Advertorial

Sekulerisme Di Atas Segalanya Bahkan Ungguli Agama Itu Sendiri, Terkuak Mengapa Majalah Seperti Charlie Hebdo Tetap Makmur di Negeri Anggur, UU Ini Jadi Buah Simalakama untuk Banyak Pihak

May N

Editor

Intisari-online.com -Perancis gegerkan dunia setelah Presidennya, Emmanuel Macron, membela majalah yang menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.

Hal ini memicu kemarahan dari seluruh umat Muslim di dunia.

Kenyataannya, akibat hasil karikatur seperti yang diterbitkan majalah satire Charlie Hebdo-lah latar belakang terjadi insiden serangan teroris di Perancis dalam satu bulan terakhir.

Termasuk pemenggalan seorang guru sejarah sekolah menengah di pinggiran Paris, Samuel Paty.

Baca Juga: Umat Muslim Indonesia Ikut Boikot Produk Perancis, MUI Bahkan Sudah Serukan Penarikan Dubes RI di Paris

Lantas mengapa majalah pengangkat isu SARA seperti itu masih saja kebal hukum di Perancis?

Macron secara tegas menyebutkan negara tidak akan mengkritik tindakan Paty yang memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad.

Ia juga menggambarkan Paty sebagai perwujudan dari "wajah Republik".

Ia membela penerbitan karikatur Nabi Muhammad, sikap yang memicu kemarahan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Baca Juga: Namanya Mendadak Jadi Sorotan, Usai Dianggap Menghina Islam Dan Nabi Muhammad SAW, Ternyata Ini 5 Kontroversi Presiden Perancis Macron, Termasuk Nikahi Nenek 67 tahun

Perancis adalah negara yang menjunjung sekularisme.

Sekularisme negara atau laicite menduduki posisi sentral dalam identitas nasional Perancis dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari moto pasca-revolusi, yaitu "liberty, equality, fraternity".

Berdasarkan prinsip laicite ini, ruang publik, seperti ruang kelas dan tempat kerja, harus bebas dari agama.

Negara beralasan, menekan kebebasan berpendapat untuk melindungi perasaan komunitas tertentu melemahkan persatuan nasional.

Baca Juga: Mengenal Media Pengolok-olok Ekstrimisme Islam Charlie Hebdo, Belasan Anggota Karyawannya Pernah Tewas Karena Sering Diserang Atas Karya Kontroversialnya

Di "Negeri Anggur", warga berhak beragama tapi orang juga berhak untuk tidak beragama.

Keduanya sama-sama dilindungi oleh negara.

Pada 1905, dikeluarkan undang-undang yang melindungi sekularisme, yang ditujukan untuk melindungi kebebasan warga untuk menjalankan agama namun juga untuk mencegah masuknya agama di institusi-institusi negara.

Undang-undang tersebut menopang undang-undang lain yang melindungi hak untuk menistakan agama, yang dikeluarkan pada 1881.

Baca Juga: Penggerebekan di Distrik Sugapa Tewaskan Anggota KKB, TNI Pastikan Sosok Tersebut Bukan Tokoh Agama

Dalam konteks ini, majalah satire Charlie Hebdo bisa menerbitkan karikatur Nabi Muhammad atau Yesus.

Karena undang-undang tersebut, majalah ini bisa menerbitkan karikatur tanpa khawatir diajukan ke pengadilan dengan sangkaan melakukan memicu kebencian.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di Perancis, boleh menista agama, namun tak boleh menghina seseorang berdasarkan agama yang ia anut.

"Tidak nyaman"

Baca Juga: Bukan Lagi Kelompok Agama, Dunia Kini Hadapi Ancaman Terorisme yang Lebih Berbahaya, Aksinya Meningkat 320% di Seluruh Dunia

Insiden pemenggalan memicu aksi-aksi solidaritas untuk Paty di seluruh penjuru Perancis.

Wartawan BBC di Paris, Lucy Williamson, mengatakan aksi yang memperlihatkan persatuan nasional ini "sejatinya menyembunyikan penentangan yang makin besar tentang bagaimana negara memandang sekularisme dan kebebasan berpendapat".

Namun, kata wartawan BBC, makin banyak orang yang tidak nyaman dengan argumen soal sekularisme dan kebebasan berpendapat, termasuk soal kebebasan untuk membuat dan menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.

Sejumlah guru mengatakan, mereka merasakan perubahan setelah 2015, ketika beberapa laki-laki bersenjata menyerang kantor majalah Charlie Hebdo, menyusul keputusan majalah ini menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.

Baca Juga: Twitter Sampai Turun Tangan Langsung, Cuitan Mahathir Mohamad Setelah Serangan di Gereja Nice Ini Bikin Gempar, 'Halalkan' Darah Orang Pranci

Guru filsafat Alexandra Girat mengatakan beberapa siswa berpandangan bahwa keputusan menerbitkan kartun ini tak bisa diterima.

Para murid mengatakan Nabi Muhammad tak bisa digambarkan melalui karikatur seperti itu.

Akar menajamnya perpecahan pandangan terkait identitas keagamaan dan kebebasan berpendapat diakui sangat kompleks.

Akar tersebut mencakup konflik di negara-negara lain dan rasialisme serta marjinalisasi sosial yang dialami oleh keluarga para imigran di dalam negeri di Perancis.

Baca Juga: Nagorno-Karabakh Bakal Jadi Pintu Neraka Bagi Eropa, Intelijen Rusia Ungkap Bahaya yang Mengintai Benua Biru Akibat Perang Armenia-Azerbaijan

"Separatisme Islam"

Sebelum insiden pemenggalan kepada Paty, pada awal Oktober, Presiden Macron dalam satu pidato menegaskan bahwa "sekularisme adalah dasar negara" dan "separatisme Islam harus ditangani".

Dalam kesempatan ini pula, Macron mengumumkan rancangan undang-undang yang lebih keras untuk menangkal "separatisme Islam" ini dan untuk mempertahankan nilai-nilai sekuler.

Macron mengatakan komunitas Muslim di Perancis, yang berjumlah enam juta orang, "mungkin akan membentuk masyarakat tandingan".

Baca Juga: Pantas Sangat Terburu-buru, Perdamaian Sudan-Israel Ternyata Bukan Diambil Pemerintah Terpilih, Semata Hanya Demi Puaskan Mata-mata Asing

Agar "bahaya ini" tidak menjadi kenyataan, Macron mengusulkan beberapa hal, yang mencakup pengawasan yang lebih terhadap sekolah dan kontrol yang lebih besar terkait pendanaan masjid dari luar negeri.

Macron mengatakan bentuk sektarianisme seperti ini sering diterjemahkan untuk tidak memasukkan anak-anak ke sekolah umum dan menggunakan kegiatan olahraga, budaya dan komunitas sebagai "alasan untuk mengajarkan ke anak-anak tentang nilai-nilai yang tak sejalan dengan hukum yang berlaku di Perancis".

Menurut Macron, Islam "mengalami krisis di banyak negara, tak cuma di Perancis".

Langkah yang disiapkan pemerintah dan dimasukkan ke parlemen pada akhir tahun mencakup:

Baca Juga: Diincar FBI Karena Jadi Salah Satu Teroris Paling Dicari di Dunia, Pasukan KhususAfghanistan Berhasil Bunuh Abu Muhsin al-Masri, Orang Terkuat Kedua diAl Qaeda

Pengawasan yang lebih ketat terhadap organisasi olahraga dan perkumpulan lain sehingga tak menjadi medium pengajaran Islam,

Imam tak boleh didatangkan dari luar Perancis,

Peningkatan pengawasan pendanaan masjid,

Pembatasan home-schooling.

Baca Juga: Layangkan Kecaman Terhadap Muslim Setelah Guru Perancis Dipenggal Oleh Teroris, Macron Secara Menohok Diolok-olok Erdogan: 'Anda Perlu Bantuan Mental'

Macron juga mengatakan Perancis harus berbuat lebih banyak menawarkan ekonomi dan mobilitas sosial ke komunitas-komunitas imigran.

Ia menambahkan kemiskinan bisa dimanfaatkan oleh kelompok atau orang-orang berpaham radikal.

Pidato Macron mengundang reaksi kurang enak dari banyak pihak.

Pegiat hak asasi manusia Yasser Louati mengatakan, proposal pemerintah "memberi angin" kepada kelompok kanan jauh dan kelompok-kelompok anti-Muslim, sementara pada saat yang sama juga "sangat merugikan murid-murid Muslim" yang harus belajar di rumah karenna pandemi virus corona.

Baca Juga: Susul UEA dan Bahrain Setelah Bayar Upeti Rp4,9 Triliun pada AS Agar Lepas dari Status Negara Teroris, Sudan Siap Normalisasi Hubungan dengan Israel

Tokoh Muslim, seperti Chems-Eddine Hafiz, melalui kolom di surat kabar menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai konsep "separatisme Islam" tidak bisa ditujukan secara keseluruhan ke setiap Muslim di Perancis.

Ia menyatakan ada perbedaan yang jelas antara Islam sebagai agama dan ideologi Islamis.

Dengan hal itu pula terjadi banyak demonstrasi, yang menggambarkan Perancis sebagai "negara yang memperlihatkan Islamofobia".

(Ardi Priyatno Utomo)

Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Perancis: Sekularisme, Kartun Nabi Muhammad, dan Sikap Presiden Macron"

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait