Satu deret dengari balai itu ada jineng sebagai lumbung padi. Para kaum muda pun punya tempatnya sendiri bila mengadakan pertemuan. Tempat itu namanya balai petemu.
Sementara kalau ada pertunjukan kesenian atau apa dari luar kawasan, akan digelar di sebuah pendopo, yang mereka sebut wantilan.
Agaknya adat sudah mengatur begitu rupa, sampai segalanya tampak demikian tertib. Begitu pun soal sentra atau pekuburan desa yang terbentang dikaki Bukit Kangin di sisi timur permukiman.
Setiap warga punya kavlingnya. Ada makam khusus untuk anak-anak yang belum tanggal giginya. Ada makam untuk remaja, makam warga penyandang cacat. Lalu makam untuk orang dewasa pun terpisah sendiri.
Uniknya, jenazah warga yang meninggal dikubur dalam keadaan tanpa busana, yang dibaringkan dalam posisi tengkurap dengan kepala di sebelah selatan.
Menganut endogami
Sebagian besar penduduk Tenganan cenderung suka bekerja di rumah. Kaum wanitanya menenun kain gringsing, bahan pakaian adat resmi warga Tenganan Pegringsingan. Sementara kegiatan kaum prianya lebih beragam.
Menuliskan nukilan kisah Ramayana pada daun lontar, atau membuat kerajinan tangan lainnya, seperti topeng dan ukiran kayu.
Hasil kerajinan itu pun tidak mereka pasarkan di luar kawasan. Hanya mereka jajakan dengan digelar di depan rumah masing-masing. Mereka hanya mengandalkan pada wisatawan domestik maupun mancanegara yang mampir di sana dan kebetulan berminat membeli dagangan mereka.
Memang ada juga yang bekerja di luar kawasan. Tapi harus bisa dijalani pulang- pergi. Artinya, sehabis seharian bekerja, sore harinya sudah harus ada di rumah kembali. "Misalnya menggarap tanah milik desa yang ada di luar kawasan. Atau, membuat tuak di atas sana," ujar Pasek sambil menunjuk ke arah bukit di sebelah timur desa.
Warga Tenganan Pegringsingan boleh dibilang satu keluarga besar dalam arti sebenarnya.
Mereka memiliki hubungan kerabat satu sama lain. Sistem endogami – perkawinan antarwarga kawasan – yang mereka terapkan, itulah akarnya. Meski begitu, perkawinan antar saudara sepupu tabu menurut adat.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR