Chairil Anwar, jika tidak berpuisi ternyata jadi sosok yang sangat 'berbahaya'--dalam arti baik. Dialah yang diamanahi Sutan Sjahrir mengabarkan kekalahan Jepang kepada kelompok pemuda.
Oleh Muhammad Fazil Pamungkas untuk Intisari, Juli 2022
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com - Tanjung Priok, 1941. Kapal uap besar rute Medan-Singapura-Batavia melabuhkan jangkar. Di atasnya terbentang bendera merah putih biru. Menandakan kapal itu milik maskapai pelayaran pemerintah Hindia Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij.
Dari kapal tersebut turun rombongan pelajar asal Sumatra, terutama berasal dari Minangkabau, Palembang, Sumatra Utara, dan sebagian Aceh. Mereka termasuk gelombang perantau yang sejak 1930-an memenuhi kota-kota dengan sekolah terbaik di Jawa, seperti Batavia, Bandung, Yogyakarta, dan Solo.
Di antara barisan para perantau terpelajar itu, ikut turun seorang remaja 19 tahun. Rambutnya hitam bersemu kemerahan, bergelombang dan tebal. Kulitnya putih khas orang Taeh, Payakumbuh. Namanya Chairil Anwar, perantau asal Medan yang berencana mengenyam pendidikan di Batavia.
Di Batavia, tulis Hasan Aspahani dalam biografi Chairil, Chairil sempat melanjutkan sekolah. Namun belum genap setahun, dia berhenti. Peristiwa penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang tahun 1942 berdampak kepada penutupan seluruh sekolah milik Belanda.
Chairil yang tidak pernah berpikir untuk kembali ke Medan nyaris hidup tanpa tujuan di tempat terasing. Beruntung, pada waktu bersamaan, Sutan Sjahrir baru saja kembali dari pengasingannya di Banda Neira, Maluku.
Sjahrir adalah paman dari garis keturunan ibu Chairil, Saleha. Usia Sjahrir 13 tahun lebih tua ketimbang Chairil. Keduanya sama-sama pernah mengenyam pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Medan. Tetapi tidak ada catatan yang menjelaskan apakah keduanya pernah bertemu ketika masih berada di Medan.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR