Advertorial
Intisari-Online.com -Jika sebagian orang jijik dengan daging tikus, maka tidak dengan penduduk di Arunachal Pradesh, India.
Di sana ada tradisi kuliner ekstem, yaitu tradisi makan tikus, yang biasa dilakukan oleh suku Adi dan Apatani.
Fenomena makan tikus ini berhasil dikemas dengan rapih dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Victor Benno Meyer-Rochow.
Tak jelas kapan tradisi ini pertama kali dilakukan. Peneliti meyakini tradisi panjang ini dilakukan bukan karena masyarakat di sana kekurangan bahan pangan.
Sebab, di wilayah itu juga, masih terdapat berbagai jenis hewan buruan lainnya, seperti kijang dan kambing.
Meski demikian, tikus sangat diburu karena masyarakat beranggapan dagingnya lezat. Ada berbagai strategi dalam menangkap tikus.
Salah satunya ialah dengan menggunakan bambu dengan seutas tali dari kulit pohon yang berfungsi untuk menjerat mangsa yang terpancing umpan.
Cara lainnya adalah dengan pembakaran arang sekam yang diletakkan di dalam bumbung bambu untuk menghasilkan asap.
Asap kemudian ditiupkan ke dalam liang tikus yang memaksa tikus keluar dari sarang dan mati lemas.
Tentu saja orang suku Adi menyadari tikus bisa masuk ke rumah dan merusak produk makanan yang mereka simpan.
Maka dari itu, orang-orang suku Adi membangun rumah sedemikian rupa agar tikus sulit masuk ke rumah mereka.
Meskipun tersedia dan dikonsumsi sepanjang tahun, tikus yang terbaik disajikan pada masa perayaan tradisional, terutama perayaan Unying-Aran.
Unying-Aran adalah sebuah festival berburu yang jatuh pada tanggal 7 Maret. Pagi hari di hari raya ini, pemburu memberikan tangkapan mereka kepada keluarganya yang disebut "Aman ro".
Bukan hanya orang dewasa, anak-anak kecil pun sudah terbiasa dengan tikus. Dari usia belia, mereka sudah biasa menangkap tikus atau menerima tikus sebagai hadiah.
Dalam konteks budaya, penggunaan tikus sebagai hadiah memperkuat hubungan kemasyarakatan suku Adi.
Jika tamu datang, tikus juga dihidangkan sebagai menu spesial untuk menghormati tamu. Yang paling umum, nama masakannya adalah bule-bulak oying, jeroan tikus, sampai kaki dan ekornya juga ikut dimasak dalam sajian ini.
Tentu saja sajiannya ditambah dengan berbagai bumbu pada umumnya. Bagian dari tikus yang tidak digunakan adalah gigi dan tulang.
Meluasnya penggunaan tikus sebagai makanan didorong pemikiran bahwa tikus belum termasuk spesies terancam punah.
Selain itu, tikus merupakan hama bagi produk makanan yang disimpan, seperti biji-bijian, umbi-umbian, dan lainnya.
Makan tikus dianggap lebih masuk akal daripada hanya membunuh dan tidak digunakan atau meracuninya dan meninggalkan bangkainya dimakan oleh organisme lain.