Intisari-Online.com - Konflik Indonesia-Belanda 1945-1949 dimulai dengan datangnya kembali Belanda ke Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya.
Saat itu, Belanda tak mengakui kemerdekaan Indonesia dan tetap ingin kembali berkuasa di Tanah Air.
Mereka datang dengan memboncengi Pasukan Sekutu yang hendak melucuti dan memulangkan tentara Jepang di Indonesia pasca berakhirnya Pernag Dunia II.
Serangkaian perlawanan pun dilakukan rakyat Indonesia di berbagai daerah untuk menolak kedatangan NICA (Netherland Indies Civil Administration – pemerintahan sipil Hindia Belanda) di Indonesia.
Robert Wolter Mongisidi merupakan salah satu sosok berani yang ikut melakukan perlawanan di Makassar, Sulawesi Selatan.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Mongisidi bersama Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk pasukan perlawanan rakyat Indonesia di Sulawesi.
Pasukan bernama Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) itu terus menerus mengganggu dan menyerang posisi Belanda.
Hal itupun membuat Belanda mengirimkan pasukan khusus DST dan komandannya, Westerling, untuk memburu Mongisidi dan menumpas pemberontakan di daerah tersebut.
Menurut cerita yang dituturkan Maarten Hidskes, putra Piet Hidskes, anggota DST, dalam buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947 (2018), Westerling memulai operasinya pada 11 Desember 1946.
Kedatangan Westerling mencari para pendukung kemerdekaan yang melawan Belanda. Ia menanyakan siapa saja yang ikut Wolter Mongisidi memberontak.
Di hadapan penduduk, mereka yang dicurigai dan dituduh, ditembak mati di tempat.
Kekejaman itu mengawali operasi Westerling selama tiga bulan ke depan.
Para pria dan pemuda diminta mengakui keterlibatan mereka dalam perlawanan terhadap Belanda.
Di depan keluarga, mereka disiksa sebelum akhirnya ditembaki. Rumah-rumah dibakar dan diledakkan dengan granat.
Pembantaian Westerling, yang sedikitnya menewaskan 40.000 orang, menjadi salah satu tragedi terkelam bangsa Indonesia.
Sementara itu, Mongisidi ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947, namun ia berhasil melarikan diri pada 27 Oktober 1947.
Kemudian Belanda menangkapnya lagi dan kali ini menjatuhkan hukuman mati.
Mongisidi dieksekusi oleh regu tembak pada tanggal 5 September 1949, ketika itu usianya 24 tahun.
Setelah konflik Indonesia-Belanda berakhir dengan Konferendi Meja Bunda dan terjadi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, tubuh Mongisidi dipindahkan ke pemakaman pahlawan Makassar, tepatnya pada tanggal 10 November 1950.
Aksi Mongisidi dianggap kriminal oleh Belanda, namun bagi Indonesia ia adalah sosok pahlawan.
Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973.
Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.
Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, juga menerima penghargaan tersebut.
Berkat jasa-jasanya, dibangun Bandara Wolter Mongisidi di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Selain itu, beberapa nama jalan di penjuru tanah air juga banyak yang memakai nama dirinya.
Kemudian, beberapa moda tempur juga diberi nama dirinya, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Mongisidi dan Yonif 720/Wolter Mongisidi.
Tentang pahlawan Indonesia yang satu ini, ia mempunyai nama panggilan akrab Bote.
Dibesarkan di lingkungan keluarga yang religius, keluarganya selalu menjadikan kitab suci sebagai pegangan hidup.
Wolter Mongisidi adalah anak ke-4 dari 11 bersaudara dari ayah bernama Petrus Mongisidi dan ibu Lina Suawa.
Robert Wolter Mongisidi dilahirkan di pesisir Desa Malalayang, Manado, Sulawesi Utara.
Desa kecil Malalayang adalah desa yang diapit oleh lautan dan rimba belantara.
Di desa itu, Robert Wolter Mongisidi ditempa hingga menjadi seorang anak muda pejuang bernyali tinggi dan tak kenal menyerah.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari