Dalam Babad ing Sengkala, disebutkan bahwa pada 1647 Amangkurat I memindahkan ibu kota dari Kotagede ke Plered.
Sejak awal berkuasa, ia kerap membunuh para pejabat yang dianggap tidak taat dan kurang hormat kepadanya.
Beberapa di antara mereka adalah Tumenggung Wiraguna, Pangeran Alit, dan Pangeran Pekik, ayah mertuanya sendiri.
Amangkurat I pernah berselingkuh dengan istri Tumenggung Wiraguna, dan kemudian membunuhnya ketika ia sedang menyerbu Kerajaan Blambangan atas perintahnya.
Pangeran Alit memberontak melawan kakaknya dengan dukungan dari para ulama, tetapi pemberontakan itu berhasil dipadamkan dan Pangeran Alit pun tewas.
Setelah itu, Amangkurat I menghabisi ulama dan siapa saja yang dicurigai sebagai lawannya.
Menurut catatan Rijcklof van Goens, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda 1678-1681, sekitar 5.000 hingga 6.000 orang yang terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak dibantai.
Bersekutu dengan VOC
Berbeda dengan Sultan Agung, Amangkurat I sangat lemah terhadap Belanda. Ia bahkan lebih memilih bersekutu dengan VOC daripada mengandalkan dukungan rakyatnya sendiri.
Sejak awal berkuasa, Amangkurat I melakukan perjanjian dengan VOC yang pada dasarnya Mataram harus mengakui kekuasaan politik VOC di Batavia.
Setiap tahunnya, VOC juga mengirimkan utusan ke Mataram, yang pada akhirnya ikut campur urusan politik kerajaan.
Baca Juga: 5 Faktor Pendorong Berkembangnya Kerajaan Mataram Kuno Menuju Kejayaan
KOMENTAR