Kasus Tanjung Priok
Masyarakat Tanjung Priok memperkirakan total 400 orang terbunuh atau hilang dalam peristiwa ini.
Tragedi Tanjung Priok berawal tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu, seorang anggota Bintara Pembina Desa tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok.
Ia mengatakan kepada pengurus masjid, Amir Biki, untuk menghapus spanduk dan brosur yang isinya mengkritik pemerintah, tetapi ditolak.
Hermanu kemudian memindahkannya sendiri dengan masih menggunakan alas kaki saat masuk ke area sholat.
Akibatnya, ia diserang oleh Sjarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman, warga setempat. Keduanya bersama penguru lain, Achmad Sahi dan Muhammad Noor ditangkap.
Dua hari kemudian, Biki memimpin demonstrasi ke Kantor Kodim Jakarta Utara, tempat keempat tahanan tersebut dipenjara, hingga massa terus bertambah sampai sekitar 1.500 orang.
Melihat para demonstran yang semakin tidak terkendali, personel militer dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara ke-6 menembaki para demonstran.
Dalam kasus Tanjung Priok terjadi pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan secara kilat, perusakan sejumlah gedung, dan bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.
Baca Juga: Mengenal Arti Penting Wawasan Nusantara dalam NKRI, Ini Penjelasannya
Penculikan Aktivis 1997/1998
Penculikan aktivis terjadi antara tahun 1997/1998 terhadap aktivis pro-demokrasi.
Kasus penculikan aktivis 1997/1998 ini dilakukan oleh tim khusus bernama Tim Mawar, dibentuk oleh Mayor Bambang Kristiono.
Tanggal 18 Januari 1998, terjadi ledakan di Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
Tim Mawar pun menyusun rencana penangkapan terhadap sejumlah aktivis yang dicurigai terlibat dalam peledakan bom yang tidak disengaja tersebut.
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR