Advertorial
Intisari-online.com -Banjir Jakarta sampai saat ini belum surut juga.
Sudah banyak berita mengenai korban yang meregang nyawa terus bertambah baik karena tersengat listrik maupun akibat hal lain.
Jangan dilupakan, kondisi banjir banyak juga penyakit yang mengintai.
Salah satunya adalah penyakit leptospirosis disebabkan oleh kencing tikus.
Leptospirosis dapat masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir, mata hidung, kulit yang sedang lecet, maupun makanan.
Gejala penyakit yang disebabkan kencing tikus ini adalah menggigil, batuk, diare ataupun sakit kepala yang tiba-tiba.
Kemudian timbul juga gejala nyeri otot, hilang nafsu makan, mata merah dan iritasi hingga nyeri otot.
Kementerian Kesehatan menghimbau untuk menghindari leptospirosis penting untuk menjag kebersihan diri saat musim hujan dan banjir terjadi.
Hidup bersih mulai dengan mencuci tangan dan kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun dan air mengalir, terutama saat beraktivitas ditempat yang identik dengan bersarangnya tikus seperti selokan maupun dek rumah usai memperbaiki jaringan listrik.
Gunakan juga sepatu dari karet berukuran tinggi dan sarung tangan karet bagi yang tinggal di daerah rawan banjir dan juga bagi kelompok pekerja yang beresiko tinggi leptospirosis seperti petugas kebersihan.
Kemudian basmi tikus di rumah atau di kantor dengan desinfektan bagian-bagian dari rumah, kantor atau gudang yang diindikasi bekas kuncing tikus.
Karena leptospirosis bisa tertular lewat makanan juga simpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus. (Apfia Tioconny Billy)
Ada satu lagi penyakit yang luput dari perhatian, yaitu penyakit kesehatan mental.
Dilansir dari Kompas.com, lewat sebuah utas di akun Twitter, Mindfulness practitioner & emotional healing Adjie Santosoputro menuliskan bahwa dampak banjir tak sebatas masalah kesehatan fisik, namun juga mental.
"Banjir juga memberikan dampak terhadap kesehatan mental. Apa kamu sudah tahu akan hal ini?" tulisnya, Kamis (2/1/2020).
Lebih luas, masalah kesehatan mental sebetulnya juga mengintai para korban bencana alam lainnya.
Salah satu penyebabnya adalah kenyamanan yang selama ini ada terganggu dengan datangnya bencana tersebut.
Termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok seperti makan, minum, air, rumah, pakaian, dan lainnya.
Kondisi itu pada akhirnya memunculkan rasa panik pada sebagian orang yang terdampak bencana.
Adjie turut menyitir pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang pernah menyebutkan bahwa rasa cemas juga dialami para korban bencana alam karena mereka lebih rentan terhadap sejumlah penyakit.
Dari bencana banjir, misalnya, beberapa penyakit umum yang dialami seperti demam, tifus, kolera, dan lainnya.
"Karena berpotensi terkontaminasi penyakit ini, jadi muncul pula rasa cemas yang berlebihan," kata Adjie.
Rasa takut di antara mereka semakin besar karena kondisi itu membuat sebagian dari mereka harus mengungsi dari rumahnya yang terdampak banjir.
Padahal, rumah selama ini dianggap sebagai tempat yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman.
Meski tidak mengungsi, sebagian dari mereka yang masih bisa berdiam di rumah terpaksa gelap-gelapan karena aliran listrik dimatikan demi keamanan.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat yang sehari-harinya terkoneksi dan berinteraksi.
"Jadi semakin lama hidup tanpa listrik, apalagi malam yang gelap, akan semakin memunculkan rasa kesepian, terisolasi, keterasingan," tambahnya.
Rupanya dampak terhadap kesehatan mental juga mungkin dirasakan oleh mereka yang bahkan tak terdampak, namun tetap merasa cemas dengan kondisi lingkungan saat ini.
Adjie turut menyebut istilah "eco-anxiety" untuk menggambarkan perasaan cemas tersebut.
"Kecemasan biasanya muncul kan karena ingin memastikan sesuatu. Nah eco-anxiety itu kecemasan karena kondisi lingkungan, iklim yang akhir-akhir ini semakin enggak pasti, berubah tak menentu," katanya.
Dampak bencana terhadap kesehatan mental sebelumnya juga didalami lewat sebuah studi yang dilakukan oleh University of York bersama National Centre for Social Research.
Penelitian menemukan, bahwa risiko kesehatan mental karena kerusakan cuaca yang berdampak pada rumah kita mirip dengan risiko kesehatan mental karena tinggal di daerah yang kurang beruntung.
Apalagi jika orang-orang yang rumahnya rusak tersebut mesti meninggalkan rumahnya akibat bencana.
Para peneliti menemukan, orang-orang yang mengalami kerusakan rumah akibat badai dan banjir sekitar 50 persen lebih mungkin untuk mengalami kesehatan mental yang lebih buruk.
Bagaimana mengatasinya?
Risiko bencana alam tidak akan bisa sepenuhnya dihilangkan.
Itulah mengapa penting bagi kita untuk tahu cara melindungi diri sendiri ketika bencana melanda.
Selain itu, para peneliti dari University of York menyimpulkan, penting pula agar pemerintah setempat dalam perencanaan darurat untuk cuaca ekstrem perlu memasukkan dukungan kesehatan mental untuk orang-orang yang terdampak.
Sementara itu, Adjie menambahkan bahwa salah satu cara merawat kesehatan mental di kondisi tak menentu, seperti ketika sedang dilanda bencana adalah dengan menghangatkan kembali hubungan antar-manusia.
"Manusia, kita ini adalah makhluk sosial. Bahkan ada yang bilang: ultra social. Jadi ya kita membutuhkan hubungan yang baik, kehadiran orang lain," tulisnya. (Nabilla Tashandra)
Artikel ini merupakan artikel agregasi. Ini berita asli (Tribunnews) dan (Kompas)