Kemudian calon penari seblang dipersiapkan. Ketika saatnya tiba, ia didandani dengan kain dan kemben, kepalanya dipasangi omprok, dan mukanya dirias.
Ia diarak keliling desa, dan dibawa ke sebidang lahan yang sudah disiapkan dengan gubuk-gubuk berkeliling.
Seorang dukun yang berfungsi sebagai perantara akan merapal doa, dibantu dengan sesepuh sesaji makanan seperti nasi tumpeng dan daging ayam, serta bakaran kemenyan.
Mata si penari akan terpejam, diam, kemudian bergerak lagi setelah dukun menyemprotkan air kembang ke mukanya. Kali ini, pelaku bergerak di luar kesadarannya.
Arwah leluhur yang sering datang antara lain Mbah Ketut, Sayu Sarinah, Ki Jalil, Mas Broto, kadang juga orang tak dikenal yang berbicara bahasa asing.
Ia akan menari mengikuti tembang dan gending yang dibawakan bertalu-talu. Naik ke atas "panggung" yang terbuat dari meja, sesekali melemparkan selendang kepada salah seorang penonton. Penonton pun naik dan ikut menari.
Di Olehsari, peristiwa yang biasa dimulai pukul 14.00 WB ini akan berlangsung hingga menjelang senja. Itulah akhir perhelatan hari itu.
Dukun akan mengawal lagi si penari sampai setengah sadar, lantas kembali dalam arakan menuju rumahnya, dan dijaga oleh keluarganya.
Esok hari hal yang sama terjadi lagi, hingga hari ke-7. Kemudian hajat desa pun usai. Sawah dan kebun siap ditanami, dan kehidupan normal kembali.
"Kami tak pernah mengalami kesulitan dalam pelaksanaan, karena sudah rutin. Kalaupun calon belum ditunjuk sampai menjelang saatnya tiba, ya kami sabar saja. Semepet apa waktunya, calonnya pasti ada," tambah D.Boenoto.
Berbeda dari si tua yang kejiman, si dukun tahu persis kapan harus memulai tugasnya. Asenan (59), pemanggil arwah agar menyusup ke dalam raga pelaku seblang di Olehsari, menyatakan, "Saya baru datang setelah segala sesuatunya siap, walaupun sebenarnya saya sudah tahu siapa yang akan jadi seblang dan kapan akan dimulai. Buktinya, 3 hari sebelum pelaksanaan selalu ada roh halus yang berbisik, menyuruh saya puasa."
Menurutnya, dan juga dibenarkan warga Olehsari, fungsi perantara tak bisa dikenakan kepada sembarang orang.
la harus punya kemampuan untuk memanggil dan menyuruh pergi arwah, memimpin upacara, dan bertanggung jawab atas keselamatan pelaku seblang.
Konon, calon dukun pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Asenan menjelaskan, "Saya dipilih tanpa sengaja. Barangkali karena hidup saya bersih, tiba-tiba saja diserahi ilmu oleh Buyut Saridin, leluhur kami. Katanya, saya sudah diincar sejak tahun 1964, untuk suatu saat mengamalkan kemampuan buat desa ini."
Asenan memang menjalankan amanat itu sepenuhnya. Seperti para pendahulu yang entah sudah berapa jumlahnya, ia akan terus mengemban tugas tahunan itu sampai kesanggupannya berakhir.
Jika saat itu tiba, warga tak akan risau karena pasti akan ada penggantinya. Hal yang sama juga terjadi pada penentuan calon penari seblang, yang akan berakhir jika yang bersangkutan telah mengabdi sepanjang 3 tahun.
Sampai apan ini akan berlangsung, tak seorang pun bisa meramalkan. Selama seluruh warga masih mendukung, tak terlalu soal.
Lain halnya kalau orang sudah mengabaikan, karena melihatnya lewat sisi pandang berbeda.
Maka, menarik menimbang pesan sesepuh seperti D. Boenoto, "Jangan lihat ini dengan kacamata agama atau keyakinan. Tempatkan dalam konteks kebudayaan. Bukankah ini semua demi ketahanan budaya kita?"
Sedangkan tokoh masyarakat dan budayawan Banyuwangi seperti Sudibyo Aris, Hasnan Singodimaygn, dan Hasan Ali berpesan, "Lihatlah seblang dalam kerangka tradisi, bukan kepercayaan.”
Namun, tidakkah disadari, di balik pesan dan argumentasi itu tersirat kekhawatiran akan punahnya tradisi lama mereka?
Sebab, kita tahu, terlalu banyak peninggalan tradisi yang lama-kelamaan tertinggalkan karena tak sesuai dengan zaman.
Berarti, seblang akan sama saja, menunggu waktu untuk hilang dari masyarakat Osing. Apakah ini yang kita kehendaki? (Mayong S. Laksono/B. Soelist.)
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1994)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR