Penulis
Intisari-Online.com - Terikat konstitusi pasca-perang, militer Jepang hanya diperbolehkan bersifat defensif meski termasuk militer paling kuat di dunia.
Itu berlaku sejak kekalahannya dalam Perang Dunia II. Di bawah konstitusi tersebut, Jepang tidak diperbolehkan memiliki kekuatan militer ofensif atau menyerang.
Negara ini hanya mempertahankan Pasukan Bela Diri (SDF), yang dibentuk pada tahun 1954. Misinya adalah melindungi daratan Jepang.
Pasal Sembilan konstitusi tersebut secara eksplisit melarang Jepang mempertahankan militer atau menggunakan kekuatan internasional untuk alasan apa pun.
Jepang mendapat perlindungan dari Amerika Serikat di bawah Perjanjian Bantuan Pertahanan Bersama tahun 1954.
Amerika Serikat berjanji untuk melindungi Jepang dengan syarat dapat mendirikan pangkalan militer permanen di tanah Jepang.
Maka, sejak berakhirnya Perang Dunia II, tidak satu pun tentara Jepang terbunuh -atau telah membunuh siapa pun- dalam pertempuran.
Padahal, dulunya tentara Jepang dikenal dengan reputasi yang menakutkan.
Melansir totallyhistory, Selama Perang Dunia II , Tentara Kekaisaran Jepang merupakan kekuatan darat utama Kekaisaran Jepang.
Ia berada bawah komando nominal Kaisar, meskipun dalam banyak kasus Kementerian Perang dan Kantor Staf Umum mengendalikan tindakannya.
Tentara dibubarkan setelah kekalahan Jepang pada tahun 1945, ketika Sekutu melarang negara tersebut untuk membangun kembali angkatan bersenjata konvensional.
Meski demikian sejumlah kecil tentara terus bertempur di daerah terpencil hingga tahun 1970-an.
Dikatakan, mayoritas kematian militer Jepang selama perang justru bukan karena pertempuran, melainkan karena kelaparan atau penyakit.
Kekurangan pasokan mulai menjadi masalah besar ketika gelombang perang di Pasifik berubah selama tahun 1943.
Selain pasokan militer, pengiriman obat-obatan dan makanan sangat terpengaruh.
Angkatan udara pun kehilangan banyak pesawat yang dapat diservis karena suku cadang untuk memperbaikinya tidak tersedia.
Dalam kondisi yang sulit sekalipun, tak membuat Tentara Kekaisaran Jepang menyerah dengan mudahnya.
Misalnya, dalam Pertempuran Saipan. Dari sebuah garnisun dengan kekuatan lebih dari 30.000, hanya sedikit lebih dari 900 orang yang jatuh ke tangan musuh sebagai tawanan perang.
Dalam beberapa kasus, tingkat penyerahan bahkan lebih rendah, seperti di Tarawa, di mana hanya 17 pasukan yang ditangkap dari pasukan berkekuatan 3.000 orang.
Bahkan dalam Pertempuran Okinawa yang jauh lebih besar, hanya di bawah sepuluh persen tentara Jepang menyerah, dengan banyak pria melakukan bunuh diri di medan perang setelah mendapatkan otorisasi kekaisaran untuk melakukannya.
Mereka memiliki reputasi yang menakutkan, bukan hanya karena pengabdiannya yang fanatik dan membuatnya tak mudah menyerah, tapi juga perlakuan brutalnya terhadap non-kombatan dan tahanan.
Setelah perang, lebih dari 5.000 pengadilan kejahatan perang diadakan, dengan banyak perwira dan laki-laki dihukum karena kekejaman yang dilakukan.
Pada tahun 1941, Mayor Jenderal Horii memberi perintah kepada anak buahnya untuk tidak membunuh atau menjarah dari warga sipil, tetapi kejadian ini hanya sedikit.
Banyak pihak berwenang beralasan bahwa tentara berperilaku brutal karena anak buahnya sendiri telah diperlakukan kasar selama wajib militer.
Disiplin melampaui perlakuan manusiawi dan mencakup hukuman seperti tugas yang terlalu berat, makanan yang tidak cukup, dan pemukulan yang kasar.
Pada tahun 1943, para komandan senior Angkatan Darat menyadari bahwa hal tersebut menyebabkan moral yang buruk di antara pasukan mereka.
Namun, arahan mereka untuk mengakhiri praktik semacam itu diabaikan secara luas.
Demikian pula, konsep Jepang tentang kematian yang mulia membuat beberapa komandan bersikeras menuntut menggunakan bayonet, meskipun itu merupakan bunuh diri dan amunisi yang lebih cocok tersedia.
Jepang pun terus berperang bahkan setelah jatuhnya Jerman pada Mei 1945.
Kaisar Hirohito terpaksa menyerah ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus.
Penggantian Konstitusi Jepang yang dibuat setelah kemenangan Sekutu secara tegas melarang penggunaan kekuatan militer Jepang, sebagai upaya untuk menangkal ancaman militerisme. Namun demikian, pada tahun 1947 pasukan Keamanan Umum dibentuk, yang di kemudian hari menjadi Pasukan Bela Diri Darat.
Sementara sejumlah anggota Tentara Kekaisaran Jepang, dalam waktu yang lama menolak untuk menerima legitimasi penyerahan bangsa mereka, dan terus menganggap diri mereka sebagai pihak yang berperang dalam perang aktif. Tentara Kekaisaran Jepang terakhir yang menyerah melakukannya di Filipina dan Indonesia pada tahun 1974.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari