Dia juga dikenal sebagai sosok yang begitu keras terhadap pemerintah kolonial Belanda yang ketika itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Pada tahun 1810, ia memimpin pemberontakan melawan Belanda yang dipicu oleh tindakan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang mengambil alih hutan jati di Jawa Timur dan mengancam keselamatan rakyat Jawa dan Cina.
Dia menyatakan bahwa pemberontakannya bertujuan untuk membersihkan Jawa yang ternoda Belanda dan membela hak-hak rakyat.
Namun, pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari Sultan Hamengkubuwana II yang lebih memilih bersekutu dengan Belanda.
Sultan mengirim perintah rahasia kepada pasukan gabungan Yogya-Belanda untuk menangkap dan membunuh Raden Ronggo.
Setelah tiga ekspedisi gagal, akhirnya pada tanggal 20 November 1810, Raden Ronggo tertangkap di Sekaran, di sekitar Bojonegoro.
Dia dibunuh secara brutal oleh pasukan gabungan Yogya-Belanda dan jenazahnya dibawa ke Yogyakarta dengan keranda terbuka untuk dipertontonkan di Pangurakan utara alun-alun keraton sebagai begal biasa.
Dia juga disebut sebagia pengkhianat dan jenazahnya dimakamkan di pemakaman para pecundang di Banyusumurup.
Meskipun dibunuh secara tidak terhormat oleh musuh-musuhnya, Raden Ronggo Prawirodirjo III tetap dikenang sebagai pejuang perintis perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Ia menjadi suri teladan bagi perjuangan Pangeran Diponegoro yang mengaguminya sebagai banteng terakhir Kesultanan Yogyakarta.
Dalam babad autobiografinya yang ditulis dalam pengasingan di Manado pada tahun 1831-1832, Pangeran Diponegoro menyebut nama Raden Ronggo berkali-kali sebagai contoh keberanian dan kebijaksanaan dalam menghadapi Belanda dan menjaga keutuhan Jawa.
Pada 1973, Sultan Hamengkubuwana IX mengembalikan jenazah Raden Ronggo Prawirodirjo III ke Giripurno untuk disemayamkan bersama sang istri.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR