Intisari-Online.com - Tanggal 1 Juli 2021 kemarin, Partai Komunis China, merayakan ulang tahunnya yang ke-100.
Selain memperkuat masa depan, perayaan ulang tahun tentunya juga tentang memuliakan masa lalunya.
Namun, masa lalu China di bawah kepemimpinan Mao Zedong menyimpan kisah pedih.
Penduduk China pernah berperang besar-besaran melawan burung pipit agar pasokan makanan tidak berkurang, namun kelaparan besar justru terjadi.
Pada 1958, Mao Zedong mulai mereformasi negara komunisnya dengan Great Leap Forward (Lompatan Jauh ke Depan).
Program itu bertujuan untuk membangkitkan ekonomi negara, salah satu misinya adalah dengan The Four Pets Campaign.
Tujuan misi ini adalahmembunuh empat hama: tikus, lalat, nyamuk, dan burung pipit.
Kampanye tersebut dikenal sebagai Kill a Sparrow Campaign (kampanye membunuh burung pipit atau gereja).
Mao melihat penduduknya masih bermasalah dengan hama hewan, sedangkan burung pipit dianggap menghabiskan biji-bijian dan beras.
Dia memobilisasi massa secara besar-besaan, burung ditembaki, sarangnya dirobohkan, telurnya dipecah, dan anakannya dibunuh.
Namun, Mao dikatakan tidak tahu apa-apa tentang binatang dan tidak mau membahas rencananya atau mendengarkan para ahli.
Dia hanya memutuskan bahwa 'empat hama' harus dibunuh.
Sejarawan Frank Dikötter, penulisMao’s Great Faminemengatakan bahwa Lompatan Jauh ke Depan adalah pembunuhan massal terburuk sepanjang massa.
Benar saja, diketahui bahwa burung pipit juga memakan sejumlah serangga (bukan hanya bijibijian).
Akibatnya, hasil panen padi turun drastis akibat populasi hama belalang melonjak drastis.
Pada 1960 (dua tahun setelah kampanye dimulai) Mao mengganti burung pipit dengan kutu busuk pada daftar hama yang dilarang.
China mengalami bencana kelaparan pada 1958-1962 yang menewaskan 43 juta orang.
Dikötter mengatakan Great Leap Power adalah satu bencana terbesar abad ke-20 disamping kamp Gulag dan Holocaust.
"Rasanya seperti genosida Pol Pot (diktator komunis Kamboja) berlipat ganda 20 kali," ungkapnya.
(*)