Setelah 3 Kali Goncangan, Mataram Islam Akhirnya Pecah Jadi 3

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Perang Takhta Jawa III membuat Mataram Islam pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Lalu pecah lagi jadi Mangkunegaran.
Perang Takhta Jawa III membuat Mataram Islam pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Lalu pecah lagi jadi Mangkunegaran.

Perang Takhta Jawa III membuat Mataram Islam pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Lalu pecah lagi jadi Mangkunegaran.

Intisari-Online.com -Tiga kali Mataram Islam mendapat goncangan.

Periode-periode itu, kelak di kemudian hari dikenal sebagai Perang Takhta Jawa I, Perang Takhta Jawa II, dan Perang Takhta III.

Di dua perang suksesi itu, Mataram Islam memang tergoncang.

Tapi kerajaan yang didirikan oleh Panembahan Senopati itu masih tetap utuh.

Hingga di perang suksesi ketigalah, Mataram Islam akhirnya merasakan dampaknya secara signifikan.

Mataram Islam pecah jadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Perpecahan itu ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 1755.

Bagaimana kerajaan yang yang pertama kali muncul di Kotagede itu akhirnya runtuh?

Semua berawal dari peristiwa Geger Pecinan pada 1742.

Pemberontakan itumengakibatkan ibu kota Kerajaan Mataram Islam di Kartasura hancur.

Peristiwa tersebut melibatkan salah satu pangeran Mataram, yakni Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, keponakan Pakubuwono II.

Karena Keraton Kartasura hancur, Pakubuwono II (1726-1749) memindahkan ibu kota kerajaan ke Keraton Surakarta.

Pemerintahan Pakubuwono II dapat bertahan selama lebih dari dua dekade tidak lepas dari peran VOC.

Karena itu pula, intrik di kalangan para bangsawan Mataram terus terjadi dan Pakubuwono II semakin diperas oleh VOC.

Salah satu penyebab Perang Takhta Jawa III adalah kekesalan Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwono II, terhadap sikap VOC.

Suatu hari, Gubernur Jenderal VOC Baron van Imhoff datang untuk mendesak Pakubuwono II agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.00 real per tahun.

Permintaan ituditentang oleh Pangeran Mangkubumi.

Karena hal itu, Baron van Imhoff menghina Pangeran Mangkubumi dan memengaruhi Pakubuwono II untuk membatalkan pemberian tanah di Sukawati (sekarang Sragen) yang telah dijanjikan.

Pangeran Mangkubumi pun sakit hati.

Dia memilih meninggalkan Keraton Surakarta untuk bergabung bersama Raden Mas Said.

Itulah penyebab meletusnya perang saudara di Kerajaan Mataram Islam yang kemudian disebut sebagai Perang Suksesi Jawa III, antara Pakubuwono II yang dilanjutkan oleh Pakubuwono III melawan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Di tengah perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, Pakubuwono II meninggal pada 20 Desember 1749.

Sebelum meninggal, Pakubuwono II sempat menandatangani perjanjian dengan VOC, yang oleh para sejarawan disebut sebagai titik awal hilangnya Kerajaan Mataram Islam.

Putra Pakubuwono II, Raden Mas Suryadi, kemudian dinobatkan sebagai raja bergelar Pakubuwono III.

Pakubuwono III meneruskan Perang Takhta Jawa III melawan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said dibantu VOC.

Pada 1752, terjadi perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Hal itu segera dimanfaatkan oleh VOC, yang mengirimkan Nicolas Hartingh untuk menawarkan perdamaian kepada Pangeran Mangkubumi.

VOC berhasil menarik Pangeran Mangkubumi untuk menghadiri Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.

Perjanjian Giyanti secara resmi membagi Kesultanan Mataram menjadi dua.

Bagian timur Mataram menjadi milik Pakubuwono III, dengan tetap berkedudukan di Keraton Surakarta, sementara bagian barat Mataram diberikan kepada Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi kemudian mendirikan Kasultanan Yogyakarta dan memerintah dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.

Dengan kata lain, Perjanjian Giyanti melahirkan Nagari Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Pakubuwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono I.

Raden Mas Said, yang tidak ikut dalam Perjanjian Giyanti masih gencar melakukan perlawanan.

VOC berulang kali menawarkan solusi dengan jalan perundingan, yang akhirnya diterima oleh Raden Mas Said.

Pihak-pihak terkait kemudian berkumpul di Salatiga, Jawa Tengah, pada 17 Maret 1757 untuk menyepakati Perjanjian Salatiga.

Dalam perjanjian itu, Raden Mas Said diakui sebagai pangeran merdeka dengan wilayah otonom berstatus kadipaten yang disebut Praja Mangkunegaran.

Perjanjian Salatiga menandai berdirinya Praja Mangkunegaran, kadipaten yang posisinya dibawah kasunanan dan kasultanan.

Sehingga penguasanya tidak berhak menyandang gelar Sunan ataupun Sultan.

Gelar para penguasa yang memegang pemerintahan di Mangkunegaran adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA).

Raden Mas Said kemudian dinobatkan sebagai pendiri sekaligus penguasa pertama Mangkunegaran yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.

Kedudukan Mangkunegara berada di Pura Mangkunegaran, yang didirikan di kawasan Banjarsari, Surakarta, tidak jauh dari Keraton Surakarta.

Perjanjian Salatiga menandai bahwa Kesultanan Mataram telah terbagi menjadi tiga kekuasaan yang diperintah oleh Hamengkubuwono I, Pakubuwono III, dan Mangkunegara I.

Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga menandai akhir dari Perang Takhta Jawa III.

Artikel Terkait