Dengan demikian, amatlah konyol apabila kita harus menderita akibat sekian banyak jenis kanker yang semestinya tidak usah terjadi, karena penyebabnya bisa dihindari bahkan dieliminasi sama sekali.
Sebutlah soal faktor polusi – mulai dari asap rokok hingga emisi kendaraan dan buangan pabrik.
Baca Juga: Penelitian: Tes Urin Dapat Bantu Diagnosis Kanker Prostat yang Agresif
Faktor apa yang dimakan dan diminum – sayangnya sebagian besar rakyat kita baru takut jika efeknya segera, seperti diare atau hepatitis.
Faktor kegemukan pun, yang sudah diteliti erat kaitannya dengan beberapa jenis kanker tentu mudah sekali dicegah.
Hanya saja, untuk seseorang menjadi gemuk (sama seperti karsinogen potensial dalam bahan makanan) dibutuhkan hitungan bulan dan tahun.
Setelah menggemuk pun, dibutuhkan sekian bulan dan tahun lagi saat insulin-like growth factor (IGF) berkontribusi dalam setiap tahap perubahan sel untuk menjadi ganas: mulai dari perubahan struktur, perbanyakan, invasi lokal, penyebaran ke organ jauh, hingga kekebalan terhadap pengobatan.
Baca Juga: Meski Tak Merokok, Mengapa Kita Bisa Terkena Kanker Paru-paru?
Dan selama perjalanan sekian tahun itu, semua kontributor penyebab kanker saling tumpang tindih, sehingga tak ada satu dokter pun bisa menuding siapa biang kerok penyebab utamanya.
Saya pernah mengutip suatu kisah perumpamaan tentang seekor kodok yang direbus pelan-pelan di atas api, dalam panci yang suhu awal airnya sama seperti air kolam.
Hal ini menjelaskan tentang bagaimana manusia melakukan adaptasi dan mengadopsi ‘normalitas yang baru’ begitu hampir tidak kentara setiap perubahan yang dilalui, sampai akhirnya suatu kondisi mengenaskan terjadi dan itu dianggap hal biasa.
Mendengar keluarga yang serangan jantung lalu pembuluh darah koronernya dipasang alat berbentuk cincin, saat saya masih kecil kedengarannya horor sekali.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR