Find Us On Social Media :

Pecahnya Kerajaan Mataram Setelah Perang Jawa, Pemberontakan dari Keluarga Sendiri Akibat Pakubuwana Ingkar Berikan Hadiah Bagi yang Sanggup Tumpas Pemberontakan Itu?

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 18 Februari 2022 | 17:50 WIB

ilustrasi Perjanjian Giyanti yang memecah Mataram.

Intisari-Online.com – Jatuhnya Kartasura membuat Keraton Mataram tidak menguntungkan bagi raja, kemudian Pakubuwana II membangun keraton baru di Surakarta, atau Solo, dan pindah pada tahun 1746.

Tetapi, Pakubuwana II tidak aman di atas singgasananya.

Raden Mas Said, atau Pangeran Sambernyawa, putra Arya Mangkunegara yang dibuang, kemudian mendirikan rumah Pangeran Mangkunegara di Solo, dan beberapa pangeran lain dari darah kerajaan masih melakukan pemberontakan.

Pakubuwana II menyatakan bahwa siapa pun yang dapat menumpas pemberontakan di Sukawati, wilayah sekitar Sragen sekarang, akan diberi hadiah 3.000 kepala keluarga.

Pangeran Mangkubumi, saudara Pakuwana II, yang kemudian mendirikan istana Yogyakarta menerima tantangan itu dan mengalahkan Mas Said pada tahun 1746.

Namun, ketika dia mengklaim hadiahnya, musuh lamanya, patih Pringgalaya, menasihati raja untuk tidak memberikannya.

Di tengah persoalan itu, Gubernur Jenderal VOC, van Imhoff, berkunjung ke kraton, (ialah Gubernur Jenderal pertama yang melakukannya sepanjang sejarah hubungan Mataram dan VOC), guna menegaskan secara de facto Belanda menguasai wilayah pesisir dan beberapa wilayah pedalaman.

Pakubuwana II dengan ragu menerima penyerahan sebagai ganti pembayaran 20.000 real per tahun.

Baca Juga: VOC Sampai Geleng-geleng Tak Percaya Melihatnya, Inilah Kondisi Mengerikan Ratusan Prajurit Mataram yang Dihukum Sultan Agung Gara-gara Kalah Berperang

 Baca Juga: Inilah Berbagai Prasasti Peninggalan Mataram Kuno, Salah Satunya Kisahkan Perang Perebutan Takhta

Mangkubumi tidak puas dengan penyerahan saudaranya kepada van Imhoff, yang dilakukan tanpa berkonsultasi dengan anggota keluarga kerajaan dan bangsawan lainnya.

Van Imhoff tidak memiliki pengalaman atau kebijaksanaan untuk memahami situasi rumit di Mataram dan secara terbuka menegur Mangkubumi sebagai "terlalu ambisius" di depan seluruh istana ketika Mangkubumi mengklaim hadiahnya berupa 3000 rumah tangga.

Perlakuan memalukan dari orang asing, yang telah merebut tanah Mataram yang paling makmur dari saudaranya yang lemah, memicu dia untuk menghasut pengikutnya untuk memberontak pada Mei 1746, kali ini dengan bantuan Mas Said.

Di tengah pemberontakan Mangkubumi pada tahun 1749, Pakubuwana II jatuh sakit dan memanggil van Hohendorff, teman kepercayaannya yang telah menyelamatkan hidupnya selama jatuhnya Kartasura pada tahun 1742.

Dia meminta Hohendorff untuk mengambil alih kerajaan.

Hohendorff tentu saja terkejut dan menolak, berpikir bahwa dia akan diangkat menjadi raja Mataram, tetapi ketika raja bersikeras, dia meminta temannya yang sakit untuk mengkonfirmasikannya secara tertulis.

Pada tanggal 11 Desember 1749, Pakubuwana II menandatangani perjanjian dimana “kedaulatan” Mataram diberikan kepada VOC.

Pada tanggal 15 Desember 1749, Hohendorff mengumumkan pengangkatan putra Pakubuwana II sebagai raja Mataram yang baru, dengan gelar Pakubuwana III.

Baca Juga: 'Ditenggelamkan ke Lautan Luas hingga Dicaplok Buaya,' Isi Kutukan Prasasti Mpu Sindok yang Baru Saja Ditemukan di Situs Gemekan Jawa Timur Punya Tujuan Tidak Sembarangan

 Baca Juga: Kisah Hidup Mpu Sindok: 'Kehancuran Dunia' Jadi Alasan Raja Pertama Mataram Kuno Periode Jawa Timur yang Pindahkan Kerajaan dari Jawa Tengah

Namun, tiga hari sebelumnya, Mangkubumi di kubunya di Yogyakarta juga telah mengumumkan kenaikan pangkatnya dengan gelar Mangkubumi, dengan Mas Said sebagai patihnya.

Pemberontakan ini semakin hari semakin menguat, dan pada tahun 1753, Putra Mahkota Surakarta bergabung dengan para pemberontak.

VOC memutuskan bahwa mereka tidak memiliki kemampuan militer untuk menekan pemberontakan ini, meskipun pada tahun 1752, Mas Said telah memisahkan diri dari Hamengkubuwana.

Pada 1754, semua pihak lelah perang dan siap untuk bernegosiasi.

Kerajaan Mataram terpecah pada tahun 1755, berdasarkan perjanjian yang ditandatangani di Giyanti antara Belanda di bawah Gubernur Jenderal Nicolaas Hartingh, dan pangeran pemberontak Mangkubumi.

Perjanjian itu membagi kontrol nominal atas Jawa Tengah antara Kesultanan Yogyakarta, di bawah Mangkubumi, dan Surakarta, di bawah Pakubuwana.

Namun, Mas Said ternyata lebih kuat dari kekuatan gabungan Solo, Yogya, dan VOC.

Pada tahun 1756, dia hampir merebut Yogyakarta, tetapi menyadari bahwa ia tidak dapat mengalahkan ketiga kekuatan itu sendirian.

Baca Juga: Kekejaman Sultan Agung, Penguasa Mataram yang Tangkas dan Cerdas hingga Mengutus Algojo untuk Memenggal Kepala Panglimanya Lantaran Kalah Lawan VOC

 Baca Juga: Inilah Anggota Wangsa Syailendra Dari Kerajaan Mataram Kuno yang Membangun Kerajaan Sriwijaya, Bagaimana Kisahnya?

Kemudian pada bulan Februari 1757, ia menyerah kepada Pakubuwana III dan diberi 4000 kepala keluarga, semuanya diambil dari lungguh Pakubuwana III sendiri, sebidang tanah di dekat Solo, yang sekarang Kraton Mangkunegaran, dan gelar "Pangeran Arya Adipati Mangkunegara".

Perjuangan politik kembali terbatas pada intrik keraton atau antar keraton dan perdamaian tetap terjaga hingga tahun 1812.

Setelah tahun 1755, kerajaan tersebut tidak lagi disebut sebagai “Mataram”, tetapi biasanya disebut “Tanah Kerajaan” (Vorstenlanden, Praja Kejawen) untuk membedakannya dengan wilayah yang langsung diperintah oleh Belanda.

Baca Juga: Taktik Jitu Pangeran Mataram saat Membangun Pemukiman di Hutan Angker, Inilah Kisah di Balik Nama Kota Magelang

 Baca Juga: Konon Pulau Jawa Pernah Menjelma Lautan Darah saat Terjadi Pralaya Medang, Serangan Mematikan yang Meruntuhkan Keraaan Mataran Kuno

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari