Advertorial

Jakarta Banjir Awal Tahun 2020, Ternyata Jakarta Sudah Berlangganan Banjir Sejak Dekade Pertama Abad 20

K. Tatik Wardayati

Editor

Kota lama ini cuma hidup beberapa jam sehari, yaitu saat jam kerja. Begitu gemuruh trem terakhir meninggalkannya, ia kembali sunyi dan mati.
Kota lama ini cuma hidup beberapa jam sehari, yaitu saat jam kerja. Begitu gemuruh trem terakhir meninggalkannya, ia kembali sunyi dan mati.

Intisari-Online.com – Banjir yang melanda sebagian besar Jakarta di awal tahun 2020 menyisakan banyak duka bagi sebagian warga yang mengalaminya.

Tidak hanya kerugian materiil saja, tapi kesehatan mental para korbannya pun dipertaruhkan.

Apakah banjir di Jakarta hanya dialami sekarang ini saja?

Nyatanya, sejak dekade pertama di abad 20 Jakarta pun sudah berlangganan banjir.

Baca Juga: Gegara Cuci Piring di Sungai Setelah Banjir, Pria Ini Mendadak Kaya setelah Air yang Menggenangi Rumahnya Surut, Kok Bisa?

Bagaimana wajah Jakarta dan penduduknya pada dekade pertama abad XX? Ternyata seperti dunia lain bagi kita, walaupun ada juga hal-hal yang masih sama dengan sekarang.

Kita ikuti saja kesan-kesan Augusta de Wit, seorang wanita Eropa yang mendarat di Tanjungpriok pada awal abad ini dari bukunya Java, Facts and Fancies (1921).

Bukunya dicukil oleh Helen Ishwara dan dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1999, dengan judul asli: Jawa: Negeri Dongeng dan Rumah Bahagia.

Baca Juga: Bersih-Bersih Setelah Banjir Surut, Roy Marten Temukan Ular Lengkap 7 Ekor di Rumah Mewahnya, Rupanya Penyebabnya Adalah Hal Ini

Yang disebut "kota" adalah Batavia lama. Penampilannya kelabu, suram, dan tidak berjiwa, seperti kota-kota Eropa yang menjadi korban perang.

Memang "kota" ini didirikan sebagai benteng pada tahun 1620 di reruntuhan Jacatra.

Kini sudah tidak ada lagi tentara di sana. Rumah-rumah megah gaya Belanda abad XVII sudah kehilangan pamornya dan berubah menjadi kantor atau gudang.

Kota lama ini cuma hidup beberapa jam sehari, yaitu saat jam kerja. Begitu gemuruh trem terakhir meninggalkannya, ia kembali sunyi dan mati.

Baca Juga: Buat yang Rumahnya Kebanjiran, Ini Cara Cegah Jamur Timbul pada Bagian Rumah yang Kebanjiran

Kehidupan sudah bergeser ke selatan. Di sini terdapat jalan-jalan besar yang diapit oleh deretan rumah-rumah berhalaman luas.

Untuk menandai batas halaman dari jalan, tidak didirikan tembok pemisah, cukup tonggak-tonggak batu rendah.

Rumah-rumahnya berwarna putih dan memakai pilar-pilar. Letaknya jauh dari jalan. Sementara itu di halaman tumbuh tanaman bunga-bungaan dan pepohonan yang meneduhi jalan dan halaman itu sendiri.

Lapangan yang paling terkehal di Batavia adalah Koningsplein (Medan Merdeka - Red.) yang berbentuk trapesium di depan kediaman gubernur jenderal. Kelilingnya ditanami tiga deret pohon asam.

Baca Juga: Awal Tahun Jakarta Banjir Lagi, Ini Dia Sejumlah Wilayah yang Banjir Dari Jakarta Hingga Bekasi

Di lapangan itu kita bisa melihat ternak kurus-kurus sedang merumput. Kadang-kadang ada ular dan tonggeret menyelinap di rerumputan.

Di musim kemarau, lapangan itu botak dan coklat. Tanahnya. pecah-pecah. Kemudian tibalah musim hujan.

Air seakan-akan dicurahkan dari langit. Jalah-jalan dan rumah-rumah kebanjiran.

Namun, pohon-pohon yang meranggas bertunas lagi, dan lapangan itu tiba-tiba saja berselimut rumput hijau.

Baca Juga: Waspadai Ancaman Leptospirosis, Penyakit yang Kerap Muncul Pascabanjir, Kenali Gejalanya dan Pencegahannya!

Miskin tapi bahagia

Rijswijk (Jl. Majapahit - Red.), Noordwijk(Jl.Ir.H. Juanda), dan Molenvliet (Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk) merupakan daerah perdagangan di Batavia yang kesannya lebih Eropa daripada Koningsplein. Namun, ada juga unsur Jawanya.

Sejajar dengan Noordwijk ada kanal yang mengingatkan pada gracht di Amsterdam. Airnya hijau kecoklatan. Di atas kanal itu ada jembatan-jembatan.

Di kanal itu perahu-perahu membawa barang dan menyeberangkan orang. Perahu itu memiliki bagian yang beratap.

Baca Juga: Sebut-Sebut Sampah Sebagai Penyebab Banjir Jakarta, Jokowi Ditampik Gubernus Anies Baswedan,

Pemilik dan keluarganya tidur dan memasak di perahu. Ada juga rakit-rakit bambu yang ujungnya mencuat ke atas.

Wanita-wanita pribumi yang rambutnya hitam lebat, panjang, dan masih basah sehabis mandi di kanal, naik ke tepi.

Sementara itu para penjaja makanan mangkal di bawah pohon asam yang tumbuh sepanjang kanal. Ada yang berjualan kue, buah, maupun minuman manis.

Di sisi jalan terdapat bungalow-bungalow berkapur putih dan memiliki kebun. Kebunnya tidak subur dan jalannya berdebu.

Baca Juga: Banjir Tak Surut-surut, Jakarta Diprediksi Tenggelam pada 2050, Ini Solusi yang Diberikan Ilmuwan PBB Untuk Selamatkan Jakarta

Di pojok-pojok jalan ditemukan sado. Kusirnya memakai semacam rompi berbunga-bunga. Tiap seperempat jam lewat trem uap dengan suara bising di sepanjang kanal.

Gerbong kelas tiga "kereta setan" itu penuh sesak dengan penduduk pribumi.

Anak-anak pribumi di tempat ini selalu berbahagia. Padahal mereka tidak mempunyai mainan dan tampaknya juga tidak mempunyai permainan.

Paling-paling mereka kecebar-kecebur di kali, menguntai bunga tanjung untuk dipakai sebagai kalung, atau mengikat kaki belakang kecoak dengan tali.

Baca Juga: Mainan Ponsel di Tengah Banjir, 2 Orang Ini Lolos dari Maut Setelah Tembok di Atas Kepala Mereka Mendadak Runtuh Diterjang Arus Deras

Mereka juga telanjang. Namun, seperti orang tua mereka, walaupun kekurangan dan tampaknya tidak memiliki alasan untuk berbahagia, kenyataannya mereka puas.

Pecinan

Kalau kita mengikuti kanal ke arah pintu air dan melewati bangunan kantor pos yang buruk, kita akan tiba di jembatan Kampung Baru (Pasar Baru - Red.).

Kalau kita menyeberang jembatan itu, tiba-tiba kita seakan-akan masuk ke dunia lain.

Baca Juga: Hadapi Banjir, Inilah 8 Tips dan Pantangan yang Perlu Anda Lakukan Untuk Mencegah Penyakit

Jalan yang lebar di sini diapit oleh rumah-rumah yang tinggi dan sempit. Atap gentengnya yang merah seakan-akan menantang langit yang biru lazuardi.

Jalannya ramai dilewati oleh gerobak dan orang yang berlalu-lalang dengan gesit. Inilah Pecinan.

Di Batavia ada tiga atau empat Pecinan yang cuma dihuni oleh orahg-orang Tionghoa.

Sekarang mereka memang memilih untuk tinggal berkelompok. Namun, sebenarnya kebiasaan ini peninggalan zaman Gubernur Jenderal Valckenier.

Baca Juga: Selain Rawan Bahaya Listrik, Saat Musim Banjir Seperti Ini Rawan Muncul Penyakit Akibat Kencing Tikus Dan Kesehatan Mental. Ini Cara Menghindarinya

Waktu itu gubernur jenderal membatasi kedatangan orang-orang Tionghoa yang miskin.

Walaupun niatnya baik, pelaksanaannya buruk, sehingga timbul kabar bahwa pemerintah akan mendeportasi penduduk Tionghoa, juga yang tinggal di Batavia.

Terjadilah kepanikan yang menghantar ke pemberontakan di seluruh Jawa.

Orang Belanda berhasil menumpas pemberontakan itu dengan menelan banyak korban. Orang-orang Tionghoa melarikan diri ke daerah sekitar Batavia.

Baca Juga: Dari Gereja Katedral Hingga Pasar Senen, Inilah Jejak Wajah Batavia Tempo Doeloe

Beberapa bulan kemudian pemerintah memberikan amnesti umum.

Sisa penduduk Tionghoa yang masih hidup ditempatkan dalam kawasan khusus, supaya mudah dilindungi maupun dikendalikan.

Tempat itu kira-kira seperti ghetto untuk orang Yahudi di Italia pada Abad Pertengahan. Sejak itu mereka tinggal di sana.

Mereka itu terdiri atas jutawan yang bisa menjamu perwira dan pejabat pemerintah di rumahnya yang megah dan penuh hiasan, ada pula penjaja keliling yang sepanjang hari menelusuri jalan untuk menawarkan benang dan sabun yang dibawa dalam buntelannya sambil tak henti-hentinya membunyikan "klontong"-nya.

Baca Juga: Diboikot Mataram, Kompeni di Batavia Terancam Kelaparan, Tapi Malah Selamat Berkat Sulap

Walaupun yang satu bergelimang harta sedangkan yang lain morat-marit, namun jiwa dan sikap hidup mereka sama.

Mereka hidup untuk berdagang. Seorang Tionghoa berdagang dengan seluruh hati dan jiwanya.

Sejak dilahirkan sampai dikuburkan, saat makan, saat bersantai, saat mengisap madat, dan di kelenteng sekalipun, mereka tidak pernah melepaskan dirinya dari perdagangan.

Lain dengan orang Barat. Kalau orang Barat berdagang, maka mereka menjadi pedagang cuma beberapa jam sehari, di kantornya.

Baca Juga: Banjir Jakarta Sampai Muncul Peringatannya di Google Maps, Tandanya Berbentuk Seperti Ini, Ini Himbauan BMKG Untuk Seluruh Rakyat Indonesia

Bagi orang Tionghoa, perdagangan adalah unsur di mana mereka hidup, bergerak, dan bereksistensi.

Dunia baginya adalah kesempatan luas untuk menghasilkan uang. Semua yang ada di dunia bisa diperdagangkan, dipakai mencari untung. Orang lain boleh rugi, mereka mesti untung.

Kebutuhan hidupnya sangat terbatas, modalnya juga, tetapi keyakinannya besar. Tidak heran kalau mereka sukses.

Mulai sebagai penjaja keliling

Baca Juga: Sejarah Mencatat Banjir Tokyo Lebih Parah Dari Jakarta, Sampai Pernah Mengalami Penurunan Daratan Mencapai 365 Meter, Apakah Gorong-Gorong Tokyo Setara Rp 30 Triliun Itu Bisa Ditiru Indonesia?

Ketika baru mendarat di Tanjungpriok, seorang Tionghoa biasanya mulai menjadi penjaja keliling. Dengan bertelanjang kaki ia menggendong buntelan berisi sabun, benang jahit, sisir, dan korek api.

Beberapa bulan kemudian, kita akan melihatnya di halaman rumah kita, dikelilingi seluruh pembantu rumah tangga kita. Saat itu ia sudah berjualan sarung dan cita.

Setahun berlalu. Kita melihatnya berjalan diikuti seorang kuli yang memikul barang-barang banyak sekali. Dengan sopan ia akan menawarkan barang-barang itu kepada kita.

Kalau kita sabar sedikit mengikutinya, kita akan sempat melihat ia membuka warung kecil yang cuma dilengkapi sebuah bangku dan sepotong kaca di dinding. Sementara itu di sekelilingnya ada segala macam barang dagangan.

Baca Juga: Korban Banjir Jakarta Semakin Banyak, Bayi Ini Nyaris Menjadi Korban Seperti Ibunya Jika Tidak Diselamatkan Warga, Kondisinya Bikin Ngeri

la tidak puas hanya dengan memiliki waning. Beberapa tahun kemudian dia sudah berdiri di belakang gerai sebuah toko di Pecinan.

Kalau kita sempaf memandang istrinya sekilas, kita akan heran melihat betapa besarnya intan-intan di tusuk sanggul wanita itu. Si penjaja keliling sudah merintis jalan ke kemakmuran sekarang.

Sebelum mencapai umur 50 tahun, ia sudah memiliki rumah besar yang terpisah dari tokonya.

Rumah yang mempunyai altar untuk memuja para dewa dan moyangnya, rumah yang penuh perabot berukiran halus dan bercat keemasan.

Baca Juga: 5 Banjir Bandang Paling Mematikan dalam Sejarah yang Renggut Nyawa Jutaan Orang dan Sebarkan Penyakit Menular, Ada yang Berlangsung 6 Bulan

Kalau kebetulan Anda datang bersama istri, ia akan memperkenalkan istri Anda kepada istrinya-yang bertaburkan intan dan berpakaian warna-warni.

Dia akan menceritakan kepada Anda perihal pemakaman ayahnya yang menelan biaya lebih dari 3.000 ponsterling.

Lalu dia akan meminta saran Anda perihal sampanye dan juga rencananya mengirim putranya ke Eropa dengan salah satu dari sekian banyak kapalnya. Setelah putranya melihat dunia, ia akan memasukkannya ke Universitas Leiden.

Mesti mandi setiap hari

Baca Juga: Tagar #AniesGabisakerja Beredar, Anies Baswedan Tuai Kritikan Akibat Banjir Sampai Fahri Hamzah Sebut Lebih Mudah Diselesaikan Presiden, Seperti Apa?

Batavia yang panas, orang-orang Belanda mulanya membuat rumah bertingkat di tepi kanal seperti di tanah airnya.

Mereka juga mempertahankan mantel dan pakaian beludrunya, tidak peduli matahari luar biasa teriknya. Tidak heran kalau sedikit saja yang bisa pulang selamat ke Belanda.

Kemudian mereka insaf bahwa di negeri yang panas ini, yang mereka perlukan adalah rumah yang teduh dan sejuk.

Jadi mereka membuat bungalow, bukan rumah bertingkat. Kelilingnya kerap diberi beranda supaya teduh.

Baca Juga: Banjir Jakarta di Awal 2020: Tanah Jakarta Turun 4 Meter dalam 40 Tahun dan Diprediksi Jadi Kota Pertama di Dunia yang Akan Tenggelam, Simak Penjelasannya

Untuk memasuki rumah, kita menaiki beberapa anak tangga dulu, lalu kita tiba di serambi yang disangga pilar-pilar.

Melalui pintu di tengah yang sepanjang hari terpentang, kita masuk ke sebuah ruangan yang di kiri-kanannya terdapat jajaran kamar-kamar tidur.

Ruang ini menuju ke serambi belakang yang lebih lebar dari serambi depan. Kebanyakan orang duduk-duduk di sini. Meja makan pun diletakkan di sini.

Serambi ini menghadap ke kebun belakang yang ketiga sisinya dikelilingi bangunan. Ada bangunan tempaat tinggal para pembantu bersama keluarganya, ada dapur dan gudang, ada kamar mandi dan istal.

Baca Juga: Catat, Ini Dia 13 Kelurahan di Jakarta Yang Diprediksi Akan Direndam Banjir Kiriman, Anies Baswedan: Kalau Disuruh Evakuasi Jangan Bilang Nanggung!

Ada lagi bangunan tambahan yang disebut paviliun untuk tamu menginap. Supaya terasa sejuk, lantai rumah yang terbuat dari marmer tidak diberi karpet. Tempat duduk pun dibuat dari kayu dan anyaman rotan, bukan dari bludru.

Demi kesejukan pula, di sini orang sudan bangun pukul setengah enam atau paling lambat pukul enam pagi. Siang hari, saat sedang panas-panasnya, orang sembunyi di kamar untuk tidur.

Mandi beberapa kali sehari adalah keharusan. Kalau tidak mandi, artinya tidak sopan. Mandi di Hindia berbeda dengan mandi di Eropa.

Kita mengguyur badan dengan bergayung-gayung air. Memang suatu kenikmatan buat jiwa dan raga. Kamar mandinya besar dan sejuk, terpisah dari bangunan utama.

Baca Juga: Ikut Kebanjiran, Yuni Shara Berpose di Genangan Air Sementara Lampu Rumah Menyala, Awas Bahaya Listrik Saat Banjir, Begini Cara Antisipasinya!

Celana monyet

Seperti halnya dengan rumah, pakaian Eropa memang menyiksa di daerah tropis. Hal ini saya sadari setelah dua minggu di sini.

Saya jadi mengerti mengapa mereka memakai pakaian longgar, dan tipis gaya pakaian penduduk asli yang dimodifikasi itu. Walaupun aneh, tapi sejuk.

Harus diakui bahwa dengan pakaian itu orang-orang Belanda di Hindia lebih sehat daripada orang-orang Inggris yang mempertahankan pakaian Eropa di koloni mereka.

Anak-anak orang Belanda di Hindia. lebih terbuka lagi pakaiannya. Mereka mengenakan pakaian yang disebut penduduk Melayu celana monyet.

Pakaian yang cuma sepotong itu tidak cukup untuk menutupi badan. Leher, lengan, dan tungkai dibiarkan telanjang. Walaupun jelek, anak-anak senang memakainya.

Anak-anak Hindia tidak terpisahkan dari babu. Pengasuh pribumi itu pelindung jiwaraga si anak, seakan-akan malaikat pelindung saja. Sepanjang hari babu menggendong anak asuhannya dengan selendang.

Babu bahkan tidak mengizinkan ibu si anak mengambil anak itu daripadanya. Dialah yang menyuapi, memandikan, mendandani, mengajak berjalan-jalan, dan selalu siap mendekap si anak supaya merasa aman.

Ia mengajak anak asuhannya bermain bukan karena kewajiban, tetapi karena ia memang menikmatinya.

Baca Juga: Bukannya Menderita, Warga yang Terkena Banjir di Wilayah Ini Justru Malah Mendadak Kaya Raya, Ternyata Ini Berkah yang Mereka Peroleh

Di dalam hatinya ia masih seorang anak. Kadang-kadang mereka bertengkar. Si anak membanting-banting kaki dan si babu memarahi, "Terlalu!"

Malam hari ia mengeloni si kecil sambil meninabobokannya dengan melodi berkunci minor yang monoton.

Setelah anak-asuhannya terlelap, ia menggelar tikar di depan ranjang dan rebah menjaga majikan kecilnya dengan setia.

Artikel Terkait