Ray Sahetapy yang Menolak Disebut Orang Beken: ‘Saya Biasa-biasa Saja’

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ray Sahetapy meninggal dunia pada usia 68 tahun. Meski keren, aktor kelahiran Donggala itu ingin disebut sebagai sosok yang biasa-biasa saja (HAI)
Ray Sahetapy meninggal dunia pada usia 68 tahun. Meski keren, aktor kelahiran Donggala itu ingin disebut sebagai sosok yang biasa-biasa saja (HAI)

PROFIL RAY SAHETAPY

Ray Sahetapy meninggal dunia dalam usia 68 tahun di RSPAD Gatot Subroto karena komplikasi. Semasa hidup, ingin dikenal sebagai sosok yang biasa-biasa saja.

Tayang pertama di Majalah HAI edisi November 1985 dengan judul "Ray Sahetapy"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kabar duka datang dari dunia selebitras Indonesia. Aktor beken dan kawakan, Ray Sahetapy, meninggal dunia dalam usia 68 tahun. Ray meninggal di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, pada Selasa (1/4) tempat hari akibat komplikasi menahun.

Menurut keterangan adik Ray, Charly Sahetapy, kakaknya sudah terserang stroke sejak. Ray juga memiliki riwayat sakit diabetes. Pria asal Donggala, Sulawesi Tengah itu pun sempat hampir meninggal karena tersedak.

Mantan istri sekaligus ibu dari anak-anak Ray, aktris Dewi Yull, baru akan melayat saat Surya datang. "(Beliau datang) sama Ka Surya," ujar Raya si bungsu.

Dewi sendiri telah mengungkapkan duka citanya melalui Instagram story tak lama setelah Ray kembali ke Sang Pencipta. Ray akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan pada Jumat (4/4/2025). Ray memang memiliki wasiat bahwa ingin dimakamkan di pemakaman keluarganya di Sulawesi Tengah. Namun anak-anaknya berharap mereka bisa mengurus pusara sang ayah.

Akhirnya keluarga memutuskan Ray dikubur di Jakarta terlebih dahulu. "Nanti sesuai dengan amanah dia, mungkin kita akan pindahin ke sana. Mungkin ya, nanti dilihat perkembangan. 2 tahun kan cukup lama. Jadi, kita lihat perkembangan itu," tutur Charly.

Terkait sepak terjang Ray Sahetapy di awal pernikahannya dengan Dewi Yull (keduanya bercerai pada 2004), Majalah HAI pernah menulisnya dengan ciamik di bawah judul “Ray Sahetapy”, tayang pada 29 Okt-4 Nov 1985

RAY SAHETAPY

Kita terlalu dijejali mitos yang salah. Seorang bintang mesti tampan seperti Ray. Namanya populer, tapi dia menolak sebagai orang beken. "Saya orang yang biasa-biasa saja." Punya prinsip: Menanam dulu, baru nanti akan memetik panennya.

Rumah bercat putih — produk KPR BTN — berukuran 54 meter, di atas tanah 226 meter, di Blok B 7 Nomor 2 Pondok Pucung Indah II, begitu sederhana. Nggak megah layaknya sebuah istana. Sebuah rumah mungil yang dihuni keluarga muda. Ini memang rumah kebanyakan, tak ada kesan mentereng — ya apa adanya. Isinya pun tidak terlihat barang yang mencolok, perabotnya biasa saja.

Gambaran sederhana — dalam arti yang jelas — terbersit dalam penghuni rumah itu. Meski semuanya pasti tahu, bahwa dua bintang tenar saat ini yang menempati. Bisa jadi juga kalian tidak percaya, mana mungkin, bintang yang belakangan ini membintangi banyak film kok malah tinggal di tempat macam itu.

Kita terlalu dijejali mitos yang salah. Seorang bintang mesti berbinar-binar. Hidupnya yang gemerlapan, ganteng dan dikerubuti wanita cantik. Atau, bintang itu harus molek kayak bidadari, kehidupannya bagai dongeng seribu satu malam, segalanya diatur dan sesuatunya berjalan beres.

"Di sini, waktu malam bintang terang benderang. Tapi siang hari cahayanya pudar, nggak bersinar lagi. Bagi kami, keluarga kecil ini, tentu berusaha untuk menjadi bintang yang sinarnya tak pernah padam. Setiap hari makin terang makin terang. Namun seperti itu jelas tidak gampang,"tutur lelaki, bertampang keren, pemilik rumah bercat putih itu.

"Hidup kami memulai dari papan bawah. Kini yang kami lakukan, sebenarnya enam tahun lalu sudah kami tanam. Baru saat ini panennya dipetik, walau pas-pasan. Kami sangat bahagia, merasakan sekali kebahagiaan itu, benar-benar nikmat. Honorarium hasil keringat kami, kami perinci cermat. Kami tidak mempergunakan buat pesta atau dihabiskan ke disko. Ada bintang yang begitu sih, tapi keluarga kami tidak."

Kesederhanaan merupakan dasar sikap hidup mereka. Sebelum berdiam di kawasan Pondok Pucung Indah II, keluarga muda itu tinggal di rumah kontrakan daerah Petojo Jakarta Pusat. Menempati sebuah rumah yang tidak luas, ruang tamunya berukuran tiga kali empat — sangat terasa sumpek karena berjejer kulkas kecil, bufet dan meja makan — ditambah dua buah kamar.

Keadaan macam itu masih tergolong lumayan. Dibanding dengan situasi setelah menikah, bulan Juni 1981, keluarga muda ini hanya mengandalkan keberanian. Mereka tidak mengada-ada, justru ingin mandiri, mencoba mengatasi tantangan. Tidak enak jika tetap tinggal bersama orangtua. Bagaimanapun mereka membentuk keluarga baru, melangkah penuh keyakinan, lantas keluarga muda itu mengontrak rumah di wilayah Salemba.

Digenggamlah harapan, dadiawali dari titik nol. Mereka tak memiliki apa-apa selain kekuatan. Ditempati ruangan yang kosong melompong, ukurannya sembilan meter serta tambahan kamar mandi.

Di tempat itu mereka merintis, melangkahkan cita-citanya. Ranjang, jangan tanya, tapi masalah tempat tidur mereka nggak pusing. Lembaran koran bekas dibentangkan di atas lantai. Kertas koran itu sengaja dipakai sebagai alas.

Mereka mempunyai tekad keras. Mereka membangun keluarga dengan semangat membara, tak terdapat kalimat pantang menyerah. Hidup dijalani secara mencair, mereka menikmati tetesan keringat sendiri.

Kisah pahit mereka bukan rekaan. Pasang surut kehidupan, mereka reguk: Perih, manis dan getir.

"Banyak orang yang menyangka kehidupan keluarga kami tak kekurangan. Semua orang memandang kami ini pasti nampak wah. Tapi kami ini, ya begini ini. Bila sekarang ini film saya antri beredar, itu yang dulu. Malah kini saya belum mendapat tawaran main, nah tidak mesti kan bintang berdenyar terus."

"Berapa honor Anda dalam sekali main film, tidak keberatan menyebut angkanya?"

"Saya masih pemain yang dibayar murah. Di luar saya, tak perlu saya sebutkan, berderet bintang yang mahal bayarannya. Honor yang saya terima, pokoknya cukup untuk menghidupi keluarga kami."

"Oke, taruhlah honor yang Anda terima segitu. Dan apa berarti itu merupakan suatu imbalan yang pantas? Ini mengingat kerja keras dan keseriusan Anda. Konon sewaktu Anda mendapat tawaran main di film Opera Jakarta, Anda serius pula menekuni olahraga tinju — supaya tokohnya menyatu."

"Di sini letak bedanya. Jika bintang Hollywood sekali main bayarannya bisa untuk hidup dua tahun, tapi di sini nggak mungkin. Di sana bintang itu aktor, tidak buat di sini. Jadi di sana aktor itu totalitas, utuh dengan tokoh yang diperani, sedang di sini saya kira semuanya pada tahu sendiri. Akhirnya kembali pada diri pribadi bintang itu, ini yang berlaku di sini. Dan untuk memperkaya batin saya, jelas saya belajar, Saya pernah terlibat dalam berbagai bidang keseruan, ikut musiknya Slamet Abdul Syukur dan sebagainya. Itu semua adalah perpustakaan batin saya."

"Apa enaknya jadi orang populer kayak Anda?"

"Saya bukan orang yang populer, saya tak merasa. Saya orang yang biasa-biasa saja. Macam Anda juga, bekerja dan bermasyarakat. Kalau lain dengan Anda, hanya bidangnya. Kebetulan Anda wartawan, saya bukan. Tapi saya pernah memerankan tokoh wartawan."

"Anda ingin jadi wartawan?"

"Ingin sih ingin. Tunggu dulu, suatu ketika saya akan menulis."

"Anda berjanji menulis mengenai pengalaman main film, kesulitan dan senangnya. Benar mau menulis?"

"Berjanji, tapi entah kapan. Sekarang kan lagi sepi tawaran, ya nggak ada yang ditulis. Nanti, pasti, jangan saat ini."

Lahir di Donggala, 1 Januari 1957, nama lengkapnya Ferenc Raymond Sahetapy — kita mengenal sebagai Ray Sahetapy, memang mengalir darah seniman pada dirinya. Setidaknya dari sang ayah, Pieter Sahetapy, yang jagoan meniup terompet. Ayah Ray, selain seorang musikus, juga petinju pasar malam. Lalu ibunya, Emma Nelwan, tak berkecimpung di percaturan kesenian, tapi senang menonton film.

Perjalanan hidup Ray bergerak mengikuti proses waktu. Dia tak menganggap bahwa apa yang dialami kayak sekarang, sebagai bintang, karena — terseret — faktor kebetulan. Ray menolak alasan itu. Baginya, dia punya bakat dan bakat itu lantas digali. Dengan kata lain, kerja keras sesuai kemampuannya.

Pendidikan formal dilalui wajar saja. Ia tidak terlalu menonjol, nggak pula ketinggalan. Sekolah Dasar di Donggala, baru Sekolah Menengah Pertama di kota Palu, SMA-nya diselesaikan di Surabaya. Menginjak SMA, Ray masuk pulau Jawa. Usai SMA ia membedah Jakarta, sebagaimana gayanya anak muda Ray pun ingin memasuki Perguruan Tinggi.

Ray mentok di Trisakti, dia sebagai mahasiswa perhotelan. Dia memilih kuliah di bidang itu ada beberapa alasan. Alasan utama, soalnya dia sudah diskenario sang ayah. Ayah Ray di Palu punya hotel, nah Ray ini yang ditunjuk — nantinya — pengelola usaha itu. Tapi waktu mengulir lain. Ray cuma tahan kuliah enam semester, lalu cabut ke Institut Kesenian Jakarta — Akademi Teater.

"Kuliah di perhotelan, kenapa putus tanpa sebab. Bosan?"

"Di situ, mungkin, bukan bidang saya. Ternyata di Akademi Teater itu saya menemukan yang dicari. Saya berekspresi. Buktinya saya kuliah di situ kurang lebih tiga tahun."

"Seandainya ada tawaran mengurus hotel, Anda sanggup?"

"Ini perkaranya lain, urusannya sangat beda. Enam semester untuk menekuni perhotelan belum apa-apa. Sama saja, lama di Akademi Teater, toh saya kan baru sekian langkah. Apa-apa itu ada prosesnya, saya seperti sekarang ini tidak luput dari suatu proses."

"Jadi bintang film juga merupakan proses?"

"Tentu dong. Suatu saat saya main drama Natal, di gereja nih. Sutradara bilang saya ini berbakat dan menyarankan supaya masuk akademi teater. Dan akademi itu bakat saya terkembang, itu adalah proses. Saya bergaul sama mereka, orang-orang yang menggumuli secara serius dunia teater. Lha mereka ini mendorong saya main film. Semula saya takut, tak siap mental, tapi mereka memaksa saya untuk mencoba. Saya akhirnya main film, saya mencoba. Gagal, saya mencoba lagi, mencoba lagi."

"Jadi, Anda tipe lelaki yang tak puas?"

"Maksud saya, saya mesti banyak belajar."

Ray menikah dalam usia muda, dua puluh empat tahun. Demikian wanita yang digaetnya, Dewi Yull, ketika itu berumur dua puluh tahun. Perkawinan mereka berjalan lima tahun, dan dikaruniai seorang putri benama Gizca (3 tahun). Mereka pasangan muda yang berbahagia, serasi, sejalan. Mereka sama-sama berkubang dalam dunia kesenian.

Sebagai bintang, dengan tinggi seratus tujuh puluh lima centimeter dan berat badan enam puluh empat kilogram, Ray punya pamor tersendiri. Potongan badannya yang atletis, menawan, jelas itu daya tarik yang tak bisa digugat. Modal itu, juga modal akting tentunya, ialah nilai yang nyata.

"Banyak lho penggemar Anda yang kesengsem karena Ray berwajah tampan."

"Itu nggak benar. Saya banyak juga menerima surat, yang menyatakan tertarik saya karena permainan. Memuji akting saya. Pernah dalam suatu film saya memerankan tokoh ayah. Tokoh ayah ini, persis dengan ayah seseorang yang menulis surat buat saya. Penulis surat itu mengutarakan, kalau tingkah laku ayahnya, tidak berbeda wataknya dengan ayah yang saya perani. Saya kaget membacanya, ternyata permainan saya yang dinilai."

"Giliran ngomong tentang peta film Indonesia. Bisakah Anda menggambarkan perkembangannya, ya ini menurut kaca mata Ray?"

"Kita kekurangan aktor."

"Aktor sih berjibun, tengok jumlah anggota Parfi."

"Jumlahnya banyak memang, tapi itu bintang bukan aktor sesungguhnya. Aktor yang huruf A-nya besar itu jarang. Yang dicari itu, aktor yang melibatkan dirinya secara total."

"Untuk mengatasi upaya itu?"

"Kita mesti banyak sanggar. Ya melalui sanggar. Dari sanggar itu pemain benar-benar bergelut, menggumuli dan totalitas. Kita banyak butuh sanggar model Teater Populer."

"Balik ke Anda, menyangkut soal profesi yang Ray tekuni. Pernah mengalami masa buntu, macet gitu?"

"Pasti. Saya macet kalau di film tidak terlihat hal yang baru. Baru maksudnya tidak yang itu-itu melulu. Tidak satu warna, membuat film kan tidak harus seragam."

"Masih mengenai profesi, Anda merasa sudah bekerja keras?"

"Ini cerita tentang waktu saya masih nol belajar teater. Saya belajar sampai tengah malam. Teman-teman pada mencemooh, tapi saya diam. Nah baru setelah saya seperti ini, teman-teman itu membenarkan apa yang saya kerjakan. Saya berprinsip, apa-apa yang dilakukan dengan kerja keras bakalan ada hasilnya. Menanam dulu, baru nanti akan memetik panennya. Melakukan secuil pekerjaan, pasti tak ada sia-sianya."

"Oleh orangtua, Anda pernah dilarang jadi bintang film?"

"Ayah tidak melarang. Ibu yang khawatir, ibu tak ingin saya mengikuti jejak ayah. Peniup terompet seret duit, itu pandangan ibu barangkali."

"Ini pertanyaan yang terakhir, Anda sayang sama Dewi?"

"Iya dong. Saya sayang, jelas. Dewi istri saya, saya cinta. Dewi profesinya tiga. Penyanyi, artis film dan ibu rumah tangga yang bijak. Saya sayang."

Rumah bercat putih di Blok B 7 Nomor 2 Pondok Pucung Indah II, begitu sederhana. Tidak tampak kesan mewah. Di dalam rumah, isinya juga sederhana: Lantai dilapisi karpet, lemari yang penuh buku dan berjejer piala miliknya Dewi. Perabotan lain, televisi dan tape deck. Ray-Dewi penghuni rumah itu, potret tentang kesederhanaan. Sederhana itu indah, pasangan Ray-Dewi menggeluti hidup secara indah pula.

Artikel Terkait