Gejolak Terbesar Mataram Islam, Amangkurat IV Sampai Minta Bantuan VOC Untuk Memadamkan Pemberontakan 3 Adiknya

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Perang Takhta II terjadi ketika tiga adik Amangkurat IV dan seorang pamannya melakukan perlawanan. VOC datang membantunya, takhta pun aman di tangannya.
Perang Takhta II terjadi ketika tiga adik Amangkurat IV dan seorang pamannya melakukan perlawanan. VOC datang membantunya, takhta pun aman di tangannya.

Perang Takhta II terjadi ketika tiga adik Amangkurat IV dan seorang pamannya melakukan perlawanan. VOC datang membantunya, takhta pun aman di tangannya.

Intisari-Online.com -Amangkurat IV disebut-sebut sebagai raja Mataram Islam yang paling dimusuhi rakyatnya.

Di masalah kerajaan yang didirikan oleh Panembahan Senopati ini menghadapi gejolak terbesar: Perang Takhta Jawa II.

Gejolak itu muncul ketika tiga adik Amangkurat IV dan seorang pamannya melalukan pemberontakan.

Tapi berkat bantuan VOC, Amangkurat IV berhasil menyingkirkan adik-adiknya, juga pamannya.

Takhta Mataram Islam pun tetap aman di tangannya.

Bagaimana kisahnya?

Geger Perang Takhta Jawa II bermula ketika Raden Mas Suryaputra naik menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Amangkurat IV.

Amangkurat IV yang dianggap terlalu dekat dengan VOC ternyata tidak disukai oleh paman dan adik-adiknya.

Dan karena itulah mereka memutuskan untuk memberontak dan merebut kekuasaan.

Perebutan takhta ini kemudian lebih dikenal sebagai Perang Takhta Jawa II.

Perang Takhta II berlangsung antara 1719 hingga 1723.

Kubu yang terlibat adalah Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya, Pangeran Arya Mataram, dan Pangeran Arya Dipanagara.

Amangkurat IV yang dibantu oleh VOC memenangkan pertempuran dan berhasil mempertahankan takhta Mataram Islam.

Tahun 1719, Raden Mas Suryaputra naik menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Amangkurat IV, menggantikan ayahnya Pakubuwono I.

Seperti disebut di awal, Amangkurat IV dikenal sebagai raja yang pro-VOC.

Dan itu membuat paman dan adik-adiknya tidak memberikan dukungan kepadanya.

Tak hanya itu, Amangkura IV juga disebut sebagai raja yang dimusuhi oleh hampir seluruh rakyat Mataram.

Setelah Amangkurat IV memimpin, rakyatnya terpecah dalam banyak golongan yang menentang kedudukan raja.

Konflik bermula saat Amangkrat IV menurunkan pangkat serta mengambil wilayah kekuasaan dua adiknya, yaitu Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya, yang dirasa terlalu besar.

Pada Juni 1719, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya yang sakit hati terhadap tindakan kakaknya melancarkan serangan ke Keraton Kartasura.

Mereka didukung oleh putra-putra Untung Surapati, kalangan ulama di istana, dan mendapatkan simpati dari sang ibu, Ratu Pakubuwono.

Tapi serangan mereka dapat dipukul mundur oleh pasukan VOC.

Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya pun mundur ke Yogyakarta, tepatnya di Kartasari yang pernah menjadi kedudukan Sultan Agung.

Di sana Pangeran Blitar dinobatkan sebagai raja bergelar Sultan Ibnu Mustapa Pakubuwana Senapati Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.

Sementara Pangeran Purbaya diangkat menjadi panglima perang bergelar Panembahan Purbaya.

Sultan Ibnu Mustapa terus memberontak terhadap Amangkurat IV.

Tapi dengan cara berbeda.

Pemberontakan tidak dilakukan dengan serangan, tetapi dengan tidak menyerahkan upeti atau menghadap Amangkurat IV.

Dia juga terus melakukan perluasan wilayah.

Adik tiri Amangkurat IV, Pangeran Dipanagara, juga memberontak.

Pangeran Dipanagara pada masa pemerintahan Pakubuwono I ditugaskan ke daerah Jawa Timur.

Dia diangkat sebagai raja bawahan Mataram bergelar Panembahan Herucakra dengan kedudukan di Madiun.

Selain dari adik-adiknya, Amangkurat IV juga menghadapi penolakan dari pamannya, Arya Mataram.

Arya Mataram, yang awalnya tidak ambil tindakan, akhirnya memberontak dengan meninggalkan istana Kartasura menuju pesisir utara Jawa.

Di daerah Pati, Arya Mataram pun menobatkan diri menjadi raja dengan nama Sunan Kuning.

Dengan begitu, rakyat Mataram Islam terbagi menjadi empat kubu.

Pertama kubu Amangkurat IV, kedua kubu Pangeran Blitar-Pangeran Purbaya, ketiga kubu Pangeran Dipanagara, terakhir kubu Arya Mataram.

Lalu meletuslah Perang Takhta Jawa II.

Tapi untung Amangkurat IV masih mendapat dukungan dari VOC.

Pasukan VOC yang ada di Semarang dipanggil untuk mengamankan Amangkurat IV di Kartasura.

Pertama-tama, yang dipadamkan adalah kelompok Arya Mataram.

Dia pun menyerah setelah dijepit oleh pasukan VOC di Jepara dan akhirnya dibunuh.

Setelah itu, pasukan gabungan VOC dan Kartasura ditugaskan untuk menyerang kedudukan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya di Kartasari.

Karena kekuatan yang tidak seimbang, keraton Kartasari hancur dan beberapa pejabatnya dihabisi pasukan gabungan VOC dan Kartasura.

Hal itu membuat Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya melarikan diri ke Jawa Timur.

Selama beberapa bulan berikutnya, dua pangeran ini terus diburu oleh VOC sehingga harus berpindah-pindah tempat di pedalaman Jawa Timur.

Dalam pengejaran, Pangeran Blitar jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 1721.

Pengejaran terhadap Pangeran Purbaya dilanjutkan VOC, yang juga mengiriminya surat.

Dalam surat tersebut VOC meminta agar Pangeran Purbaya menyerah karena peperangan tidak akan ada ujungnya.

Pangeran Purbaya mau kembali ke Kartasura, asalkan seluruh punggawanya dan Pangeran Dipanagara diampuni.

Pada 1723, Perang Takhta Jawa II berakhir dengan pengasingan Pangeran Dipanagara ke Tanjung Harapan karena terbukti melakukan pemberontakan.

Sementara itu, Pangeran Purbaya diizinkan hidup di Tangerang di bawah pengawasan VOC.

Keputusan itu merupakan strategi VOC, yang mengamankan Pangeran Purbaya sebagai cadangan untuk menggantikan Amangkurat IV apabila hubungan mereka memburuk.

VOC memandang Pangeran Purbaya memiliki legitimasi yang sama dengan Amangkurat IV.

Dengan bantuan dari VOC, Amangkurat IV berhasil memenangkan Perang Takhta Jawa II sekaligus mempertahankan takhta Mataram Islam.

Artikel Terkait