Betul, tidak semua pakar akan mengizinkan pasiennya makan semaunya dan seketemunya. Tapi itu pun masih dengan bahasa yang amat sumir.
“Boleh, jangan banyak-banyak ya. Sesekali tidak apa-apa”. Batasan tidak banyak dan sesekali, bisa jadi tidak jelas juga untuk sang pakar. Apalagi buat pasiennya.
Akhirnya ada anjuran kocak dan tidak masuk akal. Boleh makan kolak, asal dua sendok saja.
Baca Juga: Sama-sama Berjuang Melawan Kanker, Sutopo Pernah Berbisik Tentang Ani Yudhoyono Lewat AHY
Lah, sisanya siapa yang makan? Kolaknya diberi santan yang dihangatkan berulang atau tidak? Gulanya berapa banyak? Itu kisah lain lagi yang tak kalah ricuhnya.
Janganlah terlalu gegabah, arogan dan sesumbar mengatakan kanker tidak ada sebabnya.
Di negeri kita, penyebab-penyebab itu bebas berkeliaran, bahkan masih diiklankan. Mereka yang memproduksinya secara massal, punya peta bisnis yang terstruktur, sistematik dan masif.
Strukturnya ada di jejaring pemasaran. Sistematik perdagangannya lebih canggih dari pada pemerintah daerah melakukan percepatan penanggulangan stunting.
Baca Juga: Saat Didiagnosis Sudah Stadium 4, Begini Riwayat Kanker Paru Sutopo Hingga Tutup Usia
Masifnya? Jangan ditanya. Rakyat hafal dengan lagu pendek alias jinggle begitu banyak iklan, para influencer, artis dan kemeriahan iklannya dipakai dimana-mana, menyeruak di pelbagai media.
Pun tanpa permisi masuk ponsel tiap orang, memberi iming-iming diskon luar biasa atau mengumpulkan poin bekerjasama dengan penyedia pembayaran digital.
Suhu perdagangan menghangat, memanas. Semua bahagia karena ekonomi menanjak katanya. Dan sang kodok mulai bersemu merah kepanasan – tanpa tahu sebabnya.
Oleh DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum. Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Apa Benar Kanker Tidak Diketahui Penyebabnya?"
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR