Advertorial

Apa Benar Kanker Hanya 'Takdir'? Kisah Seekor Kodok yang Direbus Pelan-pelan di Atas Api Ini Bisa Menjawabnya

K. Tatik Wardayati
Ade S

Tim Redaksi

Suatu penyakit mematikan dan fatal yang didapat bukan karena kelakuan penderitanya, melainkan arogansi lingkungan sekitarnya.
Suatu penyakit mematikan dan fatal yang didapat bukan karena kelakuan penderitanya, melainkan arogansi lingkungan sekitarnya.

Intisari-Online.com – Meski kanker menjadi momok penyakit yang mematikan, tetapi penyakit ini bisa menimpa siapa saja, baik tua maupun muda.

Ketika seseorang sudah melakukan gaya hidup sehat dengan makan sehat dan olahraga, tetapi dia pun menderita kanker, lalu apa yang menjadi penyebabnya?

Akhirnya, beberapa orang mengatakan bahwa penyakit kanker tidak bisa diketahui penyebab pastinya.

Tulisan ini dibuat oleh DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum, bukan hanya mengenang perjalanan Sutopo, seorang pakar bencana alam yang wafat, akibat terpaksa menyerah melawan penyakit kanker parunya.

Baca Juga: Mungkinkah Remaja Terkena Kanker Payudara? Begini Jawaban Ahli

Suatu penyakit mematikan dan fatal yang didapat bukan karena kelakuan penderitanya, melainkan arogansi lingkungan sekitarnya sebagai perokok yang tidak merasa bersalah, seperti juga para pembuat rokoknya di negeri ini.

Banyak orang yang berguna dan masih dibutuhkan, bahkan punya karier cemerlang akhirnya tumbang sebagai korban penyakit yang perjalanannya begitu agresif tanpa ampun.

Seperti penyakit-penyakit lain pada umumnya, di dunia kesehatan kita mengenal istilah ‘hal-hal yang tidak bisa diubah’ dan ‘banyak hal yang bisa diubah’.

Hal yang tak mungkin (hingga kini) berubah antara lain faktor genetik yang terkait dengan bawaan keturunan, usia yang tidak bisa ditarik mundur, dan jenis kelamin.

Baca Juga: 8 Manfaat Luar Biasa dari Daun Jambu Biji, dari Obati Demam Berdarah Hingga Cegah Kanker

Beberapa kanker tentunya terkait dengan jenis kelamin, seperti kanker prostat pastinya hanya diderita laki-laki, begitu pula kanker indung telur penderitanya hanya perempuan.

Kedua kanker terkait jenis kelamin tersebut pun tidak begitu saja hadir tanpa penyebab – yang saat ini sudah ada beberbagai penelitian yang mengaitkannya dengan gaya hidup.

Dengan demikian, amatlah konyol apabila kita harus menderita akibat sekian banyak jenis kanker yang semestinya tidak usah terjadi, karena penyebabnya bisa dihindari bahkan dieliminasi sama sekali.

Sebutlah soal faktor polusi – mulai dari asap rokok hingga emisi kendaraan dan buangan pabrik.

Baca Juga: Penelitian: Tes Urin Dapat Bantu Diagnosis Kanker Prostat yang Agresif

Faktor apa yang dimakan dan diminum – sayangnya sebagian besar rakyat kita baru takut jika efeknya segera, seperti diare atau hepatitis.

Faktor kegemukan pun, yang sudah diteliti erat kaitannya dengan beberapa jenis kanker tentu mudah sekali dicegah.

Hanya saja, untuk seseorang menjadi gemuk (sama seperti karsinogen potensial dalam bahan makanan) dibutuhkan hitungan bulan dan tahun.

Setelah menggemuk pun, dibutuhkan sekian bulan dan tahun lagi saat insulin-like growth factor (IGF) berkontribusi dalam setiap tahap perubahan sel untuk menjadi ganas: mulai dari perubahan struktur, perbanyakan, invasi lokal, penyebaran ke organ jauh, hingga kekebalan terhadap pengobatan.

Baca Juga: Meski Tak Merokok, Mengapa Kita Bisa Terkena Kanker Paru-paru?

Dan selama perjalanan sekian tahun itu, semua kontributor penyebab kanker saling tumpang tindih, sehingga tak ada satu dokter pun bisa menuding siapa biang kerok penyebab utamanya.

Saya pernah mengutip suatu kisah perumpamaan tentang seekor kodok yang direbus pelan-pelan di atas api, dalam panci yang suhu awal airnya sama seperti air kolam.

Hal ini menjelaskan tentang bagaimana manusia melakukan adaptasi dan mengadopsi ‘normalitas yang baru’ begitu hampir tidak kentara setiap perubahan yang dilalui, sampai akhirnya suatu kondisi mengenaskan terjadi dan itu dianggap hal biasa.

Mendengar keluarga yang serangan jantung lalu pembuluh darah koronernya dipasang alat berbentuk cincin, saat saya masih kecil kedengarannya horor sekali.

Baca Juga: Bukan Hanya Rokok, Minuman Sejuta Umat Ini Juga Berpotensi Picu Kanker Paru-paru

Sekarang? Umur 30-40 tahunan, sudah dianggap hal biasa, seperti tindik telinga. Antri berderet di rumah sakit, bahkan dokter yang mengerjakannya bisa begitu luwes, fasih, seperti menyetir mobil otomatis tanpa perlu mengurutkan kembali bagaimana caranya pindah gigi persneling.

Setelah selesai dengan prosedur ‘pembenahan tubuh’, jika ditanya pasiennya harus bagaimana menata hidup selanjutnya, banyak dokter enteng menjawab, ”Ah ya enggak usah gimana-gimana. Makan biasa aja... kita hidup harus fun dong ya,...”

Lebih gawat lagi jika pakar kanker yang ditanya. Mereka selalu menganjurkan pasiennya makan lebih banyak. Biar kuat. Apa saja boleh dimakan.

Saya kerap minder mendengar omongan mereka. Seakan-akan para pakar ini kok tahu banyak soal makanan. Terutama makanan yang enak-enak, katanya.

Baca Juga: Belum Banyak Diketahui, 7 Jenis Virus yang Bisa Sebabkan Kanker

Agar jika mual saat dikemoterapi tetap bisa makan. Apa saja. Rasanya mau tepok jidat.

Beberapa pasien yang datang minta pendapat ke saya dengan muka memelas bertanya,”Dok, serius nih, saya tetap bisa makan gorengan, mi instan, ngopi, bahkan makan sate dan bistik?”

Susah sekali menjawabnya. Karena itu saya tidak akan menjawab langsung, takut dimarahi sejawat yang pakar tadi.

Biasanya pasien saya dudukkan dalam kelas, dan kelas ini membahas banyak soal kebiasaan, tubuhnya butuh apa dan kecanduannya teriak apa – sehingga muncul orkestrasi yang diam-diam membuat tubuh manusia seperti kodok dalam panci berisi air dan dipanaskan perlahan-lahan.

Baca Juga: Sutopo Purwo Nugroho Meninggal Dunia: Bisakah Bedakan Batuk Akibat Kanker Paru-paru dengan Batuk Lainnya?

Dengan kulit sudah merah melepuh, bagi si kodok untuk melompat keluar dari pancinya tidak akan mampu lagi. It is just too late.

Betul, tidak semua pakar akan mengizinkan pasiennya makan semaunya dan seketemunya. Tapi itu pun masih dengan bahasa yang amat sumir.

“Boleh, jangan banyak-banyak ya. Sesekali tidak apa-apa”. Batasan tidak banyak dan sesekali, bisa jadi tidak jelas juga untuk sang pakar. Apalagi buat pasiennya.

Akhirnya ada anjuran kocak dan tidak masuk akal. Boleh makan kolak, asal dua sendok saja.

Baca Juga: Sama-sama Berjuang Melawan Kanker, Sutopo Pernah Berbisik Tentang Ani Yudhoyono Lewat AHY

Lah, sisanya siapa yang makan? Kolaknya diberi santan yang dihangatkan berulang atau tidak? Gulanya berapa banyak? Itu kisah lain lagi yang tak kalah ricuhnya.

Janganlah terlalu gegabah, arogan dan sesumbar mengatakan kanker tidak ada sebabnya.

Di negeri kita, penyebab-penyebab itu bebas berkeliaran, bahkan masih diiklankan. Mereka yang memproduksinya secara massal, punya peta bisnis yang terstruktur, sistematik dan masif.

Strukturnya ada di jejaring pemasaran. Sistematik perdagangannya lebih canggih dari pada pemerintah daerah melakukan percepatan penanggulangan stunting.

Baca Juga: Saat Didiagnosis Sudah Stadium 4, Begini Riwayat Kanker Paru Sutopo Hingga Tutup Usia

Masifnya? Jangan ditanya. Rakyat hafal dengan lagu pendek alias jinggle begitu banyak iklan, para influencer, artis dan kemeriahan iklannya dipakai dimana-mana, menyeruak di pelbagai media.

Pun tanpa permisi masuk ponsel tiap orang, memberi iming-iming diskon luar biasa atau mengumpulkan poin bekerjasama dengan penyedia pembayaran digital.

Suhu perdagangan menghangat, memanas. Semua bahagia karena ekonomi menanjak katanya. Dan sang kodok mulai bersemu merah kepanasan – tanpa tahu sebabnya.

OlehDR. dr. Tan Shot Yen, M.hum. Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Apa Benar Kanker Tidak Diketahui Penyebabnya?"

Baca Juga: Penelitian: Wanita yang Bangun Lebih Pagi Kemungkinan Miliki Risiko Kanker Payudara yang Lebih Rendah

Artikel Terkait