Intisari-Online.com -Sultan Agung adalah raja Mataram yang terkenal dengan ambisinya untuk menguasai seluruh Pulau Jawa.
Salah satu targetnya adalah Batavia, kota dagang yang dikuasai oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Kompeni Belanda.
Sultan Agung menyerang Batavia sebanyak dua kali, pada tahun 1628 dan 1629, namun gagal merebut kota itu dari tangan musuhnya.
Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan serangan Mataram adalah strategi tinja yang diterapkan oleh Kompeni untuk mempertahankan benteng-bentengnya.
Serangan Pertama: Redoute Hollandia Dijaga dengan Tinja
Serangan pertama Mataram terjadi pada bulan Agustus 1628. Pasukan Mataram yang berjumlah puluhan ribu orang di bawah komando Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja mencoba mendekati benteng-benteng Belanda yang tersebar di sekitar Batavia.
Salah satu benteng yang menjadi sasaran utama adalah Redoute Hollandia, sebuah bastion dengan bangunan pertahanan kecil yang berbentuk menara.
Redoute Hollandia dijaga oleh Sersan Hans Madelijn bersama 24 serdadunya, yang hanya didukung oleh dua meriam.
Mereka harus bertahan dari serangan pengepung yang membawa tangga-tangga dan alat-alat pelantak untuk memanjat kubu atau menghancurkan tembok-tembok. Selama sebulan penuh, mereka memberikan perlawanan yang gigih, meskipun kekurangan amunisi dan bahan makanan.
Pada malam 21 dan 22 September 1628, pertempuran mencapai puncaknya. Pasukan Mataram melancarkan serangan hebat ke Redoute Hollandia, berharap dapat merebutnya sebelum bala bantuan datang dari benteng lain.
Baca Juga: Kisah Nyai Roro Kidul, Selir Legendaris Raja-raja Mataram, Benarkah Berasal dari Kerajaan Pajajaran?
Namun, mereka mendapat kejutan yang tidak menyenangkan. Para garnisun Belanda ternyata menggunakan tinja sebagai senjata terakhir mereka.
Menurut Johan Neuhof, seorang Jerman yang menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda tentang peristiwa itu, para garnisun Belanda melemparkan tinja ke arah pasukan Mataram dengan menggunakan meriam atau sekop.
Tinja itu berasal dari lubang-lubang pembuangan di dalam benteng, yang sudah menumpuk selama beberapa minggu.
Efek dari strategi tinja ini sangat mengerikan. Pasukan Mataram yang terkena tinja menjadi jijik dan muak, sehingga kehilangan semangat bertempur.
Selain itu, tinja juga menimbulkan bau busuk dan penyakit di antara pasukan Mataram. Banyak prajurit Mataram yang menderita disentri atau kolera akibat terpapar tinja.
Akhirnya, pasukan Mataram mundur dengan keadaan kocar-kacir. Mereka meninggalkan banyak korban jiwa dan luka-luka di medan perang.
Sementara itu, para garnisun Belanda berhasil bertahan hidup sampai bala bantuan datang dari Kastil Batavia. Mereka mendapat pujian dari Gubernur Jenderal VOC saat itu, Jan Pieterszoon Coen, atas keberanian dan ketabahan mereka.
Lantaran lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa, prajurit Mataram pernah menjuluki Redoute Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”. Kelak, orang Jawa mencatat ada dua kota di Batavia, Kota Intan dan Kota Tahi.
Serangan Kedua: Kapal-kapal Logistik Mataram Dihancurkan oleh Kompeni
Serangan kedua Mataram terjadi pada tahun 1629. Sultan Agung tidak menyerah dengan kegagalan serangan pertama. Ia mengumpulkan pasukan yang lebih besar dan lebih baik persenjataannya untuk menyerang Batavia lagi. Ia juga mengirimkan mata-mata untuk mengintip gerak-gerik Kompeni.
Namun, rencana Sultan Agung bocor karena salah satu mata-matanya tertangkap oleh Kompeni. Kompeni pun segera mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi serangan Mataram.
Baca Juga: Misteri Kematian Sultan Agung, Raja Mataram Islam yang Ditakuti Belanda dan Hampir Kuasai Pulau Jawa
Mereka memperkuat pertahanan benteng-benteng mereka dan mengirimkan kapal-kapal perang untuk mengganggu jalur logistik Mataram.
Kapal-kapal perang Kompeni berhasil menghancurkan banyak kapal-kapal yang membawa bahan makanan dan amunisi untuk pasukan Mataram.
Akibatnya, pasukan Mataram mengalami kelaparan dan kekurangan senjata. Mereka juga terkena wabah penyakit yang menyebar di perkemahan mereka.
Serangan Mataram pun menjadi lemah dan tidak terkoordinasi. Mereka tidak dapat menembus pertahanan Kompeni yang kokoh dan berlapis-lapis. Mereka juga harus berhadapan dengan serangan balik dari Kompeni yang agresif dan berani.
Setelah beberapa bulan bertempur tanpa hasil, pasukan Mataram akhirnya mundur lagi dengan keadaan hancur. Banyak prajurit Mataram yang tewas, luka-luka, atau tertawan oleh Kompeni.
Beberapa prajurit Mataram yang takut akan hukuman Sultan Agung jika pulang tanpa kemenangan, memilih untuk menetap di sekitar Batavia yang kosong penduduknya.
Dengan demikian, serangan kedua Mataram juga berakhir dengan kegagalan. Sultan Agung harus mengakui bahwa Batavia adalah kota yang tidak dapat ditaklukkan oleh Mataram. Ia pun mengurungkan niatnya untuk menyerang Batavia lagi dan beralih ke target lain.