“Karier dagang Chairil dan Des Alwi perlahan-lahan menjadi perusahaan nirlaba, yang melayani hanya kebutuhan Sjahrir untuk mendapatkan barang-barang yang ia butuhkan dalam pergerakan klandestinnya,” Hasan menerangkan.
Suatu waktu, Chairil menemukan dua kotak besar di garasi rumah Sjahrir. Di dalamnya terdapat banyak barang yang punya nilai jual. Chairil mengambil sepasang sepatu ukuran besar, lalu menjualnya seharga dua gulden.
Beberapa hari kemudian, Chairil mengambil lagi beberapa lampu bekas, yang masing-masing dijual 50 sen.
Perihal peti tersebut, Sjahrir awalnya tidak tahu jika Chairil menjual barang-barang di dalamnya. Sjahrir yang terlalu sibuk dengan urusan pergerakan tidak lagi dapat memantau usaha keponakannya tersebut.
Des pun lalu mengingatkan Chairil agar dia memberi tahu Sjahrir soal peti yang memberikan banyak keuntungan bagi mereka. Chairil mengatakan jika dia sudah memberi tahu Sjahrir. Namun menurutnya sang paman tidak peduli akan hal itu.
Suatu kali, Sjahrir diberi segulung antena radio oleh Lili dan Mimi, anak angkat Sjahrir. Dia sangat senang menerimanya. Ketika diberi tahu asal antena tersebut, Sjahrir tak terlalu gembira. Dia tambah tidak senang saat mengetahui Chairil dan Des mengambil sejumlah barang lain dari tempat yang sama dan menjualnya.
“Apa itu?” kata Sjahrir kepada Chairil.
“Sepasang sepatu boot tua, dan sejumlah lampu bohlam 220 volt,” Chairil menjelaskan.
Sjahrir cukup terkejut. “Kalian apakan barang-barang itu?”
“Kami jual di Pasar Senen dan uangnya buat beli buku. Dan makan besar di restoran Padang,” kata Chairil.
Sjahrir tampak sangat kesal saat Chairil mengatakan itu. “Kenapa kalian tidak sekalian merampok bank saja? Sama saja kalian mencuri sepasang sepatu tua atau 10 ribu gulden. Mencuri adalah mencuri.”
Kekesalan Sjahrir hari itu amat membekas dalam benak Des. Dia tidak menyangka jika ayah angkatnya akan semarah itu sampai mengeluarkan kata “mencuri”, yang menurutnya amat menyakitkan.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR