Kedekatann dengan Sjahrir membawa Chairil kepada hal-hal yang tidak dia bayangkan sebelumnya. Chairil pernah menjadi “kurir” informasi bagi pamannya. Pada masa pendudukan Jepang, informasi tentang kecamuk Perang Dunia II yang terjadi di Benua Biru amat minim.
Pemerintah Jepang melakukan pembatasan informasi bagi negeri jajahannya. Siapa yang melanggar, hukuman berat menanti. Mereka yang kedapatan mendengarkan dan menyebarkan siaran radio akan langsung ditangkap tentara. Semua radio disita, disegel, dan didata kepemilikannya.
Kala itu, hampir tidak ada informasi dari luar yang dapat masuk ke Indonesia.
Awal Agustus 1945, informasi tentang situasi perang akhirnya bergaung di dalam negeri. Salah satunya berkat kegigihan Sjahrir memantau perkembangan situasi dunia lewat siaran radio, meski berada di bawah tekanan peraturan Jepang.
Oleh Sjahrir, radio tersebut diubah sedemikian rupa. Pengeras suaranya dilepas, membuat jalan satu-satunya jika ingin mendegarkan siaran radio adalah dengan menggunakan sebuah headphone. Menurut Hasan, Sjahrir mengutak-atik radio tersebut agar bisa menangkap gelombang pendek tanpa merusak segel Jepang dengan menekan kenop frekuensinya pelan-pelan.
Siaran radio yang diterima Sjahrir pada awal Agustus 1945 itu berisi informasi kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Sjahrir lalu meminta Chairil bergegas menyampaikannya kepada para pemuda dan tokoh pergerakan, terutama mereka yang menolak tunduk kepada Jepang.
“Bersama-sama Oomnya ini Chairil Anwar selalu rajin mendengarkan radio gelap, dan dari Chairil Anwar inilah kita banyak tahu kekalahan-kekalahan Jepang di tahun-tahun terakhir Perang Dunia II dan berita-berita dunia lainnya,” ujar A.H. Chandra.
Subadio Sastrasatomo menyaksikan penyampaian informasi dari Chairil tersebut. Dalam buku Rosihan Anwar, Seobadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik, Soebadio mengatakan, pada 10 Agustus 1945, Chairil menemuinya di kantor Komisi Bahasa Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 23.
Berita yang dibawa Chairil berbunyi: “Amerika Serikat telah menjatuhkan bom atom kedua di Nagasaki dan pemerintah Jepang mendapat ultimatum dari Sekutu agar menyerah saja, sebab kalau tidak akan di bom lagi.”
Informasi itulah yang menjadi latar kasus penculikan Soekarno dan Mohammad Hatta oleh tokoh-tokoh dari Golongan Muda agar keduanya dapat sesegera mungkin mengikrarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Menjadi “kurir” informasi bukanlah perkara mudah di era pendudukan Jepang. Lebih-lebih Chairil yang tidak memiliki pengalaman perjuangan fisik. Ganjaran besar menantinya jika tertangkap. Dia bisa saja dihabisi. Dipancung. Mati.
Risiko itu pula yang akhirnya diterima Chairil. Menurut kesaksian salah seorang kawan Chairil, Aboe Bakar Loebis, mahasiswa kedokteran asal Aceh, dalam Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi, Chairil sempat menjalani masa penahanan oleh polisi Jepang.
Chairil dihujani banyak pertanyaan terkait orang-orang di sekitarnya. Dia dipukuli. Menurut Hasan, Chairil sudah biasa ditangkap. Polisi Jepang sudah memiliki catatan tentang gerak-gerik Chairil.
Pernah satu waktu, imbuh Soebadio, Saleha datang menemuinya. Dia tahu anaknya sering berkunjung ke kantor Soebadio. Dia meminta bantuan untuk membebaskan Chairil dari tahanan.
Tidak hanya mencakup wilayah Jakarta, karier Chairil sebagai “kurir” informasi juga melanglangbuana sampai ke Jawa Tengah. A.H. Chandra, saksi sejarah, dalam tulisannya, “Tjukilan Sejarah Kemerdekaan: Chairil Anwar dan Perjuangannya”, dimuat Sinar Harapan No. 2981 Tahun 1970, mengatakan kerap melihat Chairil di Pathook, Yogyakarta.
Dengan bajunya yang kusut dan rambut berantakan, kata Chandra, Chairil selalu membawa instruksi-instruksi dari Sjahrir untuk dilaksanakan di Jawa Tengah, kemudian diteruskan ke Jawa Timur. Menurutnya para pemuda Yogya sudah mengenal betul Chairil.
Dia dianggap sebagai pemuda yang terlampau berani kepada Jepang. “Begitulah Chairil mengambil peran di masa perjuangan. Ia tidak menghitung dan menimbang imbalan jasanya. Ia tidak mau mengingat sejak kapan dan kenapa ia ikut ambil peran dalam upaya meraih kemerdekaan. Juga tak berharap dapat Tindakan penghormatan apa pun dari siapa saja yang menikmati hasil perjuangannya, jika karena pilihan bentuk pengabdiannya itu, ia harus mati. Ia tak peduli,” ujar Hasan.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR