Baca Juga : Bom Jatuh di Rumah Sakit di Suriah, Wanita dan Anak-anak Tak Berdosa Jadi Korban
Proses evakuasi yang melelahkan jiwa-raga ini kurang lebih memakan waktu 45 menit.
Bersyukur diberi umur
"Rasanya seperti tidak percaya. Tidak mengira semua ini terjadi pada kami. Waktu kira-kira menunjukkan pukul 20.15, ketika Surya, Atan, Wiyono, dan aku masih berada di pelataran parkir. Tak tahan juga, akhirnya kami pun menangis. Hanya kami berempat yang tidak mengalami luka serius," terang Febri seraya tak henti-hentinya mengucap syukur.
Saat itu mereka sendiri bingung harus ke mana untuk mencari tahu nasib rekan-rekan mereka yang lain, karena mereka diangkut dengan kendaraan yang berlainan.
Baca Juga : 5 Fakta Dibalik Reruntuhan Hotel Roa Roa, Salah Satunya Terkait Nasib Atlet Paralayang Asian Games
Sekitar pukul 20.30, ada seorang petugas polisi yang bersedia mengantarkan mereka pergi. Namun, Febri dan kawan-kawan sempat bingung hendak menuju ke mana. Atan lalu mencoba menelepon Rita untuk mencari informasi.
Rita memberi tahu kalau teman-teman mereka banyak yang dilarikan ke RS Sanglah. "Kami lalu memutuskan minta diantar ke RS Sanglah oleh polisi itu. Perjalanan dari Jimbaran ke RS Sanglah membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Kira-kira pukul 21.15, kami tiba di rumah sakit itu.
Kami berempat langsung menuju ruang ICU dan melihat banyak rekan kami sudah berada di atas tempat tidur dengan kondisi luka yang parah. Aku dan Atan menghitung rekan-rekan yang sudah berada di RS Sanglah."
Kemudian mereka sibuk menghubungi pihak keluarga dari rekan-rekan yang menjadi korban. "Namun, baterai handphone sudah melemah, ditambah lagi sinyal sedang tidak bagus. Entah kebetulan atau tidak, semua jaringan juga error, sehingga sangat susah untuk melakukan hubungan telepon," ucap Febri.
Baca Juga : Inilah Kengerian Bom Fosfor yang Diduga Digunakan Amerika Menyerang Suriah dan Dilarang Konvensi Jenewa
Sekitar pukul 22.20. mereka berempat masih mendampingi rekan-rekan lain untuk di-scan dan dirontgen serta menjalani pemeriksaan intensif.
Beberapa teman ada yang divonis pecah gendang telinga, patah tulang rusuk, dan Iain-lain. Saat itu semua terpencar di kamar yang berbeda.
"Aku berinisiatif meminta kepada suster jaga, agar semua rekan kami dikumpulkan pada ruang yang sama untuk mempermudah penanganan dan pengawasannya."
Waktu terus berjalan. Kira-kira pukul 02.00 dini hari, Febri diberi tahu oleh Stefan bahwa lima orang rekan mereka, yaitu Mega, Elly, Wati, Enny, dan Fenny, menghembuskan napas terakhir. Stefan melihat dan mengidentifikasi dengan mata kepalanya sendiri.
Baca Juga : Joe-4, Bom Hidrogen Soviet yang Ternyata Dikembangkan oleh Pria Kontra-Revolusioner
"Aku bersama Surya, Atan, dan Wiyono segera pulang pada hari Minggu. Sedangkan sisanya masih menjalani perawatan. Total dari 26 rombongan kami, lima orang meninggal, lima orang luka ringan, dan 16 luka parah," kata Febri.
Di hari pertama masuk kantor, suasana berduka kental sekali terasa. Kesibukan beberapa hari sejak mereka masuk kantor hanya berkisar menerima ungkapan belasungkawa dari relasi dan kerabat dekat, juga mengurus teman-teman yang masih dalam perawatan di rumah sakit di Bali.
"Dalam suasana begini, kadang kesedihan tiba-tiba muncul, terutama saat membaca dan menonton berita ledakan bom yang begitu gencar diliput media massa," ungkap Febri.
Kini suasana kantornya sudah berangsur pulih. "Aku sungguh bersyukur masih diberi umur panjang. Mungkin Tuhan masih memberiku kesempatan untuk memperbaiki hidupku," bilang Febri bijak.
"Saya akan mengisi sisa hidup ini dengan hal-hal positif dan kalau bisa menolong orang yang membutuhkan, sebanyak-banyaknya," begitu janji Febri.
Kisah yang ternyata tak hanya menyimpan trauma, tapi juga hikmah. Setidaknya, buat Febrian Indri Wahyuningrat.
Baca Juga : Indonesia Sempat Getarkan Dunia Karena Hampir Ciptakan Bom Nuklir Sendiri, Amerika Sampai Ketar-ketir
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR