Penyanyi legendaris Titiek Puspa meninggala dunia dalam usia 87 tahun. Kisah hidupnya yang berliku rasanya sayang untuk dilewatkan.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Penyanyi legendaris Titiek Puspa yang meninggal dunia pada Kamis (10/4) sore, sekitar pukul 16.25 WIB, di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan. Eyang Titiek mangkat akibat pendarahan otak.
Untuk mengenang sang legenda, kami tayangkan kembali artikel lama Majalah Intisari tentang penyanyi yang tiga kali ganti nama ini.
Artikel ini ditulis oleh Yds Agus Surono dan A. Hery Suyono di bawah tajuk Titiek Puspa Sempat Pingsan Setengah Hari
Perjalanan karier wanita kelahiran Tanjung, Kalimantan Selatan, dalam dunia tarik suara dan mencipta lagu ini sarat dengan kisah-kisah unik dan menarik. Kesetiaannya pada profesi hingga usianya yang menginjak kepala delapan (editor) ini pun patut dicatat.
Sehari setelah meluncurkan album terbarunya yang bertajuk "Virus Cinta", penerima penghargaan BASF Award ke-10 untuk kategori "Pengabdian Panjang di Dunia Musik" tahun 1994 dia berkisah tentang perjalanan kariernya kepada Intisari di rumahnya.
"Apakah sekarang Tuhan sayang sama aku?" Pertanyaan polos anak gadis berusia sekitar 10 tahun itu terasa mengaduk-aduk perasaan manakala tahu kondisi yang melatarbelakanginya.
Tiga kali ganti nama
"Waktu itu aku masih kelas dua SD," kata Titiek Puspa mengawali kisah tentang masa kecilnya. "Begitu masuk kelas, aku ndrodog (gemetaran). Seperti yang sudah-sudah, guru pun menyuruhku pulang. Namun aku berkeras untuk tetap tinggal karena waktu itu hujan deras. Tetapi pak guru tetap berkeras juga. 'Pulang!'"
Waktu kecil Titiek memang sakit-sakitan. Tak aneh kalau dia memiliki banyak nama sebab dalam kondisi begitu tradisi Jawa memang mengharuskan untuk mengganti nama. Dari semula Sudarwati menjadi Kadarwati, lalu terakhir Sumarti.
Jarak dari sekolah ke rumahnya jauh. Payung tidak ada. Badan pun semakin gemetaran. Namun semua itu tak membuat Sudarwati kecut.
"Aku pun berlari pulang menerjang pekatnya air hujan," kenang wanita yang masih terlihat energik di usianya yang sudah senja ini. Sepanjang perjalanan dia ngomel-ngomel, "marah" kepada Tuhan.
"Sementara anak-anak lain bisa masuk sekolah tanpa gangguan, kenapa aku harus pulang? Bukankah Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang?" teriak Sumarti di sela-sela derasnya hujan.
Tiba-tiba saja petir pun menggelegar. "Aku tidak takut! Bunuh saja aku!" teriaknya lagi. Petir dan hujan masih terus menemani Sumarti yang basah kuyup.
Tiba di rumah ada bukannya langsung masuk ke dalam rumah, tapi berlari ke kebun di belakang rumah. Dia memetik berbagai macam buah muda dan bergetah yang tumbuh di kebun. Mangga muda, petai cina, mengkudu, dll. Dikupas, dipotong-potong, dan dicampur dengan cabai kemudian digerusnya dalam lengser, semacam piring berukuran besar.
Dia nekat menyantap rujak buatannya itu. "Aku pikir, dengan makan rujak itu aku akan meninggal. Ternyata cuma air liur yang membanjiri mulut," katanya dengan raut muka orang kepedasan. Sebuah upaya "bunuh diri" yang konyol. Tapi setelah itu semua berubah jadi gelap.
Blek, Sumarti kecil tak ingat apa-apa lagi. Jatuh pingsan. Begitu bangun hari sudah gelap. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 22.00. "Berarti aku telah pingsan setengah hari! Karena ibuku memiliki 12 orang anak, sehingga tak terasa kalau kehilangan satu anaknya."
Keanehan justru terjadi pada keesokan harinya.
"Bangun tidur tubuhku terasa enteng. Semua tugas aku kerjakan dengan tuntas; mencuci piring, menyapu halaman, dan memandikan adik. Berangkat ke sekolah pun ringan saja. Serasa seperti the six million dollar (wo)man. Di sekolah pelajaranku menjadi bagus. Mencongak bagus, menyanyi juga bagus," ceritanya.
Karena merasa girang bukan kepalang, begitu pulang sekolah dia berlari sekencang-kencangnya. Sampai rumah pun langsung menuju ke kebun. Tak lagi memetik buah-buah muda untuk dirujak. Kali ini dia memanjat pohon yang paling tinggi.
"Tuhan, kok sekarang aku tidak sakit lagi? Tadi pelajaran mencongak dapat sepuluh. Menyanyi juga bagus. Pulang sekolah bisa lari kencang!" teriaknya dari pucuk pohon.
Begitulah kepolosan anak kecil yang terbebas dari "siksaan". Gadis kecil itu pun menyambung dengan suatu ungkapan terima kasih dan rasa syukur.
"Kalau begitu, sekarang aku akan menyanyi untuk Tuhan," kata Sumarti lagi. Titiek lalu menembangkan beberapa lagu, umumnya lagu Jawa, dengan suaranya yang masih jernih dan bening. Habis itu, menyanyi di atas pohon menjadi sebuah "ritual" bagi Sumarti alias Titiek kecil setiap kali pulang sekolah.
Nama samaran
Cerita pun bergulir dengan peristiwa-peristiwa yang kelak mengubah jalan hidup dan cita-cita Sumarti. Sebuah sukses kecil namun membuat hidupnya mulai berubah. "Suatu ketika ada perlombaan menyanyi, tapi bukan di sekolah. Aku bingung, antara ikut atau tidak. Soalnya, aku takut dimarahi bapak," tutur Titiek.
Dalam pandangan orang tuanya, penyanyi itu ya seperti tukang nembang dalam kelompok kesenian Jawa. Supaya tidak ketahuan bapaknya, teman-teman sekolahnya pun mengusulkan untuk memalsu namanya.
"Kamu 'kan dipanggil Titiek. Bapakmu bernama Puspo. Bagaimana kalau kamu pakai nama samaran Titiek Puspo?" Begitu usul teman sekolahnya saat itu.
Awalnya dia kurang setuju karena kata puspo berbau bahasa Jawa. Akhirnya, dia sepakat namun Puspo diindonesiakan menjadi Puspa. "Sejak itu, jadilah Titiek Puspa sebagai nama baruku."
Meski saat itu masih duduk di bangku SMTP (sekarang SMP, red), namun dia tidak merasa gentar meski pesaingnya rata-rata murid SMU (sekarang SMA, red). Keberuntungan pun berpihak padanya. Titiek Puspa juara!
Hatinya berbunga-bunga. Kesenangan an itu semakin memuncak manakala tahun 1954 dia menjadi juara di Bintang Radio Jenis Hiburan tingkat Jawa Tengah. "Meski memperoleh juara kedua namun karena nilainya tinggi, aku berhak mengadu kemampuan di tingkat nasional,” katanya bangga.
Terbebasnya dari keadaan sakit-sakitan dan juga kemenangan dalam lomba menyanyi menjadi bagian tersendiri yang selalu dikenang Titiek. Keyakinannya untuk bisa menjadi penyanyi semakin tebal. Lebih-lebih setelah bapaknya meminta maaf atas sikap yang menentangnya terjun dalam dunia tarik suara, sesaat sebelum meninggal dalam pelukan Titiek.
Kesempatan berharga pun dia peroleh. Pada malam pemberian hadiah juara di Stadion Ikada, Jakarta, Sjaiful Bachri, pimpinan Orkes Simphony Djakarta, meminta Titiek ikut menyanyikan lagu. Sebuah kebanggaan mengingat biasanya hanya juara I yang boleh tampil pada Malam Gembira.
Kala itu dia menyanyikan lagu yang bisa jadi tak terlupakan, Chandra Buana, karya Ismail Marzuki. Beberapa hari kemudian, lagu itu sempat mengudara lewat RRI untuk sementara waktu.
Dari panggung ke panggung
Bukan jalan tol yang ditemui Titiek dalam meniti karier di jalur musik.
Kesempatan rekaman baru dia peroleh pada 1955 di Semarang dari perusahaan rekaman milik negara, Lokananta. Namun setiap kesempatan selalu menciptakan kesempatan lain. Kemampuan untuk menyiasati setiap kesempatan pada akhirnya menentukan apakah rentetan kesempatan itu akan sampai pada kesuksesan.
Pada rekaman kedua dia menyanyikan satu lagu Melayu. Tahun 1956 dia masuk dapur rekaman di perusahaan rekaman Irama, menyusul kemudian rekaman ketiga tahun 1959. Kedua rekaman itu dilakukan di Jakarta karena kebetulan Titiek sedang mengikuti festival Bintang Radio yang menjadi obsesinya.
Sayang sekali, meski berkali-kali ikut lomba Bintang Radio, Titiek tetap gagal juga. Padahal saat itu menjadi juara Bintang Radio sangat berpengaruh dalam dunia musik; bisa jadi batu loncatan untuk semakin dikenal khalayak luas.
Setelah gagal dan gagal lagi, Titiek sadar dan tak berharap lagi. Dia lantas menekuni tarik suara langsung di lapangan. Dari panggung ke panggung.
Tiga puluhan tahun kemudian Titiek Puspa mengakui, pilihannya itu sangat tepat. Segala nikmat dan sukses diakuinya merupakan hasil kerja di panggung.
Sejak 1960 dia tercatat sebagai satu dari beberapa penyanyi Orkes Simphony Djakarta. Dia juga mengisi panggung hiburan bersama beberapa grup musik, seperti White Satin, Zaenal Combo, atau Gumarang ke berbagai kota di Jawa.
Panggung dan pentas telah membentuk jiwa menghiburnya. Suara altonya semakin terasah. "Dulu kalau menyanyi di lapangan, miknya gede tapi suara yang keluar kecil. Beda dengan sekarang. Makanya, kalau menyanyi harus keras biar kedengaran sampai belakang," katanya.
Sejak itulah, dunia musik Indonesia terkena efek bola salju dari wanita putri pasangan Tugeno Puspowidjojo-Siti Mariam ini.
Berawal dari not "telanjang"
Selain penyanyi Titiek Puspa juga dikenal sebagai pencipta lagu. Entah sudah berapa ratus lagu lahir dari hasil perenungannya. Sebagai pencipta lagu, Titiek ibarat batu mulia: baru mengkilap setelah digosok. Dulunya dia mengaku sama sekali tak punya pikiran untuk mencoba mengarang.
Kemampuannya mencipta lagu tak lepas dari dukungan pianis Mus Mualim. "Improvisasiku kuat. Kata Mus Mualim, improvisasi sudah merupakan sepenggal lagu," katanya sambil mendendangkan beberapa lagu tanpa lirik.
Dia pun mencoba mengarang lagu dan meminta Mus Mualim menilainya. Mencipta lagu ternyata tak mudah. Sampai coretan lagu ke-8, Mus Mualim masih menolaknya. Baru pada lagu ke-9 Mus Mualim menerima ciptaannya. Itu pun dia hanya berkomentar, "Ya, lumayan."
Tahun 1963 Titiek menggubah Kisah Hidup, lagu pertama ciptaannya. Mus Mualim yang sudah dia kenal beberapa tahun sebelumnya turut membantu mengoreksi notasinya. Maklum saat itu Titiek belum tahu teknik menulis lagu. Dia hanya menulis lagu dengan not angka "telanjang", tanpa birama, maupun tanda-tanda baca musik apa pun.
"Saya memang autodidak," akunya terus terang.
Kisah Hidup tak begitu bergaung. Baru pada ciptaan kedua, Mama (1964), secercah harapan mulai tampak. Selain dia bawakan sendiri, beberapa lagu ciptaannya juga dinyanyikan oleh penyanyi lain, dan sekaligus melambungkan nama penyanyi tersebut.
Ambil contoh, Lilies Suryani (Gang Kelinci), Eddy Silitonga (Romo Ono Maling, Rindu Setengah Mati), Acil Bimbo (Adinda), serta Euis Darliah (Apanya Dong).
Tema dan corak lagu-lagunya sangat beragam. Ada lagu cinta (Cinta dan Jatuh Cinta), persahabatan (Bing), empati pada kaum pinggiran (Kupu-kupu Malam), sampai patriotisme (Pantang Mundur dan Ayah). Coraknya mulai dari yang lembut dan syahdu (Adinda) sampai yang mengentak-entak (Marilah ke Mari dan Apanya Dong). Dia pun tak terseret arus dalam mencipta lagu.
"Marilah ke Mari, misalnya, tercipta saat lagu-lagu Koes Plus merajalela," ujar Titiek.
Proses kreatif Titiek Puspa dalam mencipta lagu mengalir begitu saja, dan bisa muncul di mana saja dan kapan saja. "Asal bukan tempat yang ramai atau sambil diajak ngobrol," selorohnya. Bing, Kupu-kupu Malam, dan Cinta adalah sebagian lagu yang tercipta dalam kondisi yang berbeda.
Lagu Bing tercipta di atas pesawat terbang sewaktu dia akan mengadakan pertunjukan di Singkep, Riau (1973). Dia akui, Bing Slamet adalah pujaan hatinya. Keinginan untuk bertemu dengan Bing sudah terpupuk sejak dia memenangkan kontes menyanyi di Semarang tahun 1954.
"Mengapa aku terkagum-kagum pada Bing? Semua tak terlepas dari penampilannya. Dia seorang entertainer. Sewaktu tampil di panggung serasa tak memiliki beban. Bicaranya tak menyinggung orang. Bahkan apa yang dia lakukan telah membuat banyak orang senang," ungkapnya dengan nada serius.
Sore itu berita meninggalnya Bing Slamet sangat mengagetkannya. Namun dia tak bisa hadir dalam pemakaman karena harus pergi ke Singkep.
Di atas pesawat menuju ke Singkep, Titiek Puspa mencurahkan perasaan sedih dan haru untuk teman, guru, dan sahabatnya. Sambil- menangis sesenggukan, dia mencoret-coretkan "kata-kata" di atas sobekan kertas kantung muntahan.Siang itu surya … kekasih telah pergi untuk selamanya ... kapan lagi kita 'kan bercanda; kapan lagi kita bermanja .... Hingga terciptalah lagu Bing hanya dalam waktu setengah jam!
Sementara Kupu-kupu Malam diciptakan sebagai wujud empatinya terhadap seorang wanita pekerja seks. Ketika dia sedang show di luar kota, wanita itu menemuinya di kamar dan mencurahkan segala kepedihan hatinya.
Melewati banyak cobaan
Kejadian lain yang mengesankan dalam hidupnya adalah ketika dia mengajari anaknya untuk bisa "ramah" lingkungan. "Waktu itu tahun 1964. Sangat jarang ada permintaan pentas. Petty, anakku, sakit demam. Sekitar pukul lima sore lewat pedagang mi. 'Ma, Petty ingin mi. 'Kan dua hari belum makan,"' tutur Titiek menirukan rengekan Petty, putrinya. "Saya bingung, sebab duitnya nggak ada. Tapi juga merasa kasihan sekali," ucap Titiek dengan nada memelas.
Di dapur masih ada sop dan nasi. Titiek lantas mencoba menjelaskan pada putrinya.
"Jika Petty dmau beli mi, nanti seluruh keluarga tidak bisa makan karena duitnya pas-pasan sekali," katanya setengah merajuk. Setelah dijelaskan Petty akhirnya mau makan sop. Sungguh aneh! Setelah makan sop, Petty sembuh dari demamnya.
"Dengan mengorbankan egonya, Petty menjadi hero bagi keluarga," ujarnya mencoba menganalisis. Kejadian itu membuat Titiek menangis melepas rasa bahagia sekaligus rasa bersalah.
Banyak kejadian tak menyenangkan menimpanya. Selama dua tahun suaranya hilang. Setelah berikhtiar dan berobat ke sana-kemari, akhirnya sembuh di tangan Romo Lukman di Purworejo. Konon, dia "dikerjai"' orang. Dari kejadian itu terciptalah Apanya Dong (1982).
"Lumayan, hasilnya bisa untuk berobat suami ke Jepang," katanya ringan.
Sepulang dari Jepang, dia menerima kenyataan pahit. Rumahnya terbakar tahun 1983. Seluruh dokumen hilang. Namun dia melihat hal itu sebagai peringatan dari Tuhan. "Rumahmu itu kamar mandinya kecil. Padahal cucumu 'kan banyak?" Itulah pesan yang dia tangkap, dan lantas dia merombak rumahnya.
Keterlibatannya yang mendalam dengan sebuah peristiwa atau kejadian sering kali membangkitkan bakat mengarangnya. Ketika dia dimusuhi pers gara-gara salah paham, bersamaan dengan meninggalnya ibunya, lahirlah Mama.
Juga ketika harus menghadapi perceraian, gosip, serta mengasuh dua anaknya, Petty dan Ella. Ketenteraman diakuinya baru memayungi hidupnya semenjak menikah dengan Mus Mualim di tahun 1970, sampai Mus meninggal 1 Januari 1990.
Tahun 1991 dia mendapat cobaan lagi ketika membuat kesalahan dengan menyerahkan karangan bunga untuk penyanyi berpenampilan terbaik kepada Utha Likumahuwa dan Trie Utami dalam Festival Lagu Populer Indonesia di Yogyakarta yang disiarkan secara langsung oleh TVRI. Padahal bunga itu mestinya untuk Harvey Malaiholo.
Kejadian di bulan Juli itu masih membekas dalam dirinya. Bukan saja dia menerima rasa tidak suka dari penggemar dan orangtua Trie Utami, banyak yang mengira dia melakukan "lelucon". "Padahal itu kekeliruan," tuturnya.
Toh kehidupan seperti itu yang membuatnya matang, membuatnya berani, tekun, dan jujur. "Sekarang banyak orang yang berani dan tekun, tapi melupakan kejujuran," ungkap perempuan yang menerapkan pola panca-usaha -- pengaturan makan, tidur, bekerja, olahraga (pernapasan), dan istirahat -- dalam hidupnya itu.
Selain menyanyi dan mencipta lagu, dia sempat pula main film layar lebar maupun sinetron.
Keterlibatannya di dunia film diawali dari Minah Gadis Dusun (1965), diaambil dari judul lagu ciptaannya. Kemudian Di Balik Cahaya Gemerlapan, Inem Pelayan Sexy (1976), Karminem (1977), Rojali dan Juleha (1980), serta Koboi Sutra Ungu (1982). Sementara sinetron diakuinya sebagai obat kangen.
Meski sempat menjadi guru TK, cita-citanya waktu kecil, dunia musik adalah hidupnya. "Kalau menjadi guru TK paling aku hanya bisa menyanyi untuk muridku. Kalau jadi penyanyi 'kan banyak yang bisa mendengar suaraku," ungkapnya mencoba menyikapi jalan hidupnya.
---
Kini Titiek Puspa telah menghadap ke haribaan Tuhan Yang Esa, karyamu abadi, Eyang! (Yds Agus Surono/A. Hery Suyono)