Find Us On Social Media :

Hampir Damai dengan Taliban, Ahli Justru Sebutkan 'Negosiasi' Bukan Langkah Terbaik Mencegah Perang di Masa Depan Antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan, Ini Sebabnya

By May N, Minggu, 16 Agustus 2020 | 14:10 WIB

 

Intisari-online.com - Realisme menghantam warga Afghanistan dan komunitas internasional yang terlihat lelah dengan konflik Afghanistan bertahun-tahun tanpa kesepakatan politik yang tercapai kedua belah pihak.

Usaha untuk mencapai kesepakatan damai dengan Taliban sudah terlalu lama hanya ada di angan-angan saja.

Sampai-sampai, skeptisisme muncul dengan komentar seperti "apa ruginya jika alternatif yang ada hanyalah perang tanpa akhir?"

Permintaan dan impian Taliban dihapuskan begitu saja dan semata-mata hanya digunakan untuk pembuka posisi negosiasi.

Baca Juga: Bersekutu dengan Israel dan AS, Pemimpin Iran Kecam Keras Uni Emirat Arab, 'Kalian Telah Buat Kesalahan Besar'

Sementara pernyataan mereka dimaafkan sebagai tindakan pemberani saja.

Serta, untuk menjaga proses perdamaian tetap berjalan, hukuman atas kekerasan Taliban sengaja tidak disebutkan dalam kesepakatan ini.

Bukankah itu aneh?

Saat para delegasi bersiap untuk pendekatan intra-Afghanistan di Doha, optimisme kian hancur.

Baca Juga: Gegara Pandemi Covid-19, Kelompok Sirkus Ini Jual Feses Singa Seharga Rp 88.000, Jualnya Pakai Toples!

Pembicaraan dan dialog hanyalah langkah pertama sebuah proses yang panjang dan menyiksa.

Sudah ada keinginan untuk melihat signifikansi lainnya, sebagian besar konsesi tanpa timbal balik yang telah dilakukan untuk membawa Taliban mau bernegosiasi.

Namun Taliban tetap tidak mau mengakui pemerintahan Afghanistan sebagai pimpinan mereka.

Penolakan tersebut juga tidak cocok dengan delegasi Afghanistan yang siap menghadapi tim negosiator Taliban yang fokus dan bersatu.

Baca Juga: Buruan Serbu, Ada Promo HUT RI dari McD, KFC, Pizza Hut, Jco, Breadtalk dan Burger King!

Meski begitu, negosiasi di Doha tidak seharusnya diharapkan sebagai sesuatu yang transaksional.

Untuk dihitung, sudah sering kali Taliban dan Afghanistan lakukan diskusi dalam berbagai acara, dan Taliban tidak menyerah untuk fleksibel menerima tawaran yang ada.

Selama negosiasi dengan AS yang menghasilkan kesepakatan 29 Februari, delegasi Taliban ketahui jika mereka teguh mereka dapat mendorong pasukan AS untuk setuju poin-poin penting mereka.

Sehingga dalam kesepakatan baru-baru ini dengan pemerintahan Ghani, dalam mencari upaya gencatan senjata dan setuju urusan pertukaran tahanan adalah kompromi yang ditawarkan Ghani.

Baca Juga: Bak Film Fiksi Ilmiah, Viral Raja Bahrain Dikawal Robot Raksasa, Bikin Semua Orang Terkejut Melihatnya, Ternyata Ini Fakta Sebenarnya

Sudah sering pemimpin Taliban yang terlihat cukup pragmatis rupanya juga tidak bergerak sesuai kesepakatan pada akhirnya.

Lalu apa penyebab ini semua? Mengapa Taliban sangat tidak ingin menyerah?

Jawabannya ada dalam penyebab Taliban muncul dan selalu ciptakan ricuh di Afghanistan.

Baca Juga: Survei Pemilu AS Buat Warga AS Pusing: Jika Joe Biden Menang Justru Warga Harus Hadapi Keruntuhan Demokrasi AS Sendiri, Angka Perhitungan Ini Sebabnya

Bukan karena tidak saling percaya atau ada gangguan serupa, keadaan ini muncul karena Afghanistan dan Taliban memiliki visi yang berbeda untuk negara Afghanistan.

Konflik Taliban adalah karena perbedaan nilai untuk Afghanistan di masa mendatang, artinya ini semata-mata perang ideologi.

Sejarah buktikan jenis konflik ini bisa berakhir bukan dengan kompromi, tapi dengan satu pihak akhirnya mengalahkan pihak lain.

Meski begitu, meski perdamaian akhirnya akan datang di Afghanistan, penawaran yang setara dengan yang diinginkan Taliban sangat diragukan akan diberikan Afghanistan.

Baca Juga: Sadar Bahwa Tanpa Koneksi Kim Jong-un Hanya Anak Imigran Biasa Gemuk yang Harus Mengerjakan PR Seperti Anak Lainnya, Begini Masa Kecil Kim Setengah Dewa yang 'Manja'

Inti konflik ini adalah perjuangan antara pemerintah turunkan dari warisan bertahun-tahun dari keinginan banyak warga, dan mereka yang percaya isu adalah mandat untuk memecah belah warga Afghanistan.

Visi yang pertama adalah sistem demokrasi liberal dengan pemimpin yang dipilih dengan cara demokrasi, dilindungi oleh hak konstitusional, dan pelestarian hasil ekonomi dan sosial sejak 2001 lalu.

Hal ini tidak sejalan dengan visi Taliban yang ingin ada perubahan konstitusi, tingkatkan karakter Islam dalam pemerintahan.

Taliban ingin membagi kekuatan politik dengan cara mengamankan diri mereka menjadi partai politik yang diakui di Afghanistan dan nantinya ikut dalam pemilu untuk jabatan legislatif dan eksekutif.

Baca Juga: Balas Serangan Roket Hamas, Israel Gempur Jalur Gaza dengan Jet Tempur

Visi Taliban juga menolak nilai-nilai Barat dan yakin jika rezim yang berhaklah yang mampu berikan kepentingan rakyat.

Memang pemimpin Taliban tidak pernah mengatakan dengan jelas bahwa tujuan restorasi mereka adalah nilai emirat Islam mereka yang telah hilang, tapi mereka tidak pernah menolak bahwa itu adalah tujuan utama mereka.

Ide Taliban dalam pemerintahan mungkin belum sepenuhnya terbentuk, tapi gambaran kasar saja, akan ada Syekh yang lakukan konsultasi dengan dewan Islam yang terpilih.

Asuransi terhadap kebijakan yang lebih inklusif dan toleran daripada masa lalu hanya akan berpengaruh terhadap warga Afghanistan yang siap menerima nilai yang dijunjung Taliban.

Baca Juga: Misteri 'Putri duyung' Antartika yang Ditemukan oleh Pengguna Google Earth Setelah Melihat 'Sirip' di Es: Manusia Bagian dari Laut

Tujuan Taliban adalah untuk mendominasi politik Afghanistan entah dari negosiasi kesepakatan bersama ataupun menunggu pasukan militer dan politik untuk meruntuhkan pemerintahan Afghanistan.

Namun kemungkinan besar Taliban akan kesulitan melakukannya, Afghanistan tidak akan mengulangi yang terjadi di tahun 1990-an saat peran mujahidin menjadi pijakan utama munculnya Taliban.

Negara itu sekarang jauh lebih terkotak-kotak sekaligus lebih beragam, banyak penguasa muncul dengan pasukan mereka berkompetisi, sampai-sampai dikhawatirkan bakal ciptakan perang saudara di negara itu.

Padahal, mengejar perdamaian dengan Afghanistan tidaklah gratis.

Baca Juga: Analis: Jika Joe Biden Jadi Presiden AS Selanjutnya, Kim Jong-Un Malah Bisa Riang Gembira dan Akan Keluarkan 'Senjata Rahasia' untuk Tes Awal Presiden Baru, Seperti Apa?

Selama ini perhatian Afghanistan dan pendukung internasionalnya dari menginvestasi pendekatan politik itu bisa berikan kesempatan hebat untuk selamatkan Afghanistan sebagai republik Islam modern.

Alih-alih rekonsiliasi, pendekatan ini libatkan proses reintegrasi berdasar mencipakan insentif bagi mereka yang berhasil memenangkan pihak komando Taliban dan tentara mereka untuk tunduk ke negara Afghanistan di pemerintahan lokal manapun.

Hal ini tidak mudah, diperlukan dedikasi ulang terhadap reformasi demokratis dan temukan kebutuhan dasar warga.

Meski begitu, ini juga tidak akan berhasil tanpa kontribusi bentuk baru dari komunitas internasional, dan dengan menggambarkan investasi masa depan negara pada para pemimpin negara selanjutnya.

Baca Juga: Ditemukan di Bekas Kandang Ayam, Warga yang Bersihkan Situs Kuno itu Mengaku Alami Peristiwa Mistis, 'Saya Pernah Ditemui Wanita Muda Pakai Baju Kebaya'

Untuk saat ini, reintegrasi mungkin terlihat tidak realistis daripada negosiasi dengan Taliban.

Namun saat negosiasi dengan Taliban kembali tidak tercapai, dedikasi ulang untuk mencapai Afghanistan yang progresif mungkin satu-satunya pencegah perang di masa depan.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini