Penulis
Intisari-online.com -China menjadi satu negara yang paling banyak merugikan negara lain terutama sejak Xi Jinping berkuasa.
Tahun 2020 kemarin China aktif sekali menyerang angkatan laut asing di Laut China Selatan.
Serta, negara itu disebut-sebut sebagai biang keladi virus Corona.
Pandemi Covid-19 disebut-sebut berasal dari Negeri Panda.
Namun China tidak hanya negara yang menyerang negara-negara lain untuk kepentingan pribadinya sendiri saja.
Sejarah mencatat bagaimana hubungan baik China dengan Palestina.
Palestina sendiri adalah negara yang terus-terusan dijajah oleh Israel.
Dua negara tersebut memperebutkan wilayah Yerusalem selama puluhan tahun dan Palestina terus-terusan dicaplok oleh Israel.
Meski Amerika Serikat bertindak sebagai negara penengah atas konflik tersebut, tapi mereka condong membantu dan mendukung Israel.
Sementara itu sangat sedikit negara adidaya yang mendukung Palestina.
Tapi, China tidak demikian.
Melansir artikel The Diplomat tertanggal 19 Juli 2014, China sebenarnya bersikap netral kepada Israel dan Palestina.
Namun warga China tunjukkan sikap terpolarisasi ke salah satu pihak.
Puluhan tahun China tidak menjauh dari konflik Israel dan Palestina.
Pemimpin China Mao Zedong terang-terangan memihak Palestina.
Sementara selain Mao Zedong, pemimpin China lain yaitu Deng Xiaoping tunjukkan dukungan tanpa syarat kepada revolusi pimpinan Yasser Arafat.
Baca Juga: Ancaman Hamas pada Israel Masih Nyaring Terdengar, Israel Malah Kembali Tembak Mati Remaja Palestina
Yasser Arafat sendiri bahkan dipanggil 'teman lama warga China'.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mendapatkan baik dana maupun senjata dari China.
Sementara itu menurut Julian Schvindlerman dalam artikelnya yang diterbitkan di Times of Israel berjudul 'The short life of Palestinian Maoism' menjelaskan pemimpin revolusi Dunia Ketiga kondang seperti Che Guevara, Ho Chi Minh, Franz Fanon dan Mao Zedong sangatlah terkenal di peringkat nasionalisme Palestina.
Buku teks Mao Zedong, Red Book, merupakan bacaan sehari-hari di antara para anggota PLO.
Lewat Mao, China tawarkan senjata, pelatihan dan propaganda untuk tentara Palestina.
Sumber Israel memperkirakan jumlah senjata yang dikirim tahun 1965-1970 senilai 33 juta dolar saat itu.
Tahun 1967, Shaina Oppenheimer di Haaretz melaporkan "warga Palestina tampaknya bertempur dengan senjata buatan China yang eksklusif."
China menjadi negara non-Arab pertama yang membangun hubungan dengan PLO setelah dibentuk tahun 1964.
Kemudian pada Maret 1965 Ahmad Shukairi, pemimpin pertama organisasi nasional Palestina, pergi ke Beijing.
Tahun yang sama, rezim Maoist mulai merayakan Hari Solidaritas Palestina.
Penerus Shukairi setelah 1968, Yasser Arafat, pergi ke China tidak kurang 14 kali antara 1964 sampai 2001, sampai-sampai "rumah-rumah China sudah terbiasa dengan sosok Arafat di TV mereka, menapak turun dari pesawat dengan seragam militer dan kopyah khasnya," seperti dituliskan Oppenheimer.
Lantas, apakah hubungan ini sampai sekarang terus berlanjut?
Rupanya tidak, dan ketika Mao Zedong meninggal tahun 1976, dukungan China untuk PLO kian meredup.
Tidak hanya dukungan saja, yang dibawa mati oleh Mao Zedong adalah hasratnya mengenai ide yang membuat rakyat Palestina bersemangat.
Sejak tahun 1972, Maoisme mengkristal sebagai tren di dalam kelompok Palestina, terutama bagi mereka yang menolak struktur Fatah yang terpusat.
Konsep Maoisme memang membantu mereka, karena mereka yakin kekuatan berada di massa.
Seperti pemimpin China, mereka yakin jika kepemimpinan politik harus memahami kekhawatiran dan kondisi rakyat jelata untuk membangun semangat revolusioner.
Mereka mendambakan menggabungkan massa Palestina-Arab dalam model China dari perang sipil.
Selain konsep Maoisme, konsep Marxis-Leninisme juga umum ditemukan di kelompok teroris Palestina, terutama di Front Populer Pembebasan Palestina yang dikepalai George Habash.
Konsep ini juga dianut oleh Front Demokrasi Pembebasan Palestina yang dipimpin oleh Naif Hawatme dari Yordania.
Kemudian juga oleh Front Populer Komandan Jenderal Pembebasan Palestina dipimpin oleh mantan Petugas Permesinan Militer Suriah Ahmed Jibril.
Maoisme justru dianut oleh sosok-sosok yang kurang terkenal seperti Munir Shafiq, Muhamad al-Bahays dan Basim al-Tamimi.
Sayang, konsep Maoisme itu justru berubah menjadi konsep terorisme dan penggerak para jihad untuk berupaya mati syahid.
Kemudian selama dekade 1980-an, China mulai meninggalkan diplomasi ideologis tersebut sebagai bagian dari reformasi dan keterbukaan negaranya.
China lantas makin dekat dengan Israel karena teknologi pertahanan Israel tertarik dengan China.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini