), Suradi, Dul Arief, Sugito dan dua orang sipil yang tidak dikenal.

Keputusan-keputusan yang terpenting adalah:

1. Hari-H adalah, tanggal 1 Oktober dan Jam-J adalah jam 04.00.

2. Nama samaran bagi masing-masing komando adalah:

a. Pasopati buat komando Dul Arief;

b. Bimasakti buat komando Suradi

c. Gatotkaca buat komando Gatot Sukresno.

3. Jakarta dibagi atas 6 sektor, yakni:

a. Sektor I (sekitar istana)

b. Sektor II (Jatinegara)

c. Sektor III (Priok)

d. Sektor IV (Kota)

e. Sektor V (Dukuh Atas-Semanggi)

f. Sektor VI (Kebayoran Baru).

Perkembangan selanjutnya

Ketika pasukan Pasopati di bawah pimpinan Dul Arief melaksanakan tugas mautnya, para benggolan “G-30-S" baik “pembina"-nya maupun yang dibina terus berkumpul, mula-mula di Lubang Buaya dan kemudian ke gedung film Perusahaan Negara Areal Survei (PENAS) di Jakarta Bypass.

Di sanalah diputuskan untuk mengirimkan delegasi kepada Presiden yang terdiri atas Suparjo, Latief, (eks) Kolonel Udara Heru Atmojo, (eks) Major Sukirno (Dan Yon 454 Para) dan (eks) Mayor Bambang Supeno (Dan Yon 530 Para).

Pada waktu itu pula Sam mengajukan draft pengumuman bagian penerangan “G-30-S" yang sudah sama kita kenal.

Setelah disetujui oleh semuanya, naskah itu dikirimkan kepada (eks) Kapten Suradi di RRI untuk disiarkan.

Siarannya jadi dilakukan pada jam 07.20. Kemudian “delegasi" berangkat ke istana, meskipun mula-mula diputuskan bahwa mereka akan berangkat pada jam 06.00 sesudah ada laporan dari Dul Arief mengenai misinya.

Tetapi karena Dul Arief sampai jam itu belum juga datang, telah diputuskan supaya “delegasi" toh berangkat saja.

Baru pada jam 08.00 Dul Arief tiba untuk menyampailkan laporan bahwa semua tugas “terlaksana dengan baik".

Tak lama sesudah laporan itu Sam menjodorkan konsep “Dekrit Pertama" mengenai pendemisioneran Kabinet Dwikora dan penentuah Letnan Kolonel selaku pangkat tertinggi di dalam ABRI.

Konsep itu belum sempat dibahas karena rombongan pindah ke PAU Halim.

Tak lama sesudah itu “delegasi” tiba dari istana dengan tangan hampa. Presiden tidak ada di istana.

Lagipula dari posko istana diperoleh kabar bahwa Jenderal Nasution telah lolos. Seketika itu juga Sam mengatakan, bahwa Jenderal Nasution harus ditangkap.

Untung lalu memerintahkan supaya diambil tindakan-tindakan untuk menangkap Jenderal Nasution.

Siang itu beberapa di antara gembong-gembong “G-30-S" telah berhasil menghadap Presiden di sesuatu tempat di luar istana dan telah melaporkan mengenai tindakan terhadap para Jenderal.

Ketika kembali mereka berkata kepada Untung, bahwa Presiden telah mengangkat Men/Pangad sementara, yakni Major Jenderal Pranoto Reksosamodra.

Pada jam 15.00 sekali lagi Sam menjodorkan “Dekrit Dewan Revolusi" kepada Untung dll. Setelah ditelaah, “Dekrit" itu ditandatangani oleh Untung, Supardjo dan Heru selaku pimpinan “Dewan Revolusi". (Yang dua orang lagi, yakni Kolonel Laut Sunardi dan AKBP Anwas Tanumjaya tidak hadir).

Dokumen itu kemudian oleh (eks) Mayor Udara Suyono disuruh dibawa ke RRI untuk disiarkan.

Siang dan sore itu Presiden, yang telah berada di PAU Halim, memanggil beberapa pejabat tinggi negara, yakni Pak Leimena dan Men/Pangal Laksannana Madya E. Martadinata.

Kemudian datang Men/Pangak Irjen Pol. Sucipto Yudodiharjo yang naik pesawat dari Sukabumi. Ketiga pejabat itu menganjurkan kepada Presiden supaya pergi ke Bogor.

Dan pada jam 21.00 Presiden meninggalkan PAU Halim menuju Bogor dengan berkendaraan mobil dan disertai oleh Pak Leimena dan Pak Sucipto Yudodiharjo dengan kawalan satu peleton Cakrabirawa/Polisi dibawah pimpinan Komisaris Polisi Mangi.

Di sekitar tengah malam beliau tiba di Bogor dengan selamat.

ABRI beserta rakyat bangkit

Pada pagi hari tanggal 1 Oktober itu Major Jenderal Soeharto, Panglima KOSTRAD menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.

Jenderal Yani dan beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat telah diculik atau dibunuh oleh suatu gerombolan bersenjata.

Beliau segera berangkat menuju ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur untuk menganalisa keadaan.

Beliau mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi suatu pengkhianatan oleh sesuatu komplotan kontra-revolusioner.

Karena kenyataan bahwa dengan hilangnya Jenderal Yani selaku Men/Pangad terdapat vakum di lingkungan Angkatan Darat, sesuatu hal yang amat berbahaya, Pak Harto dengan advis dari beberapa perwira tinggi TNI memutuskan untuk memegang pimpinan Angkatan Darat sementara situasi belum jelas.

Setelah mengadakan kontak dengan Panglima Daerah Militer V/Jakarta, Pak Harto berpikir cepat dan bertindak cepat.

Pertama kali diusahakan untuk menetralisir pasukan-pasukan yang masih mengambil stelling di sekitai Medan Merdeka.

Pada jam 16.00, Yon 530 Para (minus satu kompi yang dibawa oleh Dul Arief) sudah menarik diri dari stelling dan dibawah pimpinan Wadan Yon Kapten Sukarbi melaporkan diri kepada Pak Harto.

Sayang sekali Yon 454 Para dapat terus disalahgunakan oleh “G-30-S" hingga mereka mengundurkan diri ke PAU Halim dan dicerai-beraikan disana oleh RPKAD.

Setelah tahap pertama selesai, Pak Harto segera menyusul dengan tahap kedua, yakni menduduki kembali gedung Pusat Telekamunikasi dan RRI.

Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan konsinye: sedapat mungkin menghindarkan pertumpaban darah.

RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit saja telah berhasil menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan pun.

Dengan terlaksananya tahap kedua itu, Pak Harto segera melaksanakan tahap ketiga, yakni pada jam 20.00 berbicara di depan radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah beliau ambil.

Dengan tegas “G-30-S" disebut gerakan kontra-revolusioner. Dengan serta-merta seluruh Rakyat merasa lega karena tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dan tahu bahwa siaran-siaran “G-30-S" adalah siaran-siaran palsu.

Untuk memberikan pukulan maut kepada komplotan “G-30-S" Pak Harto kemudian melancarkan tahapan keampat.

Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para “Kudjang”/Siliwangi.

Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.

Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya pada tanggal 2 Oktober, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan seorang korban.

Dengan demikian selesailah sudah kisah petualangan “G-30-S" di ibukota. Caranya menyelesaikan dilakukan dengan gaya khas Pak Harto: tenang tapi tegas dan pasti, tahap yang satu disusul dengan tahap yang berikutnya di dalam urut-urutan yang serasi.

Itulah rangkaian peristiwa yang terjadi satu tahun yang lalu pada tanggal 1 Oktober. Marilah kita peringati dengan khidmat dan tekad bulat.

(Oleh Drs. Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966)

Artikel Terkait