Penulis
Intisari-Online.com - Setelah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sempat terjadi konflik Indonesia-Belanda kurang lebih selama 4 tahun.
Tahun 1945 hingga 1949 itulah menjadi salah satu masa terberat bagi Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Belanda yang pada tahun 1942 telah meninggalkan Indonesia, ingin kembali menguasai bumi pertiwi pasca kemenangan pasukan sekutu dalam Perang Dunia II.
Pemerintah sipil Hindia Belanda (NICA)) kembali datang ke Indonesia dengan memboncengi pasukan sekutu.
Hal itu menimbulkan ketegangan serius di Indonesia yang baru saja merdeka.
Daerah-daerah mulai bergejolak, dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan sejumlah laskar melakukan perlawanan.
Selain melalui perlawanan fisik, upaya penyelesaian konflik Indonesia-Belanda juga dilakukan melalui jalur diplomasi, di mana cara ini juga mendapat penolakan dari rakyat Indonesia yang ingin memperoleh kemerdekaan seutuhnya.
Berkurangnya wilayah kekuasaan Indonesia merupakan dampak dari salah satu upaya diplomasi untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda tersebut. Seperti apa?
Baca Juga: Menjadi Konflik Berkepanjangan, Ini Alasan Belanda Menolak Irian Barat Dimasukkan Wilayah Indonesia
Melansir Kompas.com, pada 15 November 1946, ketegangan antara Indonesia dan Belanda mulai mereda.
Hal itu dibuktikan dengan ditetapkannya Perjanjian Linggarjati antara kedua belah pihak.
Namun, saat itu pula secara de facto keberadaan Indonesia hanya diakui Jawa, Sumatera, dan Kalimantan saja.
Dalam buku Kilas balik Revolusi Kenangan, Pelaku, dan Saksi karya Aboe Bakar Loebis, Kerajaan Belanda tak mengakui Indonesia secara de facto agar Indonesia tak bisa membuka perwakilan-perwakilannya di luar negeri.
Baca Juga: Kekuatan Militer Indonesia di Peringkat Atas, Negara Mana Pemilik Militer Paling Lemah di Asia?
Bertempat di Climus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, pertemuan dilakukan oleh pihak Indonesia dan Belanda.
Perdana Menteri Sutan Sjahrir mewakili Indonesia. Sementara Belanda diwakili Wim Schermerhorn dengan anggota HJ van Mook dan Lord Killearn dari Inggris yang bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Meski berjalan dengan cukup alot, akhirnya perjanjian itu ditetapkan dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Hasilnya adalah Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera, dan Madura.
Kemudian, Indonesia dan Belanda sepakat nantinya akan membentuk Republik Indonesia Serikat.
Wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia bagian timur dibahas kemudian.
Saat itu, muncul pro dan kontra terhadap keputusan yang telah ditandatangani oleh Sjahrir.
Banyak yang menganggap bahwa keputusan ini melemahkan Indonesia, apalagi negara ini baru saja merdeka.
Maka dari itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1946 yang bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk mendukung hasil Perjanjian Linggarjati.
Walau sebenarnya perjanjian ini begitu merugikan Indonesia, tetapi banyak yang beranggapan bahwa jalur diplomasi merupakan cara terbaik.
Keputusan ini tak bisa diterima oleh beberapa rakyat di berbagai daerah. Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai melakukan penyerangan terhadap Belanda yang dikenal dengan "Puputan Margarana" atau perang sampai titik darah penghabisan.
Namun, tak ada setahun setelah perjanjian itu, pada 20 Juli 1947 Belanda melanggar isi semua perjanjian itu sehingga meletuslah Agresi Militer I.
Selain mengecilnya wilayah kekuasaan Indonesia secara de facto, yang dianggap sebagai dampak negatif Perjanjian Linggarjati di antaranya:
Setelah Agresi Militer I, konflik Indonesia-belanda kemudian kembali diselesaikan lewat jalur perundingan Perjanjian Renville. Namun, lagi-lagi banyak hasil perjanjian Renville yang merugikan pihak Indonesia.
Bahkan, kemudian Belanda kembali melancarkan serangan yang dikenal sebagai Agresi Militer II. Akibatnya, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, dan akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI.
Perjanjian Roem Royen dilakukan setelah Agresi Belanda II dan dilanjutkan dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mengantarkan Indonesia kepada pengakuan kedaulatan oleh Belanda.
Hasil dari KMB adalah pengakuan kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, namun Papua bagian barat menjadi pengecualian yang kemudian menjadi rangkaian konflik lainnya.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari