Advertorial

Di Desa Ini, Memetik Durian Dianggap Dosa, Ada Sanksi Adat Bagi yang Nekat Melanggar

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com – Itu memang terjadi di Desa Tenganan Pegringsingan, salah satu kawasan adat Bali aga (asli).

Dosa, dalam bahasa setempat, memang berbeda dengan dosa yang kita kenal.

Itu satu bentuk hukuman bagi pemetik buah durian tanpa izin di kawasan adat yang juga banyak menyimpan pelbagai keunikan adat-istiadat tradisional lainnya.

Wartawan lntisari A. Hery Suyono dan I Gede Agung Yudana sempat mengintip ke sana.

(Baca juga: Dari Bertukar Istri Hingga Membunuh Anak, Inilah 10 Hal Mengerikan Dalam Kehidupan Seksual Orang Eskimo)

--

Welcome to Tenganan. Tulisan itu terpampang pada papan di depan pintu masuk Desa Tenganan Pegringsingan, Bali. Meski cuma semeter lebarnya, itulah pintu gerbang utamanya, tempat keluar-masuknya warga Tenganan, dan juga wisatawan.

Kampung adat ini memang salah satu tempat yang menyimpan sejumlah daya tarik wisata tersendiri, di luar puluhan objek plesiran konvensional lainnya di Pulau Bali.

Berbeda dengan perkampungan lain di sekitarnya, kampung adat seluas 3 ha itu dikelilingi dinding pagar batu hitam hampir setinggi tubuh orang dewasa. Lebih menyerupai sebuah benteng kuno ketimbang desa.

Tembok pagar tinggi itu seolah membentengi segenap isinya dari persinggungan dengan pengaruh “dunia luar”.

Menebang pohon dilarang

Sebagai salah satu permukiman masyarakat Bali aga, seperti halnya Desa Trunyan di dekat Danau Batur dan juga Sembiran di kawasan Bali Utara, masyarakat Tenganan memang masih menganut sistem adat tradisional yang ketat.

(Baca juga:Setelah Berjam-jam Bedah Tengkorak, Dokter Ini Baru Sadar Telah Operasi Pasien yang Salah)

Meskipun tidak berarti mereka menabukan diri bersentuhan dengan "dunia luar".

Buktinya, ada yang memiliki sepeda motor, misalnya. Entah kalau dulu. Yang jelas, mereka menolak pengaruh luar yang bisa mencemari atau melunturkan nilai-nilai hukum adat yang mereka genggam selama ini.

Lokasinya yang terpencil, jauh di pelosok wilayah Kabupaten Karangasem, ± 67 km arah timur Kota Denpasar, sangat mendukung keutuhan perangkat adat yang mereka anut.

Hingga detik ini, warga kawasan adat yang jumlahnya 106 kepala keluarga (KK) atau sekitar 400 jiwa itu, misalnya, tidak berani sembarangan menebang pohon. Walau itu di kebun sendiri.

"Mereka harus minta izin dulu lewat pertemuan adat yang diadakan di balai agung," jelas I Made Pasek (60-an).

Sampai-sampai warga kawasan yang membutuhkan kayu bakar mesti sabar menunggu hingga pohonnya mati lebih dulu. Cermin cinta lingkungan? Bisa jadi.

Memetik buah pun ada aturannya. Tidak setiap pohon yang berbuah boleh dipetik begitu saja. Kemiri, keluwak dan durian yang dianggap buah bernilai ekonomis, tabu untuk dipetik. Tak peduli itu tumbuh di kebun sendiri atau milik desa, dilarang. Baru boleh diambil kalau sudah jatuh di tanah.

Nah, warga kawasan yang getol menengok kebun waktu lagi musim, tentunya punya banyak kemungkinan "kejatuhan" buahnya. "Karena kebun itu milik bersama, siapa pun yang menemukan buah jatuhan, dialah yang beruntung dan berhak memiliki buah itu," tuturnya.

Konon, menurut kepercayaan mereka, buah jatuhan itu artinya sudah diberkati dewata. Jadi, kalau mau disantap atau dijual pun sah-sah saja. Tak ada sanksinya.

Sedangkari buah rambutan, leci, mangga, nangka, duku, atau nanas, bebas. Siapa pun boleh memetiknya, kalau ada. Tapi jangan coba-coba nekat memetik durian dan buah lainnya tadi langsung dari pohonnya. Walaupun ringan, ada sanksi atau hukuman adatnya.

Dosa itu paling ringan

Harap diingat, di kampung itu hukum adat, atau awig- awig mereka bilang, masih ketat diberlakukan tanpa pandang bulu.

Sanksi dikenakan sesuai dengan kesalahan si pelaku. Ada 5 tingkatan hukuman berturut-turut dari yang paling ringan sampai terberat yakni dosa, sikang, kepengingang, sapa sumaba, dan kesah.

Menebang pohon tanpa izin, yang termasuk pelanggaran ringan, hukiimannya berupa dosa. Ini ganjaran paling enteng, sebab warga yang melanggar hanya akan dikasih warning alias peringatan.

Kalau sudah diperingatkan tapi tetap saja mbandel, ia akan kena sanksi hukum sikang. Si pelanggar tidak boleh memasuki rumah siapa pun.

Hukuman yang lebih berat lagi ialah sapa sumaba. Yang bersangkutan tidak akan ditegur sapa, dilarang bertandang ke rumah warga lain, tetapi masih boleh bebas lalu-lalang di kawasan desa.

Pada tingkat kepengingang, pelanggar hukum adat dilarang ikut dalam persembahyangan maupun upacara lainnya. Sedangkan kesah, ini hukuman bagi warga yang "kualat" berat.

Umpamanya bercerai atau sebaliknya berpoligami, suatu perbuatan yang dianggap pelanggaran berat terhadap hukum adat. "Mereka yang dijatuhi hukuman kesah ini akan diasingkan, atau diusir ke luar dari sini," tegas Pasek.

Lalu siapa yang berkuasa atas hukum adat di sana? Meskipun secara administratif desa itu dipimpin seorang kepala desa atau lurah, lembaga krama desalah yang diberi kepercayaan mengurusi tetek bengek yang berkaitan dengan urusan adat.

Termasuk menjatuhkan sanksi hukum pada pelanggar adat. Lembaga ini terdiri atas 30 pasang suami-istri. Yang lelaki selalu bertelanjang dada, berkain batik macota lengkap dengan sebilah keris yang diselipkan di ikat pinggang berupa selendang.

Dalam lembaga krama desa tersebutlah pula luanan, yakni beberapa anggota krama desa yang tertua dan dihormati.

Mereka berfungsi sebagai penasihat. Lalu ada bahan roras, 12 orang anggota krama desa yang secara bergilir bertugas sebagai tampping takon (penerima pertanyaan yang berhubungan dengan keadatan) dan penyarikan (mencatat hasil keputusan rapat), jika ada rapat keadatan di balai agung.

Selesai pertemuan, pada malam itu juga keputusan rapat diumumkan ke seluruh warga oleh 4 orang petugas saya arah. Dua belas orang anggota krama desa lainnya, yang biasa disebut tambalapu roras diberi tanggung jawab sebagai pelaksana putusan rapat.

Secara bergilir, mereka juga menjadi utusan desa untuk mengundang luanan bila akan diadakan pertemuan.

Mayat tanpa busana

Meski tak seindah real estate yang menyimpan rumah mewah, di balik pagar tembok desa berjajar empat deretan bangunan yang tertata rapi. Membujur dari ujung utara hingga ujung selatan desa.

Setiap deretan terbagi dalam nimah-rumah tinggal dan pekarangan yang biasanya dihuni oleh satu KK. Rumah tinggal yang saling berhadapan dipisahkan oleh awangan, sebuah jalan tanah yang membujur sepanjang deretan rumah tinggal.

Di tiap-tiap pekarangan berdiri balai buga (bangunan untuk melakukan upacara suci), balai tengah (bangunan untuk tidur), dan pawon (dapur). Ketiga bangunan itu harus ada.

Antara rumah yang satu dan lainnya dibatasi pagar tembok dengan dua pintu masuk di bagian depan dan belakang. Setiap warga diwajibkan beternak babi, yang sewaktu-waktu diperlukan dalam suatu upacara adat.

Untuk memelihara ternak mereka itu, tersedia teba pisan, kira-kira semacam kandang. Letaknya memanjang di belakang deretan rumah tinggal.

Selain babi dan ternak lain, warga kawasan juga memelihara kerbau. Hanya saja mereka dibiarkan bebas berkeliaran dan mencari makan sendiri di dalam kawasan. Kerbau-kerbau "liar" itu sengaja tidak dikandangkan. Mereka dianggap hewan suci.

"Tidak ada yang khusus merawat kerbau-kerbau itu. Cuma kalau tiba musim kering ketika rumput hijau susah dicari, warga boleh memberinya dedaunan dari kebun," ujar Pasek. Mereka bukan milik perorangan, melainkan milik desa.

"Dijual tidak boleh. Dipekerjakan untuk membajak sawah juga dilarang. Kerbau-kerbau itu cuma dipakai (dipotong, Red.) ketika ada upacara besar," jelasnya.

Selcrin rumah tinggal, terdapat sejumlah bangunan penting untuk keperluan adat. Di antaranya balai agung, bangunan berbentuk rumah panggung panjang, tanpa dinding dan beratap ijuk itu digunakan untuk menyelenggarakan rapat desa dan kegiatan adat lainnya, dipimpin krama desa.

Satu deret dengari balai itu ada jineng sebagai lumbung padi. Para kaum muda pun punya tempatnya sendiri bila mengadakan pertemuan. Tempat itu namanya balai petemu.

Sementara kalau ada pertunjukan kesenian atau apa dari luar kawasan, akan digelar di sebuah pendopo, yang mereka sebut wantilan.

Agaknya adat sudah mengatur begitu rupa, sampai segalanya tampak demikian tertib. Begitu pun soal sentra atau pekuburan desa yang terbentang dikaki Bukit Kangin di sisi timur permukiman.

Setiap warga punya kavlingnya. Ada makam khusus untuk anak-anak yang belum tanggal giginya. Ada makam untuk remaja, makam warga penyandang cacat. Lalu makam untuk orang dewasa pun terpisah sendiri.

Uniknya, jenazah warga yang meninggal dikubur dalam keadaan tanpa busana, yang dibaringkan dalam posisi tengkurap dengan kepala di sebelah selatan.

Menganut endogami

Sebagian besar penduduk Tenganan cenderung suka bekerja di rumah. Kaum wanitanya menenun kain gringsing, bahan pakaian adat resmi warga Tenganan Pegringsingan. Sementara kegiatan kaum prianya lebih beragam.

Menuliskan nukilan kisah Ramayana pada daun lontar, atau membuat kerajinan tangan lainnya, seperti topeng dan ukiran kayu.

Hasil kerajinan itu pun tidak mereka pasarkan di luar kawasan. Hanya mereka jajakan dengan digelar di depan rumah masing-masing. Mereka hanya mengandalkan pada wisatawan domestik maupun mancanegara yang mampir di sana dan kebetulan berminat membeli dagangan mereka.

Memang ada juga yang bekerja di luar kawasan. Tapi harus bisa dijalani pulang- pergi. Artinya, sehabis seharian bekerja, sore harinya sudah harus ada di rumah kembali. "Misalnya menggarap tanah milik desa yang ada di luar kawasan. Atau, membuat tuak di atas sana," ujar Pasek sambil menunjuk ke arah bukit di sebelah timur desa.

Warga Tenganan Pegringsingan boleh dibilang satu keluarga besar dalam arti sebenarnya.

Mereka memiliki hubungan kerabat satu sama lain. Sistem endogami – perkawinan antarwarga kawasan – yang mereka terapkan, itulah akarnya. Meski begitu, perkawinan antar saudara sepupu tabu menurut adat.

Pendidikan informal bagi para remaja agaknya sudah melembaga. Perkampungan Bali aga ini sudah memiliki semacam orgdnisasi (sekeha) tradisional bagi para remaja yang keanggotaannya terpisah antara pria dan wanitanya.

Sekeha deha untuk perempuan, sekeha teruna untuk laki-laki. Di sinilah para remaja yang umurnya berusia 12 tahun digodok dan diberi bekal pengetahuan tentang masalah sosial, ekonomi, budaya, dan agama oleh kelompok warga yang lebih tua.

Tdk lekang oleh zaman "edan"

Apabila selama itu ada teruna (cowok) dan deha (cewek) yang saling jatuh hati, bisa diteruskan ke peminangan, yang jika diterima, akan berlanjut ke pertunangan. Sirih, pinang, tebu, gula aren, bebuahah, garam, dll. menjadi lambang ikatan pertunangan melalui upacara ngaba basa, membawa sirih pinangan.

Pada posisi ini si gadis sepenuhnya lalu berada di bawah perlindungan dan pengawasan desa.

Seandainya si gadis belakangan lalu menikahi pria lain, lelaki "penyerobot" akan dikenai denda sesuai kesepakatan warga desa. Sebaliknya, kalau si lelaki lalu mempersunting wanita lain, gadis mantan tunangannya wajib mengembalikan tanda ikatan pertunangan kepada si pria.

Upacdranya disebut ngulihan basa, yang artinya mengembalikan sirih pinangan.

Kalau saja mereka jadi menikah, setelah itu mereka bisa masuk menjadi anggota krama desa, dan dengan sendirinya keluar dan sakeha teruna atau sakeha deha.

Begitu pun, keluarga. muda itu mesti pisah dan orang tua dan mehempati rumah sendiri, yang dibangun secara gotong royong.

Sebaliknya, warga yang menikah dengan orahg luar kawasan, kecuali dari golongan pasek, tidak akan diakui lagi sebagai warga kawasan, dan tidak berhak menjadi anggota krama desa. Nah, di sini mereka terkena sanksi kesah, diasingkan ke Banjar Pande di timur desa untuk selamanya.

Bahkan, "Kalau meninggal, ia akan dikubur terpisah dari makam warga Tenganan," tutur Ida Bagus Alit, seorang guru SD dari luar kawasan yang sudah lama mengabdi di desa itu.

Selain penduduk asli, di Tenganan juga terdapat kaum pendatang yang disebut wong angendong. Di antaranya adalah golongan pasek, pande, dan dukuh. Mereka sengaja didatangkan karena amat diperlukan tenaga dan pikirannya.

Setiap keluarga batih warga pendatang tersebut biasa nya akan memperoleh jaminan berupa sawah, ladang, dan pekarangan serta bahan bangunan untuk mendirikan rumah.

"Tapi mereka tak punya hak untuk menjadi anggota krama desa, meski telah menetap belasan tahun di sini," tutur Alit.

Tak lekang oleh panasnya arus zaman "edan", tak lapuk oleh kikisan hujan wisatawan. Mampukah warga Tenganan mempertahankan adat peninggalan leluhur mereka? Jawabannya ada pada anak-cucu mereka kelak.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1992)

(Baca juga:Terkena Serangan Jantung saat Sendirian, Cara Pria Ini Selamatkan Nyawa Disebut 'Sangat Jenius')

Artikel Terkait