Baca Juga: Bukan Hanya Rokok, Minuman Sejuta Umat Ini Juga Berpotensi Picu Kanker Paru-paru
Sekarang? Umur 30-40 tahunan, sudah dianggap hal biasa, seperti tindik telinga. Antri berderet di rumah sakit, bahkan dokter yang mengerjakannya bisa begitu luwes, fasih, seperti menyetir mobil otomatis tanpa perlu mengurutkan kembali bagaimana caranya pindah gigi persneling.
Setelah selesai dengan prosedur ‘pembenahan tubuh’, jika ditanya pasiennya harus bagaimana menata hidup selanjutnya, banyak dokter enteng menjawab, ”Ah ya enggak usah gimana-gimana. Makan biasa aja... kita hidup harus fun dong ya,...”
Lebih gawat lagi jika pakar kanker yang ditanya. Mereka selalu menganjurkan pasiennya makan lebih banyak. Biar kuat. Apa saja boleh dimakan.
Saya kerap minder mendengar omongan mereka. Seakan-akan para pakar ini kok tahu banyak soal makanan. Terutama makanan yang enak-enak, katanya.
Baca Juga: Belum Banyak Diketahui, 7 Jenis Virus yang Bisa Sebabkan Kanker
Agar jika mual saat dikemoterapi tetap bisa makan. Apa saja. Rasanya mau tepok jidat.
Beberapa pasien yang datang minta pendapat ke saya dengan muka memelas bertanya,”Dok, serius nih, saya tetap bisa makan gorengan, mi instan, ngopi, bahkan makan sate dan bistik?”
Susah sekali menjawabnya. Karena itu saya tidak akan menjawab langsung, takut dimarahi sejawat yang pakar tadi.
Biasanya pasien saya dudukkan dalam kelas, dan kelas ini membahas banyak soal kebiasaan, tubuhnya butuh apa dan kecanduannya teriak apa – sehingga muncul orkestrasi yang diam-diam membuat tubuh manusia seperti kodok dalam panci berisi air dan dipanaskan perlahan-lahan.
Dengan kulit sudah merah melepuh, bagi si kodok untuk melompat keluar dari pancinya tidak akan mampu lagi. It is just too late.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR