Intisari-online.com -Selama 75 tahun Indonesia berdiri, Papua menjadi sebuah masalah khusus.
Tujuh presiden berkuasa, dan mereka semua memiliki kebijakan yang berbeda-beda atas Papua.
Namun yang sejauh ini paling mengerikan adalah di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Soeharto adalah sosok yang membuka tambang emas Freeport di Papua, atau yang saat itu bernama Irian Jaya.
Tidak itu saja, ia juga mendatangkan begitu banyak penduduk Jawa ke Papua.
Freeport di tanah Papua
Catatan sejarah mengungkapkan Presiden Soeharto resmikan tambang tembaga milik Freeport Sulphur pada 3 Maret 1973.
Berdiri dengan sumringah, Soeharto juga mendirikan kota Tembagapura saat itu.
Ia berujar: "Perusahaan ini adalah pelopor penanaman modal asing di Indonesia; dan lebih istimewa lagi dalam modal yang sangat besar. Tuan-tuan datang ke Indonesia dalam keadaan kami yang masih sulit pada tahun 1966."
Gelonggongan dana investasi itu tidak bisa tidak menggiur Soeharto yang saat itu tergerak untuk membangun masa depan Indonesia.
Baginya, investasi itu berarti bentuk kepercayaan kepada Indonesia yang juga telah mendorong penanam-penanam modal asing lain agar datang ke Indonesia.
Soeharto mengklaim kegiatan tambang akan membantu memajukan masyarakat lokal.
“Karena itu, saya sangat gembira dapat meresmikan pembukaan tambang ini. Saya ucapkan selamat kepada Freeport Indonesia, kepada pimpinannya dan kepada seluruh karyawannya,” kata Soeharto yang lantas menutup pidatonya dengan ucapan terimakasih.
Nasib suku Amungme
Freeport didirikan di wilayah Pegunungan Erstberg yang memang kaya dengan tembaga, tapi pesona utama bukanlah tembaga saja.
Salah satu gunung bernama Grasberg adalah gunung emas dengan cadangan melimpah yang disebut sebagai cadangan emas terbesar di dunia.
Kontrak karya kemudian lahir berdasarkan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang langsung disetujui oleh Soeharto.
Sejak itu Grasberg menjadi milik Freeport.
Suku Amungme, suku asli Papua yang berdiam di dataran tinggi sekitar proyek tambang Freeport tentu mendapatkan petaka jika Freeport didirikan.
Suku Amungme memiliki kepercayaan jika mereka terikat dengan tanah leluhur, dan Gunung Grasberg dianggap suci.
Bagi mereka Puncak Grasberg adalah kepala ibu, dan tidak ada orang Amungme yang tidak menghormati kawasan keramat tersebut.
Freeport segera mengubah Gunung Grasberg menjadi lubang raksasa sedalam 700 meter, dengan Danau Wanagon yang dikenal sebagai danau suci orang Amungme hancur juga.
Danau itu menjadi pembuangan batuan limbah yang asam dan beracun.
Tak hanya itu, Freeport juga mencemari tiga badan sungai utama wilayah Mimika: Aghawagon, Otomona, dan Ajkwa karena sengaja jadi tempat pembuangan limbah sisa produksi atau tailing.
Penulis Harsutejo menulis dalam Kamus Kejahatan Orba, "Lebih dari 200.000 ton tailing dibuang setiap harinya ke Sungai Aghwagon, yang kemudian mengalir ke Sungai Otomona dan Sungai Ajkwa".
Ia pun menyaksikan sendiri sungai-sungai di sekitar Tembagapura berubah warna menjadi coklat tua pekat.
Suku Amungme dan suku-suku lain juga terganggu oleh migrasi pendatang dari pulau di luar Papua.
Tercatat sekitar sejuta hektar lahan pemukiman suku Amugme jadi milik para pendatang.
Penyebabnya adalah program transmigrasi.
Transmigrasi ke Papua era Soeharto
Sebenarnya transmigrasi ke Papua tidak hanya dicanangkan oleh Soeharto saja, Soekarno juga menggalakkannya, tapi dengan tujuan yang sangat berbeda.
Sejak tahun 1961, pemerintah Indonesia gencar melawan Belanda yang bernafsu membentuk negara Papua Barat yang lepas dari Indonesia.
Itulah sebabnya Soekarno akhirnya mengeluarkan Trikora (Tiga Komando Rakyat) berisikan pertentangan pembentukan negara boneka Papua.
Tahun 1963, Menteri Luar Negeri Soebandrio tegaskan orang Jawa tidak akan mengkolonisasi Papua Barat dan Papua Barat tidak akan dijadikan tujuan transmigrasi pemerintah.
Namun saat itu sudah ada orang Jawa yang mendiami Papua Barat akibat program kolonisasi pemerintah Hindia-Belanda 60 tahun silam dan juga dikirimkan oleh kelompok partikelir Belanda sebelum merdeka.
Total ada sekitar 16 ribu orang dari Jawa dan Sulawesi yang sudah ada di kota-kota utama Papua.
Hanya berselang satu tahun, janji Soebandrio dilanggar pemerintah, seperti dicatat dalam buku Pananganan Program Transmigrasi di Irian Jawa: Suatu Pendekatan Kesejahteraan dan Kemanusiaan.
Dalam buku itu disebutkan pada tahun 1964 Kodam Cendrawasih menyaksikan kedatangan transmigran dari Jawa ke Jayapura dan Merauke total sekitar 1000 jiwa dalam 267 kepala keluarga.
Program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) Soeharto selanjutnya menjadi mimpi buruk warga Papua, karena dalam program itu terencana dengan jelas gelombang transmigrasi terarah dalam jumlah besar.
Tidak tanggung-tanggung, pemerintah Orba terapkan standar hidup berdasarkan kebudayaan dan cara hidup orang Jawa meliputi buku-buku sekolah, tata cara menanam padi, dan pembangunan rumah.
Transmigran asal Jawa juga mendapat posisi unggulan dibanding masyarakat lokal.
Sejak 1969 jumlah orang Jawa yang ikut dalam transmigrasi slealu naik, tercatat melalui Repelita I dan II, pemerintah Orba berhasil menempatkan 41.701 transmigran dalam 9.916 kepala keluarga.
Kemudian pada Repelita IV tahun 1984, jumlah melonjak tajam menjadi 137.800 KK, berasal dari Jawa, Buton, Bugis, dan Makassar.
Akibatnya lahan-lahan pun dibuka, membutuhkan sampai 689 ribu hektar.
Tanah Suku Amungme pun terpaksa direnggut.
Pakar dan akademisi sejak Januari 1985 sudah mendesak pemerintah secara halus untuk mengurangi jumlah transmigran ke Papua Barat, tapi Menteri Transmigrasi Martono menolak mentah-mentah usul tersebut.
“Pemerintah tidak akan mengurangi pengiriman transmigrasi ke Irian Jaya, bahkan akan meningkatkan namun pelaksanaannya akan dilakukan lebih hati-hati untuk menghindarkan konflik sosial antara pendatang dengan penduduk asli,” kata Martono, seperti dikutip Sabam Siagian dalam “Kita dan Papua Nugini: Masa Depan Bersama” dari Buletin Antara terbitan 25 Februari 1985.
Sabam Siagian juga menulis dalam buku karangan Ali Moertopo, Sekar Semerbak terbitan 1985 jika transmigrasi dipercaya dapat mendorong kemajuan penduduk Papua Barat dengan kembali ke tujuan transmigrasi: memeratakan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan, dan mengukuhkan persatuan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini