Namun, mereka mendapat kejutan yang tidak menyenangkan. Para garnisun Belanda ternyata menggunakan tinja sebagai senjata terakhir mereka.
Menurut Johan Neuhof, seorang Jerman yang menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda tentang peristiwa itu, para garnisun Belanda melemparkan tinja ke arah pasukan Mataram dengan menggunakan meriam atau sekop.
Tinja itu berasal dari lubang-lubang pembuangan di dalam benteng, yang sudah menumpuk selama beberapa minggu.
Efek dari strategi tinja ini sangat mengerikan. Pasukan Mataram yang terkena tinja menjadi jijik dan muak, sehingga kehilangan semangat bertempur.
Selain itu, tinja juga menimbulkan bau busuk dan penyakit di antara pasukan Mataram. Banyak prajurit Mataram yang menderita disentri atau kolera akibat terpapar tinja.
Akhirnya, pasukan Mataram mundur dengan keadaan kocar-kacir. Mereka meninggalkan banyak korban jiwa dan luka-luka di medan perang.
Sementara itu, para garnisun Belanda berhasil bertahan hidup sampai bala bantuan datang dari Kastil Batavia. Mereka mendapat pujian dari Gubernur Jenderal VOC saat itu, Jan Pieterszoon Coen, atas keberanian dan ketabahan mereka.
Lantaran lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa, prajurit Mataram pernah menjuluki Redoute Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”. Kelak, orang Jawa mencatat ada dua kota di Batavia, Kota Intan dan Kota Tahi.
Serangan Kedua: Kapal-kapal Logistik Mataram Dihancurkan oleh Kompeni
Serangan kedua Mataram terjadi pada tahun 1629. Sultan Agung tidak menyerah dengan kegagalan serangan pertama. Ia mengumpulkan pasukan yang lebih besar dan lebih baik persenjataannya untuk menyerang Batavia lagi. Ia juga mengirimkan mata-mata untuk mengintip gerak-gerik Kompeni.
Namun, rencana Sultan Agung bocor karena salah satu mata-matanya tertangkap oleh Kompeni. Kompeni pun segera mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi serangan Mataram.
Baca Juga: Misteri Kematian Sultan Agung, Raja Mataram Islam yang Ditakuti Belanda dan Hampir Kuasai Pulau Jawa
KOMENTAR