Tulisan ini diambil dari artikel “Jalan Damai Anak-Anak Korban Konflik 1965” (Intisari, September 2004)
----------------------------
Intisari-Online.com -Era Reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, membawa angin segar bagi iklim politik di Indonesia. Hawa sejuknya berhembus juga di kalangan anak-anak korban konflik masa lalu. Sebagai anak manusia yang sudah merasakan pahitnya menjadi korban konflik, timbul keinginan untuk berkumpul dan melupakan masa lalu yang kelam.
Awalnya beberapa anak korban konflik seperti Sarjono Kartosoewirjo (anak tokoh DI/TII Kartosoewirjo), Nani Nurachman, dan Agus Widjojo (anak Letjen. Sutojo), dan Sugiarto, mulai saling kontak dan menggagas suatu wadah silaturahmi. Belakangan disepakati namanya Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Perkumpulan ini merangkul keturunan dari pihak yang terlibat konflik-konflik lain seperti DI/TII Aceh dan PRRI/Permesta yang berasal dari keluarga militer, serta keturunan dari tokoh sipil seperti Syarifuddin Prawiranegara, HOS Tjokroaminoto, H Agus Salim, dan Yap Thiam Hien.
Dalam ikrar perdamaian di Hotel Hilton Jakarta, 5 Maret 2004, FSAB antara lain menyatakan menghargai kesetaraan di antara mereka dan terhadap segenap bangsa Indonesia. Sebuah kesetaraan tanpa diskriminasi diharapkan menjadi upaya awal menuju rekonsiliasi di antara semua pihak yang pernah bertikai. Rekonsiliasi seperti apa? Bentuknya memang masih terus dibicarakan.
FSAB ternyata membawa hikmah tersendiri bagi anak-anak korban konflik 1965 - 1966. Pertemuan-pertemuan rutin forum ini memecahkan kebekuan antara anak-anak Pahlawan Revolusi dengan anak-anak tokoh yang berseberangan, seperti Sugiarto, Ferry Umar Dhani (putra Marsekal Umar Dhani), dan belakangan Ilham Aidit. Mereka mampu duduk semeja, tertawa bersama, berpelukan, dan saling menyemangati. Suatu keadaan yang sungguh sulit dibayangkan terjadi di masa lalu.
Memaafkan dengan tulus memang gampang diucapkan, tapi sungguh bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Namun, Amelia Yani merasa perlu melakukannya karena tidak ingin mewariskan dendam kepada anak cucunya sehingga mereka tumbuh menjadi pembenci. “Tapi mereka tidak tahu yang dibenci itu apa. Marah tapi tidak tahu marah pada siapa,” tutur ibu dari seorang putra, Dimas Tjahyono Dradjat.
Amelia mengakui belum seluruh anggota keluarganya sanggup melakukan itu. Seorang adiknya, hingga sekarang masih bergetar dan menangis jika berbicara masalah pembunuhan ayahnya. “Semua tergantung kepekaan masing-masing. Saya menghormati sikap adik saya,” katanya.
Sugiarto yang juga sempat mendapat pertanyaan dari keluarga soal keterlibatannya di FSAB, mengakui memang tidak mudah untuk melupakan kepedihan masa lalu. Tapi karena menyadari bahwa semua ini adalah takdir dari Yang Maha Kuasa, ia dengan ikhlas bisa melakukannya. “Saya tidak benci militer. Saya juga tidak ingin hidup ini tersiksa hanya karena dendam,” demikian prinsipnya. Ia mengaku cukup bahagia jika FSAB bisa menjadi gerakan moral yang mampu mengajak semua berdamai, dan tidak perlu menuntut terlalu jauh.
Hingga hampir 40 tahun sejak peristiwa itu terjadi, tak satu pun anak-anak korban konflik 1965 - 1966 mengetahui latar belakang peristiwa hingga mereka harus kehilangan ayah tercinta. Tak terkecuali anak-anak Pahlawan Revolusi. Yang mereka tahu hanyalah bentuk-bentuk kekerasan yang disaksikan dengan mata kepala sendiri. Sungguh, suatu luka batin yang tak mudah dilupakan, namun dapat disembuhkan dengan kebesaran jiwa.