Advertorial
Intisari-Online.com – Sebuah kota tidak dibangun dalam sehari. Setiap tempat dan namanya memiliki sejarah. Jakarta pun demikian.
Sejarah mencatat, tanggal 22 Juni 1527, hari kemenangan Fatahillah atas jatuhnya Sunda Kelapa dari tangan Portugis, atau 492 tahun lalu sebagai hari lahirnya Kota Jakarta.
Mengetahui sejarah tempat-tempat di ibukota mungkin diperlukan untuk menambah kecintaan warga akan kotanya.
Berikut ini tulisan yang diambil dari Majalah Intisari edisi Juni 2001, dengan judul asli Jejak Wajah Batavia.
Baca Juga: Diboikot Mataram, Kompeni di Batavia Terancam Kelaparan, Tapi Malah Selamat Berkat Sulap
Dari Sunda Kelapa ke Batavia
Terletak di sisi paling utara Jakarta, di daerah Pasar Ikan, Pelabuhan Sunda Kelapa hingga kini masih disinggahi kapal-kapal niaga dari berbagai daerah.
Kira-kira seperti apakah wajah Batavia dahulu?
Pada 30 Mei 1619, melalui peperangan dan diakhiri dengan perjanjian, Pangeran Jayakarta akhirnya menyerah kepada VOC di bawah J.P. Coen. Sunda Kelapa dan Jayakarta lalu diubah menjadi Batavia.
Pelabuhan Sunda Kelapa, yang merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal asing yang datang ke Batavia, diubah namanya menjadi Pelabuhan Batavia.
Baca Juga: Pesona Janda-janda Muda di Batavia, Lebih Menarik Ketimbang Gadis Perawan
Masa itu pelabuhan hanya sebagai tempat persinggahan. Kapal-kapal besar tidak bisa merapat sampai dermaga, tetapi hanya sampai Pulau Onrust, salah satu pulau di Kepulauan Seribu.
Para awak kapal dan penumpang menggunakan sekoci untuk mencapai pelabuhan. Ketika itu, tampak di sebelah timur, Kastil Batavia yang didirikan J.P. Coen sebagai benteng perlindungan kota.
Sayang, kini sudah tidak terlihat lagi sisa-sisa bangunannya karena dibongkar oleh Daendels, penguasa selanjutnya.
Tetapi, masih ada sisa bangunan lain yang dapat-dilihat sampai sekarang. Tak jauh dari pelabuhan, tampak Museum Bahari. Dulu bangunan itu merupakan salah satu bagian dari kompleks pergudangan besar yang dibangun tahun 1652.
Baca Juga: Duh, Istilah Hidung Belang Ternyata Lahir Karena Kasus Gubernur Batavia Pieterzoon Coen
Terletak di tepi Kali Ciliwung, kompleks pergudangan bernama Westzijdse Pakhuizen itu adalah tempat VOC menyimpan segala persediaan cengkeh, pala, dan hasil bumi lain yang akan diekspor ke Eropa.
Di belakangnya dahulu berdiri Bastion Culemborg (benteng pertahanan), bagian dari tembok perlindungan kota, yang dibangun pada 1645.
Di seberang museum terdapat Gedong Galangan VOC yang sudah direstorasi dan kini menjadi restoran dan kafetaria, bahkan untuk mengadakan pesta. Meski dulu merupakan bagian dari kompleks gedung-gedung di sekitar pelabuhan, gedung ini digunakan sebagai galangan kapal.
Ada lagi Taman Fatahillah, yang dahulu taman kota dan letaknya tepat di depan Gedung Balai Kota, pusat pemerintahan pada masa VOC.
Baca Juga: Keberadaan Rumah Bordil saat Batavia Batu Berdiri
Selesai dibangun tahun 1710, gedung bertingkat ini dinilai sebagai karya arsitektur kolonial Belanda paling bagus di zamannya. Sejak 1974 ia dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah).
Taman Fatahillah hingga kini masih dikepung gedung kokoh dengan arsitektur Eropa, antara lain Gedung Kantor Pos dan Kafe Batavia di utara, Museum Keramik (dulu Kantor Pengadilan Negeri) di timur, serta Museum Wayang di barat.
Museum Wayang, dulunya bangunan gereja Protestan Nieuwe Hollandsche Kerk yang diresmikan tahun 1736. Sebelumnya, tempat itu merupakan gereja lain, tempat J.P. Coen beserta 18 orang gubernur jenderal Hindia Belanda lainnya dimakamkan.
Gedung-gedung di kompleks Kota Tua Batavia kini menjadi saksi adanya kebudayaan Eropa di Indonesia di masa silam, dan merupakan tempat wisata kota yang kerap dikunjungi wisatawan mancanegara.
Baca Juga: Sambut HUT Jakarta, Besok 21 Juni Masuk Ancol Gratis, Catat Syaratnya
Molenvliet – Weltevreden dan yang tersisa
Yang tak kalah menarik adalah Molenvliet, sekarang daerah Jln. Gajah Mada dan Jln. Hayam Wuruk. Daerah pusat perdagangan yang kini selalu hiruk pikuk itu, dahulu merupakan bagian kota paling indah.
Seorang Prancis yang pernah berkunjung ke Batavia menulis kira-kira seperti ini, "Jalan ini termasuk jalan paling bagus yang dapat disaksikan. Semua jalan menuju Molenvliet itu dihiasi istana-istana indah, kediaman-kediaman anggota Dewan India, pegawai-pegawai dari Compagnie (VOC - Red.), dan pedagang-pedagang paling kaya.”
Memang, waktu itu rumah-rumah indah di tengah kebun rindang dan pekarangan berbunga, terletak di sisi Sungai Ciliwung yang ramai dilalui perahu.
Baca Juga: Ditinggal Separuh Penduduknya, Begini Penampakan Jakarta di Lebaran 2019
Untunglah, masih tersisa satu rumah, yakni Gedung Arsip Nasional di Jln. Gajah Mada no. 111.
Bangunan bercorak dan bergaya Renaissance Holland itu dibangun tahun 1760 oleh Reynier de Klerk, anggota Dewan India di zaman VOC, yang kemudian diangkat menjadi gubernur jenderal (1777).
Antara tahun 1924 dan awal 1990, gedung itu dipakai untuk menyimpan arsip nasional. Namun, sejak 1990, gedung itu digunakan juga untuk pameran.
Bahkan pada tahun 1995, dengan dibiayai sekelompok pengusaha Belanda yang mendirikan sebuah yayasan, Gedung Arsip Nasional direstorasi dan sekarang telah kembali megah, disewakan untuk berbagai acara sosial dan juga untuk acara-acara umum, seperti pesta pernikahan.
Baca Juga: Jakarta 492 Tahun: Perubahan Iklim dan Ancaman Kesehatan Metropolitan
Lepas daerah Molenvliet ke arah timur, terdapat daerah yang dahulu dikenal dengan Noordwijk (Jln. Ir. H. Juanda), sebuah jalan menuju ke Pasar Baru, melewati Gang Pecenongan, Pintu Air, dan bangunan neogotik, Gereja Katedral yang mulai dibangun pada 1891.
Gedung Kesenian yang merupakan gedung tempat pentas acara kesenian berada di tikungan jalan selanjutnya.
Gedung yang dulu bernama Schouwburg (diresmikan tahun 1821) itu telah dipugar dan mulai digunakan kembali tahun 1989. Gedung ini pernah dipakai oleh Komite Nasional, pelopor DPR, sekitar era kemerdekaan.
Sebuah lapangan luas yang masih terlihat sekarang adalah Buffelsveld alias Lapangan Banteng. Dahulu lapangan itu tempat tentara-tentara berbaris dan berparade, sehingga juga dikenal sebagai Paradeplein atau, nama kerennya, Champ de Mars.
Baca Juga: Jakarta 492 Tahun: Perubahan Iklim dan Ancaman Kesehatan Metropolitan
Lapangan Banteng juga pernah disebut sebagai Waterloo Plein, memperingati peristiwa dikalahkannya Napoleon oleh gabungan pasukan Inggris, Jerman, dan Belanda di tahun 1815.
Di lapangan itu pernah dibangun sebuah monumen seekor singa di atas sebuah kolom yang, ditempatkan di tengah lapangan.
Sayang, monumen itu dihancurkan oleh penguasa Jepang, ketika Perang Dunia II berkecamuk.
Daerah ini masih bagian dari Weltevreden (yang artinya "sungguh puas"), daerah yang semula berawa dengan semak belukar lebat milik Anthony Paviljoen (1648), yang kemudian dipindahtangankan kepada Cornelis Chastelein.
Dari Chastelein daerah ini dibeli oleh seorang kaya raya, Justinus Vinck, yang kemudian mendirikan Pasar Weltevreden dan Pasar Tanah Abang.
Setelah Vinck meninggal, tanah itu dijual kepada Gubernur Jenderal Jacob Mossel yang selanjutnya mendirikan gedung besar, Landhuis Weltevreden.
Jalan lurus menuju gedung itu banyak ditanami pohon rindang yang dipangkas rapi. Entah kenapa, jalan itu kini dikenal dengan nama Gang Kenanga.
Weltevreden merupakan pengembangan Kota Batavia dengan batas-batas di sebelah timur Jln. Gunung Sahari - Senen - Kramat, di sebelah selatan Jembatan Kramat hingga Jin. Prapatan, di sebelah barat Sungai Ciliwung, dan di sebelah utara Jln. Pos dan Jln. Dr. Sutomo.
Baca Juga: Jika Rencana Pemindahan Ibu Kota Indonesia Terjadi, Bagaimana Nasib Jakarta?
Weltevreden kemudian menjadi pusat pemerintahan dan permukiman, sementara perkantoran perusahaan, dan perdagangan tetap di Kota Lama.
Sejak masa pemerintahan Daendels (1808 - 1811) Weltevreden dijadikan ibukota baru. Kala itu, Inggris di bawah Raffles sempat menguasai Batavia (1811 - 1-816) sebelum ia memperoleh Pulau Singapura.
Daendels juga membangun Societeit de Harmonie (gedung cantik yang bernasib tragis tergusur demi "kemajuan zaman") di pertemuan Jln. Majapahit dan Jln. Veteran.
Senen - Pasar Senen
Baca Juga: Jika Jokowi Putuskan Ibu Kota Pindah ke Luar Jawa, Kekhususan Pemerintahan Jakarta Akan Hilang
Daerah ini dahulu merupakan perkampungan masyarakat Tionghoa yang pekerjaan utamanya berdagang di daerah Pasar Weltevreden. Pada masa itu, di kawasan Weltevreden dan Tanah Abang banyak perkebunan.
Itu sebabnya, penduduk Jakarta di bilangan Tanah Abang sampai sekarang masih mengenal daerah Kebon Kacang, Kebon Sirih, Kebon Melati, dan Kebon Jahe.
Melihat kemajuan di bidang ekonomi dan melimpahnya hasil-hasil perkebunan, Justinus Vinck mengajukan permohonan mendirikan pasar yang kemudian dikenal sebagai Pasar Weltevreden (Vinck Passer) dan Pasar Tanah Abang.
Kala itu, pasar tidak buka setiap hari. Pasar Weltevreden buka setiap hari Senin. Karena itulah, Pasar Weltevreden lebih dikenal sebagai Pasar Senen.
Baca Juga: Jakarta, Kota Pesisir Paling Cepat Tenggelam di Dunia, Tinggal Menunggu Waktu
Pada- 27 Juni 1826 terjadi kebakaran yang melalap kurang lebih 200 rumah petak sederhana terbuat dari papan dan lebih dari 100 rumah dari bambu.
Segalanya musnah, namun rumah-rumah batu kembali dibangun. Jumlahnya semakin banyak dan bentuknya semakin bagus.
Lama-kelamaan terbentuk kawasan yang artistik dan dikenal sebagai Segitiga Senen. Rumah-rumah petak yang semula beratap dedaunan, setelah dibangun bertingkat memiliki atap melengkung yang diapit naga-naga berwarna.
Sayangnya, kawasan ini pun kemudian diratakan dengan tanah pada tahun 1989 dalam rangka modernisasi Kota Jakarta.
Masih banyak tempat-tempat di Jakarta.yang menyimpan sejumlah cerita menarik, baik tempat-tempat yang masih ada dan terawat baik, maupun tempat-tempat yang sudah berubah atau berganti wajah.
Mengenal Kota Jakarta dari sejarah dan cerita-cerita di balik nama-nama tempat sungguh sangat menarik dan mudah-mudahan bisa menambah kecintaan warga akan kotanya. (Dari pelbagai sumber/Bea)