Kadang-kadang, secara sembunyi-sembunyi, mereka mencari akal melepaskan Titi dari belitan utang, karena kalau ketahuan, pasti Titi menolak mentah-mentah.
Untung ia masih mau dihubungi lewat telepon atau sms.
Tapi kalau ditanya, Titi selalu bilang, "Aku hepi kok. Jangan kuatir Pa, Ma. Kalau sudah tak sanggup lagi, pasti aku pulang."
Sekarang usia Titi menginjak 22 tahun. Kedua kakaknya sudah "jadi orang", bahkan satu sudah menikah.
Sedangkan Titi masih saja jadi tenaga administrasi di sebuah perusahaan kecil.
Baru-baru ini ia bilang, "Pa, Ma, aku mau merantau ke Singapura. Coba-coba jadi PRT. Gajinya lumayan."
Wulan dan Hari shock berat. Sepasang manusia sukses itu menangis sambil berpelukan. Frustrasi.
"Titi sepertinya sama sekali tidak peduli lagi pada perasaan kami," keluh mereka kepada psikolog.
Tapi si ahli jiwa cuma mengatakan, Titi sedang mencari jati diri.
Cinta mestinya tidak luntur oleh apa pun, termasuk oleh ketidakmasukakalan.
Wulan dan Hari makin mengerti, jadi orangtua itu lebih-lebih adalah soal hati.
[LW – Intisari Juli 2009]
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR