Penulis
Intisari-Online.com - Ancaman yang ditebar oleh KKB terhadap orang Jawa yang tinggal di tanah Papua ternyata dipicu oleh hal yang sudah dimulai sejak zaman pendudukan Belanda.
Saking besarnya dampak dari pemicu tersebut terhadap kondisi di Bumi Cenderawasih, pemerintah pusat sampai harus ambil kebijakan berat pada dua dekade silam.
Ya, seperti kita ketahui, hubungan antara Indonesia, khususnya pihak keamanan dengan kelompok pemberontak Papua yang sering disebut KKB semakin memanas.
Pasca-gugurnyaKepala BIN Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI Gusti Putu Danny Nugraha yang ditembak oleh KKB di Distrik Beoga, Papua, Minggu (25/4/2021), suasana di Bumi Cenderawasih semakin menegang.
Apalagi setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkanKapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk memburu para anggota KKB.
Hingga akhirnya, titik tertinggi konflik antara keduanya terjadi saat pemerintah Indonesia, melaluiMenteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah memutuskan KKB di Papua sebagai teroris.
Pemerintah Indonesia menilai bahwa penetapan tersebut perlu diambil seiring dengan semakin banyaknya aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh KKB Papua.
"Berdasar definisi yang dicantumkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 maka apa yang dilakukan oleh KKB dan segala nama organisasinya dan orang-orang yang berafisiliasi dengannnya adalah tindakan teroris," tutur Mahfud, Kamis (29/4/2021), seperti dikutip darikompas.com.
Bahkan, tak perlu waktu lama, pemerintah Indonesia langsung memerintahkan perburuan anggota KKB berikut dengan tindakan tegas yang bisa diambil.
"Pemerintah sudah meminta kepada Polri, TNI, BIN, dan aparat terkait segera melakukan tindakan secara cepat, tegas, terukur menurut hukum, dalam arti jangan sampai menyasar ke masyarajat sipil," ucap Mahfud.
Keputusan pemerintah Indonesia tersebut sendiri sempat membuat KKB merasa posisi mereka rawan jika sampai Indonesia memutuskan untuk melakukan aksi militer besar-besaran.
Melalui sebuah surat terbuka, mereka menyebut Indonesia seharusnya mengedepankan perundingan, sebelum melakukan operasi militer.
Hanya saja, ternyata surat terbuka yang oleh sebagian pihak tak ubahnya sikap muka dua dari KKB Papua tersebut, tak menghentikan aksi-aksi kekerasan mereka.
Terbaru, mereka bahkan kembali melakukan aksi keji dengan membakar sekolah dan Puskesmas, serta merusak jalan dan jembatan di Mayuberi, Distrik Ilaga Utara, Minggu (2/5/2021).
Bahkan, terbaru, mereka berani menebarkan ancaman kepada orang Jawa yang tinggal di tanah Papua.
Ancaman yang dilontarkan pun tergolong sangat mengerikan, mereka menyebut akan memusnahkan orang Jawa di Bumi Cenderawasih.
Bukan semata karena label teroris
Namun, belakangan terungkap bahwa ancaman terhadap orang Jawa yang dilontarkan oleh KKB bukan semata didasari oleh label teroris yang diberikan kepada mereka.
Ada sebuah kebijakan yang telah diambil lebih dari satu abad lalu yang telah memulai perselisihan antara Orang Asli Papua (OAP) dengan masyarakat pendatang.
Kebijakan yang dimaksud tidak lain adalah program kolonialisasi yang dimulai sejak zaman Belanda.
Program tersebut ke Papua, yang umumnya diisi oleh penduduk asal Pulau Jawa, dimulai Belanda atas dorongan untuk memenuhi kebutuhan pangan para pegawai Belanda.
Selanjutnya saat akhirnya Papua berhasil direbut oleh Indonesia, program ini masih tetap berlangsung, namun dengan istilah lain, yaitu transmigrasi.
Program ini terus berjalan sepanjang Soeharto berkuasa dan baru terhenti setelah Sang Jenderal lengser.
Penghentian program transmigrasi dari Jawa ke Papua secara resmi dihentikan pada tahun 2000, setelah muncul penolakan besar-besaran dari OAP, terutama setelah meletusnya konflik di Sampit, Kalimantan.
Penyebab utama dari penghentian program tersebut, sekaligus menjadi pemicu dendam kesumat KKB terhadap orang Jawa di Papua, adalah karena dianggap telah memiskinkan masyarakat lokal.
Hak-hak adat mereka abik atas tanah, hutan, maupun dengan sumber daya alam lainnya dianggap telah dirampas oleh para pendatang.
Selain itu, menurut Mantan staf ahli Menaker Transmigrasi dan mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai adalah munculnya sikap diskriminatif yang dilakukan oleh para pendatang.
"Kaum migran di Papua bersama anggota TNI dan Polri telah terbentuk karakter eksklusif dan diskriminatif yang cenderung tidak menyukai orang Melanesia (Melanesiaphobia) dan inilah salah satu faktor kegagalan integrasi sosial di Papua," tutur Natalius (7/6/2015) seperti dikutip darikompas.com.
Beruntung, jika kembali ke soal ancaman yang dilontarkan oleh KKB terhadap orang Jawa di Papua, Polri sudah memberikan jaminan keamanan.
"Masyarakat di Papua tak perlu khawatir dengan keberadaan KKB," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono saat dikonfirmasi, Senin (3/5/2021), seperti dikutip dari Warta Kota.
"TNI-Polri akan menjaga dan mengawal warganya dalam bingkai NKRI di tanah Papua."