Dijelaskan Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: True Democrat Fighter for Humanity 1909-1966, Sjahrir tiba di Jawa pada Februari 1942, setelah menjalani pengasingan selama tujuh tahun bersama tokoh pergerakan lain seperti Mohammad Hatta, Iwa Kusumasumantri, dan Cipto Mangunkusumo.
Paman dan keponakannya itu baru bertemu setelah Sjahrir menjalani masa pengurungan di Sukabumi dan kembali ke rumahnya di Jalan Dambrink atau Jalan Latuharhary 19, Jakarta, sekarang.
Di rumah pamannya itu, Chairil bersama ibunya menumpang hidup sementara. Di sana pulalah, Chairil mengenal banyak sosok yang membukakan jalan bagi petualangan menyairnya. “Sutan Sjahrir adalah sosok penting yang besar pengaruhnya dalam pembentukan diri seorang Chairil Anwar,” ujar Hasan.
Berdebat dalam bahasa asing
Di rumah Oom Sjahrir, begitu Chairil memanggil sang paman, Chairil tidak sendiri. Dia tinggal bersama anak-anak angkat Sjahrir dan Hatta dari Banda Neira: Des Alwi, Lili, Mimi, dan Ali. Chairil akrab sekali dengan putra-putri pamannya itu, terutama dengan Des yang memang ditempatkan sekamar dengan Chairil.
Keduanya memiliki perbedaan usia lima tahun. Chairil lahir tahun 1922, Des lahir tahun 1927. Dalam bukunya, Friends and Exiles: A Memoir of The Nutmeg Isles and The Indonesian Nationalist Movement, Des mengisahkan kesehariannya tinggal bersama Chairil.
Chairil seorang yang pintar di mata Des. Seorang kutu buku. Dia kerap melihat kawannya itu melahap banyak sekali buku, apa pun jenisnya. Des juga kagum dengan kefasihan Chairil berbahasa Inggris dan Belanda.
“Kemudian saya menyadari bahwa Chairil Anwar, yang kami panggil Nini, adalah seorang penyair yang brilian,” kata Des.
Tidak hanya Des, Sjahrir juga sangat mengagumi kecerdasan Chairil. Pamannya itu sering mengajak Chairil berdebat dalam bahasa asing. Keduanya menguasai literatur Barat dengan baik sehingga perdebatannya acap kali berlangsung lama.
Kekaguman terhadap Chairil menumbuhkan rasa sayang Sjahrir kepada keponakannya. Sjahrir menjadi mentor bagi perkembangan intelektual Chairil. Perdana Menteri pertama Indonesia itu, imbuh Hasan, bahkan menyuntikkan pemikiran-pemikiran ideologis ke dalam jiwa Chairil.
“Selama masa pendudukan Jepang, Chairil Anwar dikatakan telah membaca semua buku di perpustakaan pribadi milik Sjahrir,” ungkap Keith Foulcher dalam “Angkatan 45 dan Warisannya: Seniman sebagai Warga Masyarakat Dunia”, dimuat Asrul Sani 70 Tahun Penghargaan dan Penghormatan karya Ramadhan KH, dkk.
Berada dekat dengan Sjahrir membuat Chairil mengenal banyak tokoh pergerakan, wartawan, dan seniman. Mereka sering melihat Chairil ketika berkunjung ke kediaman Sjahrir. Chairil dikenal oleh tokoh-tokoh itu sebagai keponakan Sjahrir.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR