Pendidikan informal bagi para remaja agaknya sudah melembaga. Perkampungan Bali aga ini sudah memiliki semacam orgdnisasi (sekeha) tradisional bagi para remaja yang keanggotaannya terpisah antara pria dan wanitanya.
Sekeha deha untuk perempuan, sekeha teruna untuk laki-laki. Di sinilah para remaja yang umurnya berusia 12 tahun digodok dan diberi bekal pengetahuan tentang masalah sosial, ekonomi, budaya, dan agama oleh kelompok warga yang lebih tua.
Tdk lekang oleh zaman "edan"
Apabila selama itu ada teruna (cowok) dan deha (cewek) yang saling jatuh hati, bisa diteruskan ke peminangan, yang jika diterima, akan berlanjut ke pertunangan. Sirih, pinang, tebu, gula aren, bebuahah, garam, dll. menjadi lambang ikatan pertunangan melalui upacara ngaba basa, membawa sirih pinangan.
Pada posisi ini si gadis sepenuhnya lalu berada di bawah perlindungan dan pengawasan desa.
Seandainya si gadis belakangan lalu menikahi pria lain, lelaki "penyerobot" akan dikenai denda sesuai kesepakatan warga desa. Sebaliknya, kalau si lelaki lalu mempersunting wanita lain, gadis mantan tunangannya wajib mengembalikan tanda ikatan pertunangan kepada si pria.
Upacdranya disebut ngulihan basa, yang artinya mengembalikan sirih pinangan.
Kalau saja mereka jadi menikah, setelah itu mereka bisa masuk menjadi anggota krama desa, dan dengan sendirinya keluar dan sakeha teruna atau sakeha deha.
Begitu pun, keluarga. muda itu mesti pisah dan orang tua dan mehempati rumah sendiri, yang dibangun secara gotong royong.
Sebaliknya, warga yang menikah dengan orahg luar kawasan, kecuali dari golongan pasek, tidak akan diakui lagi sebagai warga kawasan, dan tidak berhak menjadi anggota krama desa. Nah, di sini mereka terkena sanksi kesah, diasingkan ke Banjar Pande di timur desa untuk selamanya.
Bahkan, "Kalau meninggal, ia akan dikubur terpisah dari makam warga Tenganan," tutur Ida Bagus Alit, seorang guru SD dari luar kawasan yang sudah lama mengabdi di desa itu.
Selain penduduk asli, di Tenganan juga terdapat kaum pendatang yang disebut wong angendong. Di antaranya adalah golongan pasek, pande, dan dukuh. Mereka sengaja didatangkan karena amat diperlukan tenaga dan pikirannya.
Setiap keluarga batih warga pendatang tersebut biasa nya akan memperoleh jaminan berupa sawah, ladang, dan pekarangan serta bahan bangunan untuk mendirikan rumah.
"Tapi mereka tak punya hak untuk menjadi anggota krama desa, meski telah menetap belasan tahun di sini," tutur Alit.
Tak lekang oleh panasnya arus zaman "edan", tak lapuk oleh kikisan hujan wisatawan. Mampukah warga Tenganan mempertahankan adat peninggalan leluhur mereka? Jawabannya ada pada anak-cucu mereka kelak.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1992)
(Baca juga: Terkena Serangan Jantung saat Sendirian, Cara Pria Ini Selamatkan Nyawa Disebut 'Sangat Jenius')
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR