[ARSIP]
Erotisme telah lama menjadi bagian kesenian tradisional kita. Bahkan hal itu dipandang sebagai suatu “kewajaran” bagi masyarakat kelas bawah yang memang lebih permisif. Namun, setiap pemunculannya, sering mendapat tentangan dari peradaban.
Oleh Tjahjo Widyasmoro untuk Intisari edisi Juli 2023
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru di sini
---
Intisari-Onlinecom -Jika beberapa waktu belakangan ini Anda sering mendengar kata “Inul” dalam pelbagai pembicaraan, pasti yang dimaksud adalah penyanyi dangdut asal Pasuruan, Jawa Timur, Inul Daratista.
Wanita yang aslinya bernama Ainur Rokhimah itu dikenalkarena tariannya yang begitu enerjik saat beraksi di atas panggung. Yang menghebohkan banyak orang, pada bagian tertentu dari lagu, tiba-tiba “brak!” Inul memutar pinggulnya dengan cepat, bergerak ke atas ke bawah, mirip gasing. Atau diistilahkan penggemarnya, goyang ngebor.
“Goyangnya semangat, tapi kelewat berani. Kesan nya erotis, jorok gitu,” nilai seorang wanita pekerja di daerah perkantoran Jln. Sudirman Jakarta yang sudah menonton VCD pertunjukan Inul, milik suaminya.
Berani? Penyanyi dangdut dengan goyang aduhai tentu bukanlah hal baru. Sudah bukan rahasia lagi, pertunjukan dangdut atau musik kesenian tradisional lain yang biasa digelar di daerah-daerah, hampir selalu dibumbui gerakan-gerakan erotis para penyanyinya.
Gampangnya, tengok saja pertunjukan ndangdutan yang dulu sempat marak di Pasar Malam Perayaan Sekaten, biasa disebut sekatenan, di Yogyakarta.
Dalam sebuah arena tertutup dengan dua-tiga panggung, para penyanyi seakan sedang berlomba “adu panas”, baik goyangan maupun kostum yang dikenakan. Padahal, pertunjukan berlangsung tak jauh dari Keraton Yogyakarta dan Masjid Agung.
Maka jangan heran jika Inul Daratista ini pun berani menolak jika goyangannya dicap erotis. Selama tidak mempertunjukkan gerakan menantang dan berpakaian minim, dia tidak merasa erotis.
Pemikat instan
Dia bilang, goyang ngebor merupakan reaksi alamiah tubuhnya. “Kalau dengar dangdut, rasanya ndak enak kalau enggak goyang,” tuturnya di sela-sela pertunjukan di sebuah stasiun televisi, akhir Februari lalu.
Bisa jadi, Inul hanya berkilah. Namun, begitu lah ciri musik dangdut yang sesungguhnya. Sebagai kesenian rakyat yang dianggap kelas bawah, dangdut tampil begitu polos, lugas, dan apa adanya. Syair-syairnya seakan tak pernah ambil peduli pada pengandaian yang penuh metafora, baik saat bertutur mengenai keseharian, cinta, maupun derita.
“Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati,” demikian yang terucap dalam sebuah lagu yang mungkin pernah, bahkan sering, Anda dengar.
“Di sinilah keunggulan dangdut yang begitu terus terang dan jujur. Irama stakatonya yang menghentak, begitu universal, dan bisa mengajak semua bergoyang, tanpa banyak aturan. Penyanyi memadukannya dengan erotisme sebagai pemikat instan,” jelas Hilarius S. Taryanto, Ketua Jurusan Kajian Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Kehadiran erotisme dalam kesenian modern kita, seperti dangdut, berakar dari goyang serupa dalam tari-tarian pergaulan tradisional. Dalam catatan Hilarius, setidaknya ada tiga sumber tari pergaulan di Jawa.
Tayub atau ledek atau lengger di Banyumas, ronggeng gunung di Garut dan Sumedang atau disebut “Sunda halus”, serta ketuk tilu di antara Subang sampai Cikampek atau disebut “Sunda kasar”.
Dibandingkan dengan dua lainnya, tayub mempunyai massa paling banyak. Penyebarannya hampir meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua wilayah itu memang memiliki kesamaan budaya. Saat mendekat ke Istana Mataram, tarian itu mengalami penghalusan menjadi gambyong. Evolusinya ke timur hingga Banyuwangi, menjadikannya gandrung.
Sedang ronggeng gunung dan ketuk tilu hingga kini masih bertahan dengan bentuk aslinya di daerah masing-masing. Meski ada juga yang mengalami perubahan nama karena penggolongan bunyi menjadi kliningan di daerah sekitar Majalengka hingga Indramayu, Jawa Barat.
Perpaduan keduanya dapat diterima seluruh lapisan masyarakat dalam bentuk jaipong, karya seniman tari Gugum Gumbira.
Di Sumatra, tepatnya di Pulau Bintan, menurut Hilarius, berkembang juga joget jangkung dan makyong. Sementara di Bali, seperti ditulis Putu Setia dalam situs Hindu Indonesia Raditya, berkembang joget. Sebuah tarian pergaulan yang diiringi genjek, “musik pengiring” berupa nyanyian dengan pantun-pantun yang nakal.
“Iringan genjek memberi peluang untuk menari lebih erotis. Saya percaya itu, karena genjek bermusik lewat mulut, keplok tangan, dan iringan gamelan seadanya, sehingga mudah berimprovisasi,” tulis Putu.
Kedekatan antara tari-tarian pergaulan di Jawa dengan erotisme dan akhirnya aktivitas seksual, tak lepas dari ritual-ritual masa lalu berupa permohonan akan kesuburan.
Daerah-daerah pengembangan tari itu memang didominasi budaya agraris. Kekuatan menggerakkan daya-daya gaib itu antara lain dipercaya akan didapat dari tindakan magi simpatetis, yaitu perbuatan yang melam bangkan terjadinya pembuahan dalam hubungan pria-wanita.
Dalam ritual, pengungkapannya sering dimanifestasikan dengan gerakan seputar organ reproduksi. Yaitu gerakan-gerakan yang terpusat pada perut, pinggang, pinggul, dan paha.
“Begitu juga dengan tari-tarian daerah lain yang memusatkan gerakan di bagian-bagian tubuh ini, semua dimaksudkan mewakili unsur reproduksi yang mewakili kesuburan,” jelas Hilarius seraya memperagakan tarian asal Papua dan Afrika yang banyak menggoyangkan paha, mirip orang kedinginan.
Saat pertunjukan, para penari tayub tampil dengan aksi-aksi menggoda, seperti tata rias menor, aroma wewangian, kain sebatas dada (dodot basahan), gerakan erotis, serta ajakan kepada penonton untuk menari.
“Tapi, mereka melakukannya dengan tidak bercanda. Semua serius untuk ritual. Bahwa kemudian ada unsur seks atau malah ke arah pelacuran, itu merupakan side effect saja,” tandas Hilarius yang menyebut upacara papis pada suku Asmat di Papua sebagai contoh lain. “Pada papis, pertukaran antarpasangan suami-istri juga dilakukan dengan serius. Antara lain, maknanya agar benih-benih kehidupan tertumpah memenuhi bumi demi kesuburan.”
Penjelasan makna tayub sebagai ritual sakral, yang mungkin sulit diterima rasio manusia modern, termuat dalam situs Javanews.net. Tayub digambarkan sebagai upaya bagi golongan penganut agama Çiwa (aliran Çakta) dalam meniadakan diri guna mencapai moksa dan mempersatukan diri dengan Tuhan. Atau, dalam terminologi Jawa, dikenal sebagai manunggaling kawula-Gusti.
Dalam keyakinan mereka, melakukan sesuatu yang dilarang bagi manusia biasa, merupakan ritual suci. Karena prinsipnya, tidak ada yang terlarang bagi orang suci.
Bahkan, menjalankan larangan secara berlebihan, dipercaya mendatangkan kemampuan gaib. Yang dikategorikan terlarang bagi orang biasa mencakup ma-lima, yaitu mamsa (daging), matsya (ikan), madya (alkohol), maithuna (persetubuhan), dan mudra (sikap tangan).
Dalam perjalanannya, tayub selalu berkaitan erat dengan dua dari ma lima, yaitu madya yang selalu hadir dalam pergelaran tayub serta ditingkahi unsur maithuna di dalamnya. Namun sayangnya, lagi-lagi dua hal itu dihayati hanya sebagai kepuasan sesaat.
Kelonggaran budaya Timur
Tak jelas kapan terjadi pergeseran dari tayub sebagai ritual menjadi sekadar hiburan yang menonjolkan erotisme. Setidaknya, dalam The History of Java (1817), Thomas Stamford Rafflees telah mencatat stigma terhadap ledhek atau ronggeng. Pelaku profesi itu digambarkan berperilaku kurang terhormat, bahkan selalu diasosiasikan dengan pelacur.
Hilarius menduga, pergeseran kian parah setelah tayub kerap dijadikan pertunjukan pada “kunjungan dinas” penguasa kerajaan di masa kolonial Belanda pada abad ke-19 dan ke-20.
Telah terjadi pergeseran atau tidak, sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, melihatnya sebagai bentuk kelonggaran akan seksualitas pada budaya Timur saat itu. Sebelum akhirnya Jawa dipengaruhi agama-agama wahyu, Islam dan Kristen, kecenderungan mentoleransi aktivitas beraroma seks dan erotisme justru melebihi Barat.
Dengan semakin meluasnya pengaruh kaum agamis hingga ke kalangan bawah, barulah terjadi upaya pengendalian terhadap segala sesuatu yang liar (menurut definisi peradaban). Bentuknya antara lain melalui pelarangan-pelarangan, mirip seperti yang akhirnya dialami Inul di kemudian hari.
Dalam perjalanannya kemudian, tayub selalu berkaitan erat dengan madya (alkohol) dan maithuna (persetubuhan). Walau peradaban, yang diwakili kelas menengah, selalu berupaya mengekang, tetapi akan selalu muncul wujud-wujud baru erotisme dan seksualitas di masyarakat mana pun.
Seperti telah diungkap psikolog Sigmund Freud atau Herbert Marcuse, di mana seksualitas merupakan kecenderungan alamiah manusia untuk menyatakan diri. Manusia memang cenderung mendapatkan pengalaman-pengalaman seksual hingga limitnya. Bentuknya dapat berupa seni, tarian, lukisan, dsb.
Semakin peradaban berusaha mengendalikan, malah akan semakin terlihat hipokrit.
“Peradaban barulah yang dapat mengatur jika eksistensi seksualitas atau erotisme telah membahayakan sistem dan hukum yang alamiah. Seperti halnya free sex yang dapat menimbulkan bermacam-macam akibat, seperti penyakit, sehingga dianjurkanlah safe sex. Atau kerusakan-kerusakan pada organ tubuh tertentu pada orang dengan perilaku biseksual, telah menjadi batas alamiahnya,” jelas sosiolog yang memperoleh gelar Ph.D. bidang Sociology of Knowledge/Culture dari University of Essex, Inggris ini.
Dengan pemikiran seperti itu, wajar jika pembatasan terhadap pekerja seni, macam Inul dan sejawatnya yang lain, akan dipandang aneh oleh sebagian masyarakat. Terutama kelas bawah, yang masih menerima erotisme sebagai bagian dari ekspresi berkesenian mereka.
Dangdut, tayub, maupun bentuk kesenian lokal lain di banyak tempat, akan terus tampil dalam erotikanya. Selanjutnya ... terserah Anda.