Hasan Ali menyebutkan contoh lirik tembang pada gending Padha Nonton: "Ring paseban dhung Ki Demang mangan nginum/Seleregan wong ngunus keris gendam gendhis kurang abyur"-, artinya: "Di beranda ketika Ki Demang berpesta pora/Orang ramai-ramai mencabut keris (senjata), lebih merah daripada merahnya gula".
Juga gending Seblang Lukinta, yang sepenuhnya menyiratkan gugahan semangat: "Ketika matahari terbit dari ufuk, hai, bangunlah kakak-kakak".
Hasan Ali menyimpulkan, "Lirik tembang alam seblang tak sedikit pun menyinggung hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Ini mengherankan, kalau dilihat tujuannya untuk minta berkat keselamatan dari Yang Mahakuasa."
Kalau muatan syair itu terbawa sampai seblang zaman sekarang, agaknya tak seorang pun tahu sebabnya.
Yang pasti, semua budayawan Banyuwangi membenarkan, seblang pada dasarnya adalah bagian dari upacara bersih desa.
Semacam syarat hidup yang disepakati masygrakatnya, agar terhindar dari segala petaka dan bahaya – yang dalam bahasa setempat disebut pageblug.
Bahwa syair dalam tembang yang mengiringinya adalah seruan perjuangan, tak lagi soal.
Hasan Ali percaya, itu karena kemelesetan pengucapan dari penangkapan makna dari waktu ke waktu, lantaran segala hal melulu dituturkan.
Dilihat dari bentuknya, kata Hasnan Singodimayan, budayawan yang menjabat project officer bidang sastra dan budaya pada Dewan Kesenian Banyuwangi, seblang mirip dengan sanghyang di Ubud, Bali, yang dikenal sebagai akar tari kecak.
Hal ini dibenarkan budayawan lain, Sudibyo Aris, “Pada seblang terdapat unsur agama Syiwa.”
Bahkan Drs. Hadisumarto, kepala Seksi Kebudayaan pada Kandep P & KBanyuwangi, menyoroti lebih tajam. “Unsur Hindu terdapat pada sesaji, unsur Jawa pada bunga rampai dan gamelan, unsur Islam ada pada doa-doa keselamatannya.”
Namun sejak kapan seblang ada, dan kenapa hanya terdapat di Bakungan dan Olehsari, tak seorang pun tahu.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR