Penulis
Intisari-Online.com - Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, pasukan Belanda kembali datang menandai dimulainya konflik Indonesia-Belanda selama kurang lebih 4 tahun.
Meski Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus1945, rupanya tidak menghentikan keinginan Belanda untuk kembalimenguasai Indonesia.
Masuknya kembali Belanda ke Indonesia terjadi pada bulan September 1945, mereka memboncengi kedatangan Pasukan Sekutu yang hendak melucuti dan memulangkan tentara Jepang di Indonesia.
Serangkaian perlawanan dilakukan rakyat Indonesia di berbagai daerah untuk menolak kedatangan NICA (Netherland Indies Civil Administration – pemerintahan sipil Hindia Belanda) di Indonesia.
Di antara berbagai pertempuran melawan sekutu dan NICA, salah satunya terjadi di Sulawesi Selatan.
Sebuah peristiwa yang dikenal sebagai 'Pembantaian Westerling' terjadi di Sulawesi Selatan pada 11 Desember 1946 hingga 10 Februari 1947.
Itu adalah peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen (DST) di bawah pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling terhadap ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan.
Saat itu, sebanyak 120 orang dari pasukan khusus DST dan komandannya, Westerling, dikirim ke Makassar untuk melaksanakan tugas menumpas pemberontak.
Melansir Kompas.com, Dalam Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar (2010), dijelaskan Belanda hendak mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Makassar sebagai ibu kotanya.
Sementara pemberontak adalah kelompok nasionalis atau republikein, rakyat revolusioner yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut cerita yang dituturkan Maarten Hidskes, putra Piet Hidskes, anggota DST, dalam buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947 (2018), Westerling memulai operasinya pada 11 Desember 1946.
Kedatangan Westerling mencari para pendukung kemerdekaan yang melawan Belanda. Ia menanyakan siapa saja yang ikut Wolter Monginsidi memberontak.
Di hadapan penduduk, mereka yang dicurigai dan dituduh, ditembak mati di tempat.
Kekejaman itu mengawali operasi Westerling selama tiga bulan ke depan.
Para pria dan pemuda diminta mengakui keterlibatan mereka dalam perlawanan terhadap Belanda.
Di depan keluarga, mereka disiksa sebelum akhirnya ditembaki. Rumah-rumah dibakar dan diledakkan dengan granat.
Desa-desa di Sulawesi Selatan didatangi dalam operasi Westerling, termasuk Desa Suppa yang menjadi sasaran pada pertengahan Januari 1947 bersama tempat-tempat lainnya seperti pasar di Parepare, Madello, Abbokongeng, Padakkalawa.
Pembantaian Westerling, yang sedikitnya menewaskan 40.000 orang, menjadi salah satu tragedi terkelam bangsa Indonesia.
Namun, pihak Belanda justru menyelamatkan Westerling ketika hendak diadili. Westerling kabur ke Singapura dan Belgia sebelum pulang ke kampung halamannya di Belanda.
Upaya ekstradisi sejak tahun 1950-an tak membuahkan hasil. Westerling hanya sempat dipenjara selama beberapa minggu di Singapura dan Belanda.
Pada 1954, Dewan menteri menyatakan bahwa Westerling dan komandan perang lainnya tak dituntut. Di Belanda, ia dipuja-puja bak pahlawan. Jumlah korban yang diakui Belanda hanya 2.000.
Belanda sendiri baru mengakui dan meminta maaf atas kejahatan itu 67 tahun setelahnya. Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda lewat Duta Besarnya Tjeerd de Zwaan meminta maaf untuk semua eksekusi-eksekusi tanpa pengadilan di seluruh Nusantara pada periode 1945-1950.
Di tahun 2013, 10 janda yang suaminya menjadi korban eksekusi di Sulawesi Selatan mendapat ganti rugi sebesar 20.000 euro (Rp 296 juta).
Namun tidak semua mendapat ganti rugi karena terbentur status dan masa gugatan.
Bahkan, hingga tahun lalu, keluarga dari korban Pembantaian Westerling masing menuntut keadilan atas apa yang menimpa mereka.
Ialah Andi Monji, seorang kakek berusia 83 tahun, nekat pergi ke Belanda untuk bersaksi di depan pengadilan pada Maret 2020.
Melansir abc.net.au, Andi masih berusia 10 tahun saat dipaksa melihat ayahnya dieksekusi oleh tentara Belanda.
Ayah Andi adalah satu dari lebih dari 200 orang yang dieksekusi mati saat pembantaian desa Suppa, 28 Januari 1947, menurut penuturanpengacara Liesbeth Zegveld.
Baca Juga: Parno dan Sering Panik Bisa Kembali Tenang Cukup dengan Pijat Kaki
Atas tuntutan Andi, Belanda bersedia membayar ganti rugi 10.000 euro (sekitar Rp 168 juta saat itu).
Kasus Andi bukan yang pertama kali ditangani oleh Zegveld.
"Kami telah berhasil mendapatkan ganti rugi dalam bentuk kerusakan moral bagi seorang wanita Indonesia yang diperkosa oleh tentara Belanda selama pembersihan desanya pada tahun 1949, serta untuk seorang pria Indonesia yang disiksa selama di penangkaran Belanda di Belanda pada 1947, "katanya kepada ABC.
"Masa kolonial di negara seperti Belanda, di masa lalu, biasanya ditampilkan sebagai sumber kebanggaan nasional," kata Zegveld. "Saya pikir penting bagi Belanda untuk memperhatikan masa lalu kolonialnya."
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari