Advertorial
Intisari-online.com -Tumbuh dalam diam, teroris perempuan nyatanya sudah semakin besar daripada milisi pria.
Mengutip gagas pendapat yang ditulis oleh Amalina Abdul Nasir di Eurasia Review, contohnya adalah yang terjadi pada 24 Agustus 2020 lalu.
Terjadi pengeboman kembar di Jolo, Filipina yang membunuh 14 nyawa warga.
Disebut pengeboman kembar karena ada dua pelaku bom bunuh diri, dan keduanya sama-sama wanita.
Lebih mengejutkan lagi, salah satu pelaku adalah wanita Indonesia yang menjadi istri dari pelaku bom bunuh diri dari Kelompok Abu Sayyaf, Filipina.
Serangan ini menjadi bom bunuh diri wanita kedua di Filipina, dan keempat di Asia Tenggara.
Dikhawatirkan, hal ini bisa menjadi dimulainya tren baru militan wanita pelaku bom bunuh diri di Asia Tenggara.
Tentunya, tidak ada yang menginginkan 'tren' ini terjadi.
Namun untuk mencegahnya kita perlu pelajari dinamika ini dalam cakupan lebih luas.
Faktanya, hal ini tunjukkan dinamika baru dalam dunia militan, yang awalnya dianggap hanya untuk para pria semata.
Terlebih di Asia Tenggara, yang mana banyak negaranya masih menganut paham patriarki, wanita memerankan peran pendukung sebagai ibu atau istri dan 'bekerja di balik layar' saja.
Jika dalam dunia militan, wanita tidak akan maju ke dalam medan perang dan jadi sosok teroris yang terlihat.
Mereka akan menjadi bagian dari kelompok penyebar propaganda, perekrut, pemberi dana dan penyedia bahan logistik serta simpatisan.
Bisa dilakukan dengan para wanita menyelenggarakan pengajian yang awalnya netral tapi kemudian mulai mengarahkan ke garis kiri dan menyebarkan paham radikalisme.
Namun terjadi pergeseran peran beberapa tahun ini yang justru lambat disadari oleh banyak pihak.
Para wanita radikal di Asean telah mengambil peran ikut bertempur sebagai penyerang atau pelaku bom bunuh diri.
Hal ini dapat dilacak pada tahun 2016 lalu saat warga Indonesia bernama Dian Yulia Nova bersama suaminya berusaha meledakkan diri mereka menggunakan bom 'magic com' di luar Istana Negara, Jakarta.
Selanjutnya serangan bom di Surabaya Mei 2018 menjadi serangan pertama yang libatkan militan wanita di Asia Tenggara.
Mengenang kejadian tersebut, sayangnya serangan tersebut adalah bom bunuh diri yang sukses pertama kali dilaksanakan oleh pelaku radikal wanita.
Tidak tanggung-tanggung, pengeboman itu libatkan seluruh anggota keluarga, termasuk wanita dan anak-anak.
Selanjutnya serangan kedua yang libatkan satu keluarga yang meledakkan diri di kantor polisi Surabaya, hanya satu anak yang selamat.
Januari tahun lalu, sepasang warga Indonesia yang anggota Jemaah Ansharud Daulah (JAD) meledakkan diri mereka di Katedral Our Lady of Mount Carmel, Jolo, Filipina.
Sedangkan pada Mei 2019, pihak berwenang Malaysia menangkap ibu rumah tangga berumur 51 tahun yang merencanakan untuk memarkir mobil berisi bahan peledak dan minyak di stasiun pemilihan umum di Puchong, Selangor.
Saat itu memang merupakan waktu pemilu Malaysia, mengutip sumber intelijen.
Baca Juga: Covid-19 Di Korea Utara: Tetap Berjuang Produksi Vaksin Meski Ancaman Kelaparan dan Badai Mengintai
Kemudian Oktober 2019, pelaku penusukan Wiranto ditangkap.
Mereka menggunakan pisau dan gunting.
Kasus-kasus itu tunjukkan peningkatan penyerang wanita di Asia Tenggara, yang mulai perlebar kemampuan mereka mengambil peran 'maskulin'.
Panggilan Jihad
Dorongan bagi wanita untuk mulai jadi penyerang muncul di media sosial dan media propaganda ISIS seperti di Facebook.
Contohnya adalah laman pro-ISIS Indonesia di Facebook bernama Mujahidah (sebutan feminin untuk mujahid, pejuang Jihad) telah berubah dari wanita radikal melahirkan para pelaku teroris menjadi wanita pelaku teroris itu sendiri.
Sinyal ini meningkatkan penerimaan dan keberanian wanita mengambil peran sebagai militan garis depan.
Propaganda itu mempromosikan pesan kepada wanita radikal jika mereka adalah kunci sukses untuk suami dan umat Muslim karena mereka adalah agen masa depan dan kekuatan yang mengubah peran operasionalnya.
Hal ini juga dipaparkan dalam platform online di mana beberapa wanita radikal menyuarakan frustrasi karena hanya melakukan pekerjaan sampingan dan keinginan kuat untuk menanggung peran lebih penting di jaringan ISIS.
Hasrat ini tunjukkan jika wanita seharusnya "diperbolehkan untuk menumpahkan darah" sebagai peran penting mereka di ISIS.
Indonesia di bawah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sendiri sudah memperkuat peran wanita, yang selama ini bekerja hanya menjadi petugas administratif dan tidak terlibat dalam pemangku kebijakan.
Sedangkan di Malaysia, mereka sudah menunjuk kepala penanggulangan teroris dari golongan perempuan.
Intinya adalah jika wanita merasa peran mereka 'kurang' dan beralih menjadi radikal seperti ISIS yang menyediakan kekurangan yang diinginkan wanita, maka kita semua juga bahu-membahu untuk mulai memberi peran kepada wanita sebagai sosok yang penting dalam membangun negara kita, bukan justru merusaknya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini