(Baca juga: Setelah Berjam-jam Bedah Tengkorak, Dokter Ini Baru Sadar Telah Operasi Pasien yang Salah)
Meskipun tidak berarti mereka menabukan diri bersentuhan dengan "dunia luar".
Buktinya, ada yang memiliki sepeda motor, misalnya. Entah kalau dulu. Yang jelas, mereka menolak pengaruh luar yang bisa mencemari atau melunturkan nilai-nilai hukum adat yang mereka genggam selama ini.
Lokasinya yang terpencil, jauh di pelosok wilayah Kabupaten Karangasem, ± 67 km arah timur Kota Denpasar, sangat mendukung keutuhan perangkat adat yang mereka anut.
Hingga detik ini, warga kawasan adat yang jumlahnya 106 kepala keluarga (KK) atau sekitar 400 jiwa itu, misalnya, tidak berani sembarangan menebang pohon. Walau itu di kebun sendiri.
"Mereka harus minta izin dulu lewat pertemuan adat yang diadakan di balai agung," jelas I Made Pasek (60-an).
Sampai-sampai warga kawasan yang membutuhkan kayu bakar mesti sabar menunggu hingga pohonnya mati lebih dulu. Cermin cinta lingkungan? Bisa jadi.
Memetik buah pun ada aturannya. Tidak setiap pohon yang berbuah boleh dipetik begitu saja. Kemiri, keluwak dan durian yang dianggap buah bernilai ekonomis, tabu untuk dipetik. Tak peduli itu tumbuh di kebun sendiri atau milik desa, dilarang. Baru boleh diambil kalau sudah jatuh di tanah.
Nah, warga kawasan yang getol menengok kebun waktu lagi musim, tentunya punya banyak kemungkinan "kejatuhan" buahnya. "Karena kebun itu milik bersama, siapa pun yang menemukan buah jatuhan, dialah yang beruntung dan berhak memiliki buah itu," tuturnya.
Konon, menurut kepercayaan mereka, buah jatuhan itu artinya sudah diberkati dewata. Jadi, kalau mau disantap atau dijual pun sah-sah saja. Tak ada sanksinya.
Sedangkari buah rambutan, leci, mangga, nangka, duku, atau nanas, bebas. Siapa pun boleh memetiknya, kalau ada. Tapi jangan coba-coba nekat memetik durian dan buah lainnya tadi langsung dari pohonnya. Walaupun ringan, ada sanksi atau hukuman adatnya.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR