Advertorial
Intisari-Online.com – Presiden Joko Widodo setelah dilantik kembali menjadi Presiden periode 2019-2024 akan segera mengumumkan jajaran menteri kabinetnya.
Sebelumnya, mari kita mengenal beberapa menteri di zaman pemerintahan Presiden Soekarno yang dikenal sederhana, namun mencurahkan segala pikirannya untuk kemajuan bangsa.
Salah satunya adalah Ibu Rusiah Sardjono, SH, menteri sosial pada zaman pemerintahan Soekarno.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1964 dengan judul asli Ibu Rusiah Sardjono, S.H., Menteri Sosial.
Kesan pertama tamu yang memasuki kamar tunggu Departemen Sosial: semua serba sederhana, tetapi toh rapi dan menarik.
Kecuali seekor harimau (diawetkan) yang berbaring seenaknya mengikuti pembicaraan para tamu, ruangan diliputi oleh suasana tenteram.
Tanpa mengetahui orang sudah dapat menerka, yang ‘memerintah di wilayah ini’ pasti seorang wanita yang mengetahui caranya menciptakan suasana.
Memang disamping Yang Mulia Menteri, Ibu Rusiah toh terutama seorang wanita dan seorang ibu.
“Memegang dua peranan utama sekaligus kadang-kadang membawa problem-problem tertentu,” beliau membenarkan, “walaupun kedua tugas itu simultan kuperhatikan. Seperti baru-baru ini, anak sakit, rewel, minta gendong, tugas harus diselesaikan.
Jadi terpaksa tangan kiri gendong, tangan kanan menulis pidato sambutan untuk pembukaan Bank Sarinah. Lain contoh lagi.
Kalau ada rapat pada malam hari biasanya tepat waktu anak harus tidur. Nah, dia minta dikeloni dulu.
Biarpun permintaan itu sering tak dapat kupenuhi, betapa sibuk pun saya tak pernah lupa menengok sebentar di tempat tidur.
Anak tak boleh sekali-sekali mendapat perasaan dia diterlantarkan. Sandang pangan saja belum cukup. Kecuali itu mereka masih memerlukan cinta kasih yang mesra.
Di negara Nefo sudah sepatutnya anak mendapat tempat utama dalam lubuk hati rakyat.
Sebalikny amereka sejak kecil harus dididik social minded. Maka kalau hari sudah malam, tak ada rapat tak ada tamu atau perjanjian lain, anak satu-satunya yang baru berumur 4,5 tahun sering diceriterai tentang anak-anak yang dilanda banjir di Tulungagung, paceklik di Jawa Tengah, bencana alam di Bali, dsb.
Ibu Rusiah orangnya sangat sederhana. Sifat itu dicerminkan dalam seluruh interior kamar kerjanya. Keramahannya dan kesabarannya merupakan salah satu ciri beliau.
Tampaknya tak pernah tergesa-gesa, biarpun mengetahui masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Mungkin justru sifat-sifat kewanitaan khas itu yang menguntungkan beliau dalam menunaikan tugasnya sebagai Menteri Sosial.
Seorang ibu lebih dapat merasakan betapa sedihnya nasib seoran ganak terlantar, anak yatim piatu yang tak mempunyai orangtua lagi yang dapat menimangnya, wanita-wanita yang tersesat, para tunakkarya yang tak mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal yang tetap.
Bagaimana rasanya sebagai orangtua tak sanggup memberi nafkah seperlunya pada anak-anaknya sehingga mereka terpaksa minta-minta di sepanjang jalan.
Baca Juga: Beda Cara Jokowi Pilih Menteri di Periode Pertama dan Kedua, Terlihat dari Komposisi!
Mungkin karena itu Bu Rus menaruh perhatian sepenuhnya terhadap masalah-masalah ini.
Di Bekasi ada tempat penampungan para tunakarya. Di situ mereka dididik menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Mereka harus bercocok tanam, menjahit, membuat kecap, tahu di samping mendapat latihan militer.
Kalau sudah ‘lulus’ namanya bukan tunakarya lagi, tetapi binakarya. Kesungguhan Bu Rusiah dalam menunaikan tugas rehabilitasi itu dan bagaimana tanggapan para binakarya sendiri, kami kira palign baik dapat dicerminkan oleh pesan salah seoran gbinakarya waktu akan diberangkatkan ke Kalimantan baru-baru ini.
“Bu, kalua jagung kami besar, ibu toh datang menengok kami?” Bagai seorang anak yang segan meninggalkan ibunya.
Waktu zaman Trikora banyak binakarya yang disalurkan ke Mandala. Dalam rangka Dwikora juga banyak berjasa.
Beberapa diantaranya berhasil mendapatkan wing bersama dengan Menteri Achmadi beberapa bulan yang lalu.
Di Banjarmasin dan di Irian Barat mereka ikut berdemonstrasi terjun. Seratus orang disalurkan ke tambang-tambang batu bara Ombilin.
Rupa-rupanya mereka di sana demikian memuaskan sehingga pihak pertambangan memasukkan ‘order’ lagi, 100 kepala keluarga.
Ada yang masuk KKO korps musik, Kodam Jaya, Kepolisian, dsb. Ribuan yang dikirim semua kekurangan tenaga kerja sekarang mencapai over-produksi.
Di sana ada yang dipilih menjadi anggota DPRD dan malahan diusulkan menjadi anggota DPRD tingkat 1 di Bengkulen.
Menurut Bu Rusiah, urbanisasi merupakan sebab utama wanita tuna susila. Orang desa pergi ke kota, tak ada pekerjaan sehingga karena tekanan ekonomi mereka memilih jalan sesat.
Eks-penghuni Mulia Jaya, Pasar Rebo, tempat penampungan para tunasusila banyak yang disalurkan ke Sungai Jelawat, Kalimantan Barat di man amereka memulai hidup baru.
Seirng kali dengan kawan hidup yang berkedudukan baik juga. 40 orang yang mencatatkan diri sebagai sukarelawati.
Untuk rehabilitasi wnaita tunasusila di Balikpapan agak unik. Antara lain Pancatunggal dan Front Nasional juga ikut aktif.
Pengantin eks-tunasusila harus mengucapkan janji di muka Front Nasional.
“Dalam segala macam rehabilitasi juga dengan orang-orang cacat, yang penting ialah soal job-placement.” Menurut Bu Rus.
“Apa gunanya dididik, kalau kemudian dilepaskan begitu saja. Maka kami sering menganjurkan pada pabrik-pabrik untuk ikut menolong usaha kami dengan menampung orang-orang ini.
Sementara ini sudah 17.800 orang yang dididik dan disalurkan ke mana-mana. Maksud kami, bukan menyebar kemelaratan, tetapi terutama menanam benih-benih baru dalam masyarakat.”
Beberapa waktu yang lalu telah diadakan seminar rehabilitasi para tunanetra di mana mereka sendiri untuk pertama kali aktif diikutsertakan.
Baca Juga: Menteri Susi Jadi Menteri dengan Tingkat Kepuasan Publik Tertinggi, Lihat Angkanya, Hampir Sempurna!
Tujuannya supaya mereka berusaha menolong diri sendiri dan bukan menunggu-nunggu welas kasih orang lain.
Ibu Rusiah yang dilahirkan pada tanggal 22 Juni 1919 di bawah bintang Cancer, rupa-rupanya tak suka menonjolkan diri.
Kalau bercakap-cakap tentang pekerjaan ceriteranya panjang lebar, tetapi bila menyangkut sesuatu yang peribadi, agak ‘summier’.
Waktu kami meminta foto yang lebih bagus untuk digambarkan, jawabnya, “Tak usah bagus-bagus, oret-oret saja sudah cukup.”
Padahal menurut hemat kami, Bu Rus jauh lebih “charmant” daripada foto itu.
Apakah pernah bercita-cita menjadi menteri? “Oh, sama sekali tidak. Cita-citaku hanya untuk menjadi manusi aberguna, pengabdi Tuhan, Kepala Negara, bangsa, dan tanah air. Waktu saya mendapat panggilan di Departemen Kehakiman pada suatu pagi yang cerah dua tahun yang lalu, saya agak terperanjat. Untuk apa? Lebih-lebih waktu mendengar akan dijadikan menteri.”
Sebelum menjabat menceri, Bu Rus 20 tahun berturut-turut bekerja pada Departemen Kehakiman.
Sungguh tak mengherankan mengingat beliau dulu memilih jurusna hukum justru untuk memperjuangkan keadilan.
Baca Juga: Jika Tak Jadi Menteri Kelautan dan Perikanan Lagi, Ini yang Akan Dilakukan oleh Susi Pudjiastuti
“Keadilan dengan K besar”, beliau menekankan. “Bukan untuk memperkaya diri sendiri.”
Teman seuniversitas sebelum perang ialah antara lain Bu Artati, sekarang Menteri PDK dan Bu Leila Rusyad, bekas Dubes Belgia.
Baru tahun 1949 beliau lulus sebagai sarjana hukum wanita pertama keluaran revolusi dari Universitas Gajah Mada.
Selama pendudukan Jepang, Bu Rus bekerja pada Hooki Kyokku, untuk kemudian pindah berturut-turut ke Balai Harta Peninggalan dan Kejaksaan Tinggi di Semarang.
Tepat waktu zaman revolusi fisik, beliau di Kaliwungu, desa kecil dekat Semarang. Di Yogya bekerja sebentar pada Deparlu lalu masuk bidang kehakiman lagi dan juga menjadi asisten Prof. Jokosutono di Gajah Mada.
Tetapi pengalaman yang paling mengesankan ialah waktu menjadi guru pada sekolah menengah di Pati. Kelasnya gedokan jaran (kandang kuda).
Bacaan kesayangan? Bhagavad Gita, sejarah kitab suci, kisah penghidupan Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lain, Mahatma Gandhi yang berani membela rakyat, kebenaran dan negara.
Beliau sangat terkesan membaca kisah Franciscus dari Asisi yang memberikan bajunya terakhir untuk menolong orang lain.
Tentang keberanian Daniel dalam sarang singa untuk membela kebenaran. Kecuali itu masih banyak buku-buku lain tentang social work, hukum, filsafah, dan keagamaan.
Bekal dari orangtua? “Ayah seorang pegawai SS, dulu selalu mengatakan ojo dumeh dan sepi ing pamrih rame ing gawe. Kita harus tawakal dalam segala keadaan.
Wejangan-wejangan itu tak pernah kulupakan kemudian. Saudara ada dua, seorang kakak perempuan dan seorang adik perempuan.
Anak hanya satu, kalau anak angkat banyak. Salah satu diantaranya, anak bekas pra juwana yang membunuh seorang Belanda, karena diejek.
Kata Belanda itu, ‘Kalau minta pekerjaan, minta pada presidenmu saja’. Mendengar ejekan itu dia kontan naik darah, Belanda itu terus diserang.
Tetapi dalam penjara anak-anak, ia tekun melakukan kewajibannya. Sekarang ia sudah mencapai bacceuleurat publisistik.”
Sementara itu, beberapa orang keluar masuk kamar kerja untuk memberi laporan. Rupa-rupanya sudah banyak orang yang menunggu di luar.
Pertanyaan terakhir: Apakah menurut Ibu, sikap sosial masyarakat sudah sesuai dengan cita-cita sosialisme kita?
“Belum, tetapi kita menuju ke arah itu. Rakyat sudah sadar apa yang dimaksud dengan sosialisme, hanya bimbingan masih kurang. Orang-orang tinggi yang harus lebih banyak terjun dalam masyarakat.”