Mengenang G30S: Dari Panti Jompo Berharap Perempuan Indonesia Tetap Berjuang

Moh Habib Asyhad

Penulis

Mengenang G30S: Dari Panti Jompo Berharap Perempuan Indonesia Tetap Berjuang
Mengenang G30S: Dari Panti Jompo Berharap Perempuan Indonesia Tetap Berjuang

Intisari-Online.com -Nenek-nenek itu, dari panti jompo berharap perempuan Indonesia tetap berjuang. Intisari edisi September 2014 mengajak kita mengenang G30S dari cerita nenek-nenek yang semasa mudanya adalah aktivis-aktivis militan.

---

Terlepas dari stigma negatif masyarakat mengenai organisasi yang dia ikuti, Lestari, 83, adalah sosok yang bersemangat memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia juga begitu getol memperjuangkan nasib buruh dan petani yang memang menjadi fokus Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Bahkan sampai sekarang, Lestari, dari panti jompo berharap perempuan Indonesia tetap berjuang.

Semangat terhadap perjuangan perempuan bahkan masih tersisa hingga sekarang. “Dibelikan kalung saja sudah senang. Satu hal yang harus disadari kaum ibu, meski cantik, jika ada kesempatan, bukan tidak mungkin suaminya ingin beristri lagi,” ujar perempuan yang ayahnya berpoligami itu, terkekeh.

Pujiati, 80, juga masih terlihat energik. Perempuan kelahiran Purworejo yang pernah mendekam di penjara selama 14 tahun itu selalu teliti memeriksa tiap surat masuk yang dialamatkan ke Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi. Jika surat tidak sesuai ketentuan, perempuan yang pernah aktif di serikat buruh sebuah korporasi besar dunia itu tak segan-segan mengembalikannya kepada si pengirim lantas menyuruhnya datang lagi lain waktu.

“Kami tahu, sebagai wartawan Mas membutuhkan informasi. Tapi di sini (panti jompo - Red.) juga ada aturannya,” ujar Pujiati ketika menolak surat permohonan wawancara pertama dari Intisari gara-gara salah sasaran.

Di antara para penghuni panti jompo, Pujiati tampak yang paling tegas. Saat Intisari berkunjung ke sana untuk ke sekian kalinya, mantan ketua RW itu beberapa kali mengingatkan bahwa jam berkunjung atau wawancara ada batasnya. Selain karena itu sudah ketentuan pengurus panti, nenek-nenek tersebut juga membutuhkan waktu istirahat.

Untuk diketahui, jam berkunjung di Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi adalah pukul 08.00 - 12.00 WIB dan pukul 15.00-17.00 WIB. Sisanya untuk istirahat dan kegiatan pribadi para penghuni panti sepenuhnya.

Saban harinya, Pujiati lebih senang berkutat dengan satu-satunya mesin jahit yang ada di panti itu, yang letaknya persis di bagian paling belakang ruangan utama. Jika tidak, dia akan berada di kamarnya yang berada di bagian depan, dekat pintu masuk, melakukan kegiatan yang menjadi kegemarannya.

Lain dengan Pujiati dan Lestari yang lebih banyak berdiam di panti karena sudah sangat uzur, Sri Sulistiawati, 74, masih sering wira-wiri ke berbagai acara, baik sebagai pembicara maupun sebagai undangan. Dengan kaki yang sudah tidak kokoh lagi akibat siksaan di penjara, Sri termasuk yang paling mobil di antara para penghuni panti.

Meski paling muda, dengan jaringan kerja yang dimilikinya, Sri sering “dituakan” atau dimintai pertimbangan ketika ada kunjungan-kunjungan. Selain berharap perempuan Indonesia tetap berjuang, dari penuturannya, eks penghuni penjara perempuan Bukit Duri, Jakarta, itu kerap diundang Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) atau mengikuti kegiatan Kamisan di depan istana presiden saban Kamis sore yang digagas oleh Suciwati, istri mendiang Munir. (Intisari, 2014)